malam hari pasti air laut naik menggenangi lapangan dan tenda pengungsian
Donggala, Sulawesi Tengah  (ANTARA News) - Ratusan kepala keluarga korban gempa, tsunami disertai likuifaksi dan diperparah lagi dengan bencana banjir, khususnya di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, butuh informasi kepastian relokasi pascabencana menerjang wilayah itu.

"Salah satu yang dibutuhkan oleh korban gempa, tsunami di Sirenja yaitu kepastian relokasi," kata Anggota DPRD Sulawesi Tengah Muhammad Masykur, terkait pembangunan perumahan korban gempa dan tsunami serta banjir di Sirenja, Senin.

Masykur mengatakan di Kecamatan Sirenja terdapat  773 kepala keluarga (KK) tidak  memiliki tempat tinggal, karena disapu bersih gempa dan tsunami pada Jumat 28 September 2018. Dari jumlah itu, masing -masing 342 KK di Desa Tanjung Padang, 174 KK di Desa Lende Ntovea dan 275 KK di Desa Tompe. 

Ia mengatakan belum selesai dampak gempa dan tsunami, warga pesisir Pantai Sirenja itu harus berhadapan dengan masalah baru, bencana banjir rob. Banjir rob tiap hari menerjang dan menggenangi dusun 1 dan 3 Desa Tompe, dusun 1, 2 dan 3 Desa Tanjung Padang dan Dusun 1, 2 dan 3 Desa Lende Ntovea. 

"Kini, sebagian mereka hidup di tenda pengungsian, sebagian lagi berinisiatif secara swadaya membangun hunian sementara (Huntara) dari sisa puing bangunan rumah yang bisa dimanfaatkan," ujar Masykur.

Sebelum gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter (SR),  Kecamatan Sirenja termasuk salah satu wilayah di Kabupaten  Donggala yang tumbuh pesat.  Sumber penghidupan warganya sebagian besar dari sektor pertanian  dan perikanan laut.  

"Namun Jumat sore itu,  saat bencana lindu menerjang, sekejab wilayah itu jadi porak poranda. Tidak ada yang tersisa. Yang ada hanya hamparan puing sisa bangunan di sepanjang pesisir Desa Tanjung Padang, Tompe dan Lende Ntovea akibat disapu tsunami," katat Ketua Fraksi Nasdem di DPRD Sulteng itu. 

Namun, kata dia, korban memiliki semangat hidup yang kuat. Sebagian korban berupaya membangun tempat tinggal sementara secara swadaya.

"Kami harus bangkit, menunggu Huntara dari pemerintah sampai kapan belum ada kejelasan. Tidak mungkin kami terus menerus tidur di tenda seadanya. Sudah tidak layak lagi karena malam hari pasti air laut naik menggenangi lapangan dan tenda pengungsian. Lapangan bola Desa Tompe dijadikan tempat Huntara versi warga," ujar Riswan, salah seorang korban gempa, tsunami dan banjir di Kecamatan Sirenja.

Menurut dia,  genangan air laut dan hujan di lokasi pengungsian bisa jadi sumber penyakit seperti malaria dan penyakit lainnya, sehingga tugas bersama selanjutnya adalah menjaga lingkungan sekitar, terutama masalah sampah dan limbah lainnya. 

Sementara salah seorang tokoh masyarakat Kecamatan Sirenja Tasrifin Rajamusu meminta pemerintah daerah  segera memutuskan soal lokasi hunian ratusan KK yang tidak punya rumah. Muka air laut yang naik menyebabkan sekitar 150 meter pesisir daratan di Desa Tompe hilang. 

"Ada beberapa lokasi yang bisa dipilih. Asal tidak jauh dari pantai yang penting aman dihuni. Jangan jauhkan nelayan  dari laut karena sandaran hidup kami hanya di laut," kata Tasrifin.

Dia mengatakan  tidak lama lagi datang angin  barat, bulan November-Desember. Hal ini butuh kewaspadaan sejak dini karena air laut bakal naik tinggi sampai jauh ke wilayah daratan. 

"Jadi yang perlu disegerakan hunian warga dan penuhi alat produksi nelayan, agar bisa kembali beraktivitas seperti semula," sebut Tasrifin lagi.

 Baca juga: 87.000 korban bencana masih mengungsi di Palu
Baca juga: Mensos: hunian tetap pengungsi Sulteng selesai 2020

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018