Tidak seperti di negara atau wilayah lain yang terdapat berbagai organisasi keagamaan atau paguyuban yang mewadahi perserikatan WNI
"Kenapa mesti ribet begini Pak? Teknologi sudah sedemikian canggih," protes seorang mahasiswi asal Indonesia di Kota Zhengzhou, Provinsi Henan, kepada anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Beijing yang saat itu sedang melakukan sosialisasi Pemilu 2019.

Dia tidak sendiri. Beberapa pelajar yang usianya sekitar 20 tahunan juga merasa tidak sreg atas model pendaftaran calon pemilih dengan mengisi formulir.

Formulir pendaftaran pemilih yang beredar di Indonesia dan beberapa negara lain berbeda dengan di China daratan.

Di wilayah daratan Tiongkok --mungkin juga Hong Kong, Makau, dan Taiwan-- terdapat kolom alamat yang harus ditulis dengan menggunakan aksara Mandarin (hanzi).

Pencantuman alamat berbahasa China sangat mutlak karena surat undangan kepada pemilih akan dikirimkan melalui pos.

Demikian pula dengan WNI yang jauh dari tempat kedudukan PPLN, pemungutan suaranya menggunakan metode pengiriman surat suara via pos.

Di China, khususnya di wilayah daratan, jangan pernah coba-coba mengirimkan surat dengan alamat selain "hanzi" karena petugas pos hingga petugas pengantaran jarang sekali yang bisa membaca tulisan latin.

Kecuali untuk pengiriman ke luar negeri yang mengharuskan si pengirim datang sendiri ke kantor pos. Itu pun kalau mau lancar dan berniat membantu petugas pencatatan di kantor pos, tulisan latinnya harus betul-betul jelas dan sangat direkomendasikan menggunakan huruf cetak.

Kembali lagi ke soal pendaftaran pemilih tadi. PPLN di China daratan yang memiliki tiga kelompok sesuai dengan jumlah kantor perwakilan RI, yakni Beijing, Shanghai, dan Guangzhou, masing-masing sudah menyiapkan aplikasi khusus yang bisa diunduh secara daring.

Bahkan aplikasi khusus itu telah disebar melalui WeChat, platform media sosial terpopuler di China. Termasuk juga melalui laman resmi kantor perwakilan, seperti KBRI Beijing, KJRI Shanghai, dan KJRI Guangzhou.

Inovasi ketiga PPLN tersebut demi memudahkan WNI di China daratan agar dapat menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Legislatif tahun depan itu sangat layak diacungi jempol.

Namun, persoalan tidak berhenti di situ. Kondisi geografis China daratan yang luasnya hampir mencapai 10 kali lipat dari luas wilayah daratan Indonesia memaksa penyelenggara Pemilu 2019 di luar negeri memutar otak.

Apalagi jumlah WNI tidak lebih dari 14 ribu jiwa. Jauh lebih kecil dibandingkan dengan WNI di Hong Kong yang diperkirakan 154 ribu dan Taiwan yang bisa mencapai angka 255 ribu jiwa.

Besarnya wilayah China daratan yang tidak sebanding dengan jumlah WNI itu menjadi persoalan tersendiri bagi ketiga PPLN.

"Jangan sampai ada warga negara kita di mana pun berada tidak terdaftar sebagai pemilih karena ini amanat undang-undang," kata anggota Komisi Pemilihan Umum RI Wahyu Setiawan mengingatkan para peserta Bimtek Pemilu di Beijing pada 24 April 2018.

WNI di China punya karakteristik tersendiri, meskipun jumlahnya tidak sebanyak di Hong Kong dan Taiwan.

Di China, WNI hampir seluruhnya pelajar dengan masa tinggal rata-rata satu hingga empat tahun tergantung jenjang pendidikan yang ditempuhnya.

Mereka tidak saja berkumpul di ibu kota provinsi atau kota besar lainnya, melainkan menyebar hingga wilayah kabupaten atau kota kecil di satu provinsi atau daerah otonom.

Meskipun tidak seluruh provinsi atau daerah otonom terdapat WNI, PPLN tetap harus memastikannya, entah melalui jaringan pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia di Tiongkok (PPIT) atau bagian kekonsuleran dan keimigrasian di masing-masing kantor perwakilan RI.

Kalau saja jaringan-jaringan tersebut tidak memiliki data atau informasi mengenai ada atau tidaknya WNI, maka sudah tidak ada cara lain untuk memverifikasinya.

Tidak seperti di negara atau wilayah lain yang terdapat berbagai organisasi keagamaan atau paguyuban yang mewadahi perserikatan WNI.

Kalau pun ada organisasi berbasis keagamaan yang mewadahi para WNI, ruang geraknya tidak seleluasa dan kegiatannya tidak seaktif di Hong Kong dan Taiwan.

Walau begitu, jaringan organisasi keagamaan tersebut masih bisa dimanfaatkan, meskipun tidak maksimal.


Metode Pemilihan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur tentang pelaksanaan pemungutan suara di luar negeri yang dapat dilakukan dengan tiga metode.

Metode pertama, pemungutan suara di TPS. Ketiga PPLN, yakni Beijing, Shanghai, dan Guangzhou menetapkan pemungutan suara dilaksanakan di TPS pada hari Minggu, tanggal 14 April 2019. Demikian pula PPLN Hong Kong dan PPLN Taipei memutuskan hal yang sama.

Alternatif kedua, pemungutan suara dilakukan dengan cara melalui kotak suara keliling (KSK). Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) akan mendatangi tempat atau kota tertentu yang banyak terdapat WNI pada tanggal tertentu pula untuk mengumpulkan surat suara yang sudah dicoblos.

Selanjutnya cara yang terakhir adalah dengan mengirimkan surat suara melalui pos. KPPS akan mengirimkan surat suara dengan memanfaatkan jasa pos kepada WNI yang terdaftar sebagai pemilih dilengkapi dengan perangko balasan.

PPLN sudah memetakan dan mengklasifikasi ketiga model pemungutan suara berdasarkan alamat domisili WNI.

Jika tempat tinggalnya masih satu wilayah dengan kantor perwakilan, maka WNI harus mendatangi TPS di kantor perwakilan RI tersebut.

Akan tetapi, kalau ada WNI dalam jumlah relatif banyak tinggal di wilayah yang jauh dari kantor perwakilan, maka petugas KPPS yang akan mendatanginya untuk mengumpulkan surat suara yang sudah dicoblos.

Sementara di luar dua ketentuan di atas, pemungutan suara mau tidak mau dilakukan melalui pos surat.

Sayangnya, ketiga metode yang diikhtiarkan untuk mempermudah penggunaan hak suara itu tetap saja tidak populer di mata WNI di China yang mayoritas generasi milenial itu.

Mereka jauh-jauh datang ke China untuk mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Bahkan dalam kesehariannya, gaya hidup mereka berbasis digital yang sudah menjadi kebiasaan bagi penduduk setempat.

Sementara pada proses pelaksanaan pesta demokrasi ini, mereka dipaksa menggunakan sistem elektoral manual.

"Kapan ya negeriku bisa menyelenggarakan pemilu secara digital untuk memudahkan kami-kami yang tinggal di luar negeri ini memilih calon pemimpin sesuai nurani," kata Micahel Oktavianus, mahasiwa Beijing University of Aeronatics and Aerospace (BUAA) asal Indonesia itu mendambakan adanya terobosan dalam sistem pemungutan suara.*

Baca juga: WNI di China awam Pemilu 2019
Baca juga: Daftar Pemilih Tetap Beijing bertambah
Baca juga: PPLN Beijing Mulai Susun DPT Untuk Capres

 

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018