Jakarta (ANTARA News) - Perayaan tahun baru China alias Imlek betul-betul terasa di kawasan Pecinan Glodok, Jakarta, Selasa.

Antara bersama rombongan dari Wisata Kreatif Jakarta berjalan kaki selama empat jam untuk menelusuri kawasan Glodok sembari merasakan keriaan Imlek yang membuat suasana lebih meriah.

Tempat-tempat di bawah ini bisa jadi inspirasi buat Anda yang ingin menjelajahi pecinan tertua di Jakarta, melewati gang-gang kecil yang dipenuhi gerobak makanan menggiurkan hingga kelenteng yang disesaki manusia. 
 
Pantjoran Tea House, Glodok, Jakarta (ANTARA News/ Nanien Yuniar)


Pantjoran Tea House
Gedung ini berada di Pintu Gerbang Selatan kota Batavia menuju Pecinan sejak tahun 1900. 

Dulunya gedung ini adalah toko "Winkel The Lun Tai" (Toko Pojok milik The Lun Tai) yang berubah jadi Toko Obat Chung Hwa. Hingga saat ini area sekitar Pantjoran Tea House memang dipenuhi oleh toko-toko obat tradisional China.

Gedung ini akhirnya terbengkalai selama puluhan tahun hingga akhirnya direnovasi pada 2015, bagian dari revitalisasi Kota Tua.
 
Bangunan apotek ini beralih fungsi jadi rumah teh yang juga menyajikan masakan China.

Tak sulit mencari rumah teh ini. Selain berada di pinggir jalan, di bagian depannya ada meja berisi delapan teko teh yang bisa disesap oleh orang yang lewat secara cuma-cuma.

"Dulu Pancoran ini namanya jalan Patekoan," kata Ira Lathief, pemandu sekaligus pendiri tur Wisata Kreatif Jakarta.
 
 
Teko-teko berisi teh yang bisa diminum gratis di depan Pantjoran Tea House, Glodok, Jakarta. (ANTARA News/ Arindra Meodia)


Patekoan artinya delapan teko (Pa adalah delapan, tekoan artinya teko), jumlah teko yang disediakan di depan rumah teh tersebut. Itu merupakan tradisi lama yang dimulai oleh Kapitan Gan Djie pada tahun 1600-an. 

Dia menyediakan delapan teko untuk melegakan dahaga para pejalan kaki yang melewati tempat itu. 

Seperti teh-teh China dan Jepang pada umumnya, teh yang disajikan dalam delapan teko itu tidak manis, tapi ada gula pasir yang tersedia untuk pejalan yang lebih suka menikmati teh manis.

Bicara soal teh manis, Ira mengatakan minuman yang dinikmati banyak orang di Indonesia itu hadir dari kebiasaan budak-budak zaman penjajahan Jepang.

"Romusha kerja rodi, tapi jarang dikasih makan. Agar tetap punya energi dan stamina, mereka dikasih teh  dengan gula. Di tempat aslinya, Jepang dan China, teh diminum tanpa gula karena (tanpa gula) memang yang berkhasiat," jelas dia.

 
Angpau yang dijual di Glodok, Jakarta (ANTARA News/ Nanien Yuniar)


Toko-toko obat

Tak jauh dari Pantjoran Tea House berjejer toko-toko obat tradisional di Jalan Pancoran yang kebetulan tutup saat Imlek. 

Meski demikian, masih ada pedagang yang menggelar lapak di sana, menawarkan obat-obat tradisional seperti daun jati Cina yang dipercaya dapat menguruskan badan hingga tongkat ali sebagai obat kejantanan pria.

Jalan Pancoran juga diramaikan oleh pedagang rokok dan cerutu dari berbagai merek hingga amplop angpau untuk Imlek.
 
Toko manisan di Jalan Pancoran, Glodok, Jakarta. (ANTARA News/ Nanien Yuniar)


Toko manisan, permen dan kacang
Tak jauh dari toko-toko obat, Anda bisa membeli ragam manisan, permen dan kacang yang bervariasi. Banyak diantaranya merupakan manisan dari negeri Jiran bahkan dari Hong Kong. Ada kacang, cokelat-cokelat yang dibalut dengan kemasan menarik, permen aneka rasa hingga permen jahe.
 
Bakmi Amoy di Gang Gloria, Glodok, Jakarta (ANTARA News/ Nanien Yuniar)


Gang Gloria
Gang kecil nan sempit ini dipenuhi dengan beragam pedagang makanan sekaligus "surga" untuk penikmat daging babi. 

Di gang ini berdiri kedai kopi tertua di Batavia, Kopi Es Tak Kie, yang dibuka sejak 1930-an. 

Tak jauh dari situ, ada juga Ko Tang Barber Shop, tempat pangkas rambut legendaris yang sudah berdiri hampir 90 tahun.

"Tiap ada kampanye, entah pemilihan kepala daerah atau presiden, pasti tempat itu didatangi kandidat yang mau minta 'restu'," kata Ira.

Jangan meleng bila ingin menemukan penjual chi cong fan yang mangkal di pinggir jalan dengan sepeda modifikasi berisi uyen (talas goreng), somay dan lumpia. Seporsi gorengan lengkap dengan potongan ci chong fan yang mirip kwetiau dapat dinikmati dengan harga Rp10.000. 

Di sekitar situ juga ada gang yang dipakai untuk membersihkan hewan-hewan untuk dimakan, seperti belut dan kodok.
 
Seorang jemaah melepaskan burung di Wihara Dharma Bakti, Glodok, Jakarta, Selasa (5/2/2019). (ANTARA News/ Nanien Yuniar)


Wihara Dharma Bakti alias Kelenteng Jin De Yuan

Di luar wihara, berjejer kandang berisi ratusan burung kecil. Kandang-kandang berisi burung ini nantinya dibeli oleh orang yang bersembahyang, kemudian kadang itu akan dibuka agar hewan-hewan di dalamnya bisa terbang bebas.

Ira menjelaskan tradisi melepaskan burung dianggap dapat membawa karma baik.

Alat-alat untuk sembahyang juga dijual di sebuah toko yang letaknya hanya puluhan langkah dari pintu masuk wihara. Toko ini menjual uang, sepatu hingga baju dari kertas yang akan "dikirim" pada leluhur dengan cara dibakar.

Wihara yang sudah berdiri selama 4 abad itu dipenuhi orang yang bersembahyang saat Imlek. Bukan cuma itu, berjejer pula antrean pengemis yang mengharap lembaran uang dari orang-orang yang ingin berbagi rezeki pada Tahun Baru.

Ira menjelaskan, wihara ini sudah beberapa kali terbakar, tapi bisa bertahan hingga saat ini. Pada kebakaran 2015, patung Dewi Kasih Sayang Kwan Im berhasil selamat dari api yang berkobar, membuat orang-orang menganggapnya sebagai patung keramat.

Di Indonesia, umat yang berdoa di kelenteng dan wihara kerap bercampur baur. Ini adalah sebuah keunikan, ujar Ira, karena di luar negeri kelenteng dan wihara tampak berbeda satu sama lain. 

Di wihara-wihara Indonesia, ada beragam simbol yang ada di kelenteng. Tidak demikian halnya dengan wihara di luar Indonesia.

Ini tak lepas dari kebijakan politik Orde Baru yang menciptakan diskriminasi bagi orang-orang keturunan China di Indonesia, salah satunya soal kebebasan beribadah. 

Penganut konghucu harus memeluk agama yang saat itu diakui, kebanyakan memilih agama Budha, kristen protestan atau katolik.

Kelenteng Jin De Yuan pun berganti nama jadi Wihara Dharma Bakti. 

Semenjak pemerintahan Gus Dur, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa kembali diakui. 

 
Gereja Katolik Santa Maria De Fatima di Glodok, Jakarta. (ANTARA News/ Nanien Yuniar)


Gereja Katolik Santa Maria De Fatima

Gereja Katolik yang sudah berdiri sejak 1950-an ini unik karena arsitekturnya bergaya bangunan Tiongkok Selatan atau Fukien.

"Hanya ada dua gereja berasitektur China di Indonesia, satu lagi di Manado," kata Ira.

Gereja dengan gaya arsitektur Tionghoa yang dihiasi sepasang patung singa batu itu dulunya merupakan rumah orang China yang menganut agama Katolik. Di gereja ini, misa diadakan dalam bahasa Mandarin. 


Baca juga: Laura Basuki tak rayakan Imlek tahun ini

Baca juga: Ketimbang bepergian, warga Tionghoa Kendari pilih kumpul keluarga saat Imlek

Baca juga: Imlek, aktor Dion Wiyoko doakan pilpres damai

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019