Itu sama dengan Sasi kalau di wilayah timur Indonesia. Tapi di masyarakat adat Suku Moi namanya Egek
Sorong, (ANTARA News) - Masyarakat Adat Moi Kelim yang mendiami Kampung Malaumkarta di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, sukses menjalankan kearifan lokal menjaga laut dengan menggunakan Egek hingga mampu menghasilkan sampai dengan Rp200 juta per “panen”.

“Itu sama dengan Sasi (larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu -biasanya laut, sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati, red) kalau di wilayah timur Indonesia. Tapi di masyarakat adat Suku Moi namanya Egek,” kata Ketua Bamus Malaumkarta Eferadus Kalami di Malaumkarta, Sorong, Rabu. 

Kawasan Egek, menurut dia, saat ini dilindungi oleh gereja. Sehingga jika ada yang melanggar, sanksi yang dikenakan oleh warga bisa mencapai ratusan juta rupiah, ditetapkan melalui musyawarah adat terlebih dulu. 

Ia mengatakan kawasan Egek di Malaumkarta yang hanya dibuka setahun sekali dan selama satu bulan hasilnya cukup melimpah, jika dirupiahkan bahkan bisa mencapai ratusan juta. Terakhir, hasil dari pembukaan kawasan perairan ini mampu menghasilkan dana hingga Rp200 juta, yang semua hasilnya diserahkan ke gereja. 

Ketua Konservasi Malaumkarta Raya untuk Masyarakat Hukum Adat Suku Moi Kelim Robert Kalami mengatakan untuk sementara ini, upaya melindungi sumber daya alam dilakukan untuk wilayah laut melalui penetapan kawasan konservasi berdasarkan kearifan lokal Masyarakat Adat Moi Kelim. 

Upaya ini kemudian mendapat perhatian Pemerintah Kabupaten di mana Bupati Sorong memperkuat Egek dengan  Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong. 

Dalam Egek ditetapkan larangan untuk mengambil lobster, lola, teripang dan udang. Panen dilakukan hanya diperbolehkan hanya 1 kali dalam setahun, dan hasilnya diserahkan kepada gereja, biasanya untuk pembangunan fasilitas umum gereja. 

Egek juga memberikan perbatasan penggunaan alat tangkap yang membahayakan bagi keberlanjutan sumber daya alam seperti jaring, potasium. Masyarakat adat di sana hanya diperbolehkan menangkap ikan dengan cara Yikmen (mengail), Yafan (memanah) dan Yakalak (menombak). 

Anggota DPRD Sorong Torianus Kalami mengatakan Perbup terkait kearifan lokal Egek ini dibuat dan diundangkan kurang dari enam bulan saja. Dirinya mengatakan ini bisa dilakukan karena Masyarakat Adat Moi Kelim pada dasarnya sudah memiliki kearifan lokal, yakni Egek. 

“Egek ini juga kita coba bawa ke ranah lebih luas. Dengan mempromokan dana yang terkumpul bisa untuk pembangunan gereja, selain ada nilai kearifan lokal yang diangkat,” ujar dia. 

Torianus mengatakan dirinya mengusulkan  untuk menerapkan Egek ini di kawasan hutan Masyarakat Adat Moi Kelim ini. “Tapi saya ajak dulu ciptakan ekowisata, kelola dulu bagaimana sehingga hasilnya ada dulu”.

Dirinya berharap Kampung Malaumkarta yang dihuni Masyarakat Adat Moi Kelim ini berhasil sehingga menjadikan laboratorium umum untuk belajar soal konservasi berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat. 


Baca juga: AMAN: perdebatan capres soal impor beras harusnya sudah tidak ada

Baca juga: Komisi IV DPR serap aspirasi masyarakat adat pemilik ulayat

Baca juga: Sabaki desak UU Masyarakat Adat segera disahkan


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019