Sorong  (ANTARA News) - Kabupaten Sorong Papua Barat akan menyiapkan Peraturan Bupati (Perbup) tentang hukum adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan dan perlindungan hutan setelah sebelumnya menetapkannya untuk sumber daya laut di Kampung Malaumkarta.

Bupati Sorong Johny Kamuru di Aimas, Kabupaten Sorong, Jumat (22/2), mengatakan dirinya akan menindaklanjuti Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. 

“Setelah ada Perda memang harus ditindaklanjuti dengan Perbup, dan saat ini sedang berproses. Memang harus ada nantinya peraturan yang sama untuk menjaga hutannya,” katanya. 

Ia mengatakan sudah berkoordinasi dengan Dewan Masyarakat Adat Malamoi Sorong untuk proaktif berkomunikasi dengan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait untuk mulai memikirkan draft Perbup guna mendukung Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi. 

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa beberapa  perusahaan kelapa sawit sudah beroperasi di Kabupaten Sorong sebelum 2010. Ada juga perusahaan yang mendapat izin tetapi dijual lagi kepada pihak lain. 

Penerapan Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang juga memindahkan kewenangan pengelolaan hutan kabupaten ke provinsi, menurut dia, juga mempersulit seorang bupati mengontrol eksploitasi hutan. 

Yang terjadi di Kabupaten Sorong, ia mengatakan jalan-jalan yang sudah dibangun dengan baik dengan APBD menjadi rusak karena dilewati truk-truk kayu.

Sebelumnya anggota DPRD Sorong Torianus Kalami mengatakan konsep konservasi tradisional yang sudah sejak lama dikenal oleh Masyarakat Adat Moi dengan sebutan Egek dilakukan di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Pertama kali diterapkan untuk dusun sagu. 

Namun kemudian Masyarakat Adat Moi Kelim yang mendiami Kampung Malaumkarta ini menerapkan Egek untuk seluruh tanah adat kampung, dengan memetakan beberapa zona inti di laut dan potensi hutan yang dianggap masih utuh. 

Ia mengatakan Kampung Malaumkarta sedang menyiapkan Peraturan Kampung (Perkam) untuk pengelolaan potensi hutan adatnya. 

Jika peraturan tersebut berjalan baik sama dengan penerapan Egek di wilayah perairan desa tersebut, maka akan diusulkan agar ada Perbup yang mencantumkan hukum adat dan kearifan lokal untuk pengelolaan dan perlindungan sumber daya hutan di Malaumkarta. 

Sementara itu, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan bahwa dengan mengakui masyarakat hukum adat beserta wilayahnya maka sesungguhnya itu sebuah langkah politik hukum untuk mengembalikan otonomi daerah ke kabupaten.

“Kan lucu kalau misal daerah atas tambang dan hutan diambil provinsi tapi kalau ada kerusakan hutan atau persoalan tambang di daerah itu bukan gubernur tapi bupati yang disalahkan,” katanya. 

Kawasan hutan negara tentu kewenangannya ada di pemerintah pusat. Tapi jika menjadi  hutan adat maka statusnya menjadi hutan hak, yang urusan pengelolaannya ada di masyarakat dan bupati, tidak perlu lagi melalui menteri, lanjutnya. 

Terkait hutan di wilayah Masyarakat Adat Moi Kelim, perlu dilakukan pemetaan jika akan diajukan menjadi Hutan Adat dalam program Perhutanan Sosial, kata Arman.

Namun, sebenarnya dengan status otonomi khusus yang melekat pada Papua dan Papua Barat, maka kewenangan untuk menentukan, termasuk terkait hutan, ada berada di pemerintah daerah. 

 
Baca juga: Pakar : masyarakat butuh pendampingan lebih lanjut kelola hutan adat
Baca juga: Masyarakat Adat Moi Kelim sukses jaga laut dengan Egek


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019