Sidoarjo (ANTARA News) - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya yang diketuai I Wayan Sosiawan menjatuhkan vonis bersalah kepada Direktur CV Mahadir, Muhamad Bagir, karena terbukti menyuap Wali Kota Pasuruan nonaktif Setiyono terkait proyek pembangunan Pusat Layanan Usaha Terpadu-Koperasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (PLUT-KUMKM).

"Mengadili, menghukum terdakwa Muhamad Bagir dengan pidana penjara selama dua tahun, denda lima puluh juta rupiah subsider dua bulan kurungan penjara," katanya saat membacakan amar putusannya di Pengadilan Negeri Tipikor Surabaya, Senin.

Dalam amar putusan itu, hakim menilai hal-hal yang memberatkan adalah terdakwa tidak mendukung program pemerintah untuk memberantas korupsi.

"Sedangkan yang meringankan adalah terdakwa sopan saat menjalani sidang, masih ada tanggungan keluarga, kooperatif, berterus terang dan juga bukan sebagai `justice collaboration`," katanya.

Dalam kasus ini, perbuatan Muhamad Bagir dianggap bertentangan dengan pasal 5 ayat (1) Jo Pasal 12 huruf a dan b UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada amar putusan itu, majelis hakim yang diketuai I Wayan Sosiawan tidak memberikan potongan hukuman pada terdakwa Muhammad Bagir karena sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum

Kendati demikian, Jaksa KPK Ferdian Adi Nugroho masih menyatakan pikir pikir atas vonis hakim, begitu juga dengan penasihat hukum terdakwa Suryono Pane juga mengatakan masih pikir pikir.

"Kami masih pikir pikir yang mulia," katanya.

Kasus suap ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK, Kamis (4/10/2018) lalu. Saat itu KPK terlebih dahulu menangkap keponakan Wali Kota Pasuruan yakni Hendriyanto Heru Prabowo alias Hendrik saat akan menyerahkan uang suap dari terdakwa Muhamad Baqir ke Walikota Setiyono.

Setelah dilakukan pengembangan, KPK akhirnya menetapkan beberapa tersangka lain. Mereka di antaranya Wali Kota Pasuruan Setiyono, Staf Ahli Bidang Hukum, Politik, dan Pemerintahan Pemerintahan Kota Pasuruan Dwi Fitri Nurcahyo, tenaga honorer di Kelurahan Purutrejo, Wahyu Tri Hardianto.

KPK menetapkan mereka sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait sejumlah proyek di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Pasuruan tahun anggaran 2018, salah satunya belanja gedung dan bangunan pengembangan Pusat Layanan Usaha Terpadu-Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (PLUT-KUMKM) pada Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Pemkot Pasuruan.

Proyek di Pemkot Pasuruan diatur oleh wali kota melalui tiga orang dekatnya yang disebut trio kwek kwek, dan ada kesepakaan pungutan rata-rata antara 5 sampai 7 persen untuk proyek bangunan dan pengairan.

Sedangkan dari proyek PLUT-KUMKM, Wali Kota Setiyono mendapat pungutan sebesar 10 persen dari nilai HPS yakni sebesar Rp2.297.464.000 ditambah 1 persen untuk pokja. Pemberian dilakukan secara bertahap.

Pemberian pertama terjadi pada tanggal 24 Agustus 2018, Muhamad Baqir menstransfer kepada Wahyu Tri Hardianto sebesar Rp20 juta atau 1 persen untuk Pokja sebagai tanda jadi. Kemudian pada 4 September 2018 CV Mahadir ditetapkan sebagai pemenang lelang dengan nilai kontrak Rp2.210.266.000.

Kemudian 7 September 2018, setelah ditetapkan sebagai pemenang, Muhamad Baqir setor tunai kepada wali kota melalui pihak-pihak perantaranya sebesar 5 persen atau kurang lebih Rp115 juta. Sisa komitmen fee lainnya akan diberikan setelah uang muka termin pertama cair.

Baca juga: Kronologis penangkapan Wali Kota Pasuruan oleh KPK

Baca juga: KPK tetapkan Wali Kota Pasuruan tersangka

Pewarta: Indra Setiawan
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019