Jayapura (ANTARA News) - Suku-suku asli di tanah Papua, wilayah paling timur dari kepulauan Nusantara ini masih mengenal perang suku namun perang itu lebih sering terjadi di wilayah pegunungan tengah Papua yang dikenal memiliki kandungan sumber daya alam (SDA) yang kaya seperti emas, perak, tembaga dan mineral ikutan lainnya. Hal ini perlu diteliti lebih mendalam lagi dengan memunculkan seribu satu pertanyaan kritis antara lain mengapa perang suku di Papua justru lebih sering terjadi wilayah itu, apakah tidak ada pihak ketiga yang ingin "mengail di air keruh" serta bagaimana solusinya untuk suatu perdamaian yang langgeng. Hal itu disampaikan antropolog Papua, Naffi Sanggenafa kepada ANTARA News di Jayapura, Sabtu, menanggapi fenomena perang suku yang sangat sering terjadi di wilayah pegunungan tengah Papua khususnya di Kabupaten Mimika yang dikenal sebagai wilayah tambang PT Freeport Indonesia (PTFI). "Kita mengakui bahwa suku-suku asli di pedalaman tanah Papua masih memiliki kebiasaan perang suku. Perang ini terkait dengan persoalan hidup yang mengitari mereka yaitu masalah kepemilikan tanah dan batas-batasnya serta persoalan perkawinan dan keluarga," katanya. Namun, lanjut alumnus Pasca Sarjana Universitas Leiden, Belanda tahun 1989 ini, patut dicatat bahwa justru perang itu sering terjadi di wilayah pegunungan tengah Papua, sementara persoalan tanah dan perkawinan itu sendiri tidak hanya digeluti masyarakat pegunungan tengah Papua saja tetapi semua suku asli di seluruh Papua. Khusus mengenai kasus perang suku di Distrik Tembagapura, Mimika antara suku Dani yang bergabung dengan suku Damal melawan suku Amungme sejak Selasa (16/10) hingga kini, semua pihak harus mencermati fenomena perang suku tersebut karena justru terjadi di dekat areal tambang PT Freeport Indonesia. Pada beberapa bulan yang lalu, suku-suku ini pun telah terlibat perang suku dan pada September lalu, mereka bermusyawarah dan bersepakat untuk tidak lagi mengobarkan perang serupa, namun kenyataannya, pada Selasa (16/10) perang itu kembali berkobar hingga hari ini. Di dalam situasi konflik antarsuku tersebut, muncul berbagai pernyataan dari masyarakat setempat bahwa perang suku itu terjadi karena persoalan keluarga. Hal ini merupakan sebuah alasan klasik. Namun, lanjut Dekan FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura ini, ada orang lain pula yang menyatakan bahwa perang suku tersebut terjadi karena suku Damal dan Dani merasa perlakuan PT Freeport Indonesia terhadap mereka tidak adil. PTFI dinilai lebih memperhatikan suku Amungme daripada suku Dani dan Damal. Jika alasan yang terakhir ini benar, maka hal itu pun patut dicermati secara lebih mendalam lagi. Jangan sampai ada pihak ketiga yang "mengail di air keruh" dengan mengadu-domba suku-suku yang bermukim di sekitar wilayah tambang PTFI dengan mengobarkan perasaan ketidakadilan semu apalagi mereka tahu kalau suku-suku asli Papua pada umumnya masih memiliki kebiasaan perang suku. Apabila benar bahwa perang suku tersebut akibat ulah pihak ketiga yang ingin mencari keuntungan saat "air berkeruh" maka semua rakyat asli Papua harus tingkatkan kewaspadaan, memperkokoh persatuan dan kesatuan serta memperkuat solidaritas antarsuku agar tidak mudah diadudomba. Sebaliknya, jika perang suku itu terjadi murni akibat suku Dani dan Damal merasa PTFI tidak optimal memperhatikan mereka sementara suku Amungme lebih diperhatikan PTFI maka hal ini patut dipahami dan disikapi secara arif bijaksana karena bagaimanapun juga suku Dani dan Damal memiliki hak-hak yang sama yang dimiliki suku Amungme atas wilayah tambang PTFI. Perasaan ketidakadilan ini harus riil disertai bukti konkret bukan sekedar perasaan semu tanpa bukti nyata di dalam kehidupan setiap hari. Jika tidak adil, aspek hidup mana yang dirasakan tidak adil itu? Bagaimanapun juga suku Dani, Damal dan Amungme itu berkerabat. Mereka memiliki hak yang sama atas tanah yang kini menjadi wilayah tambang PTFI. Pada ketiga suku asli ini telah terjadi kawin-mawin di antara mereka sehingga tidak bisa sebuah perusahaan tambang seperti PTFI memilah-milah kepemilikan tanah wilayah tambang itu atas kepemilikan suku Amungme lebih dari pada kepemilikan suku Dani dan Damal. "Terdapat perempuan Amungme menikah dengan pria dari suku Dani atau Damal. Sebaliknya, terdapat pria Amungme yang menikahi perempuan dari suku Dani atau Damal. Mereka ini memiliki hak-hak yang sama atas tanah yang diwariskan leluhur mereka yang kini menjadi areal tambang PTFI," katanya. Untuk mengatasi persoalan yang krusial dan kronis ini, kata penulis disertasi "Kepemimpinan Tonowi (tokoh masyarakat suku Me-Ekari di Paniai) Dalam Penyelesaian Sengketa" itu, sebaiknya semua kepala suku dan panglima perang duduk bermusyawarah untuk mencari akar perang suku dan berusaha menemukan jalan penyelesaiannya. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007