Beginilah kesulitan menjangkau warga di pedalaman, tidak akan bisa tanpa bantuan batin untuk menunjukkan jalan
Pekanbaru (ANTARA) - Berdasarkan sensus penduduk terakhir dari Badan Pusat Statistik tahun 2010, terdapat sekitar 1.340 suku bangsa hidup di negeri berpenduduk terbesar keempat di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat ini.

Indonesia tak hanya kaya raya dengan sumber daya alamnya, melainkan juga keberagaman sukunya yang hidup di negeri bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Salah satunya adalah Suku Talang Mamak, satu dari lima suku asli yang telah ada sejak zaman nenek moyang kita dahulu di Riau. Empat suku asli di Riau lainnya adalah Suku Laut, Suku Bonai, Suku Sakai, dan Suku Akit.

Talang Mamak, berasal dari kata talang yang berarti ladang dan mamak yang bermakna ibu, tergolong Suku Melayu Tua, dikenal juga sebagai Suku Tuha atau suku yang pertama datang di Indragiri Hulu.

Mereka menyebut keturunan dari datuk patih nan sebatang, asal Minangkabau, yang kerap dipanggil mamak, yang membuka talang (ladang) atau tempat pemukimam baru. Generasi turunan mereka menyebut dirinya sebagai Talang Mamak.

Hingga kini mereka memang bermukim di berbagai daerah pelosok di Kabupaten Indragiri Hulu.

Mayoritas masyarakat Talang Mamak masih hidup tradisional dan bergantung dari alam yang menjadi tempat tinggal mereka, dengan cara berburu, menangkap ikan, dan memanfaatkan alam sekitar untuk kelangsungan hidup mereka dengan memegang teguh adat istiadat dan keyakinan mereka.

Berdasarkan survei Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 2015, populasi Suku Talang Mamak di Kabupaten Indragiri Hulu mencapai 18.000 jiwa. Salah satu komunitas Talang Mamak yang terbesar dan disegani berlokasi di Kecamatan Rakit Kulim, karena di sana tinggal pemangku adat tertinggi yang disebut Patih.

Berkaitan dengan Merayakan Demokrasi Indonesia menjelang Pemilu 2019, ANTARA menyambangi masyarakat Suku Talang Mamak.

Baca juga: Pesta demokrasi dan peran ki petinggi di Tengger

Pengalaman pemilu sebelumnya, tingkat partisipasi Suku Talang Mamak untuk memberikan suara pada proses pemungutan suara pemilu tergolong rendah.

Pada Pemilu Legislatif dan Presiden 2014, tingkat partisipasi pemilih di Kecamatan Rakit Kulim hanya sekitar 65 persen dan itu pun banyak berasal dari desa-desa yang warganya merupakan pendatang dari daerah lain, bukan dari penduduk Talang Mamak.

Pada Pemilihan Gubernur Riau 2018 tingkat partisipasi Suku Talang Mamak menurun drastis. KPU mencatat ada dua kecamatan tempat Suku Talang Mamak, tingkat partisipasi pemilihnya rendah yakni di Kecamatan Batang Gansal sekitar 40 persen dan Kecamatan Rakit Kulim 45 persen.

Kalau dilihat lebih detil lagi, pada desa-desa tempat tinggal Suku Talang Mamak, tingkat keikutsertaan pada pemilu rata-rata tidak sampai 30 persen. Bahkan, dari tempat pemungutan suara (TPS) di dua dusun yang ada di Desa Talang Durian Cacar, hanya ada sekitar 36 warga Talang Mamak yang menyalurkan hak pilihnya, dari 300 orang lebih pemilih terdaftar.

Baca juga: Belajar tidak golput dari warga Selagolong Gunung Rinjani

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Indragiri Hulu, jumlah pemilih pada daftar pemilih tetap untuk Pemilu 2019 di Kecamatan Rakit Kulim mencapai 15.827 orang, dan lebih dari 50 persennya adalah warga Talang Mamak. Masyarakat adat ini tersebar di sembilan dari 19 desa yang ada, yakni di Desa Talang Sei Parit, Talang Gedabu, Petonggan, Talang Perigi, Talang Selantai, Talang Sungai Ekok, Talang Tujuh Buah Tangga, Talang Pring Jaya, dan Desa Talang Durian Cacar.

Oleh karena itu, mari kita melihat penyebab rendahnya partisipasi politik Suku Talang Mamak dengan menuju langsung ke pangkalnya, dan bagaimana upaya penyelenggara Pemilu untuk mendongkraknya.


Kendala Geografis
Sejumlah warga mencoba melintasi jalan tanah menuju Desa Talang Durian Cacar Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau pada 6 Maret 2019. ANTARA FOTO/FB Anggoro/19. (ANTARA FOTO/FB Anggoro)


Kecamatan Rakit Kulim berjarak sekira 200 kilometer dari Kota Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau, dengan infrastruktur jalan yang sangat minim karena sebagian besar masih berupa jalan pengerasan dan tanah. Pada musim kering jalan itu berdebu dan begitu diguyur hujan berubah jadi kubangan lumpur.

Jaringan telekomunikasi seperti sambungan telepon apalagi internet sangat terbatas. Andaikan saja warga Talang Mamak sudah banyak melek internet dan media sosial, mungkin banyak dari mereka muncul jadi model-model dadakan dan berpose di jalan rusak di Kecamatan Batumarta, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, yang viral lantaran dijadikan tempat pemotretan model sebagai bentuk protes warga kepada pemerintah setempat.

Jalan aspal sebenarnya sudah ada seperti di Desa Talang Perigi, dan Petonggan yang menjadi ibu kota Kecamatan Rakit Kulim. Namun, kondisinya sudah banyak rusak dan berlubang karena sering dilewati truk pengangkut hasil panen kelapa sawit. Minimnya infrastruktur menjadi hambatan utama dalam sosialisasi Pemilu.

"Kami sering terpaksa harus memutar dari kecamatan lain," kata Ketua Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) Rakit Kulim Elzapeldi Indra.

Jalan rusak dan letaknya di pedalaman membuat sosialisasi pemilu menjadi terkendala. Untuk ke Desa Talang Pring Jaya, misalnya, harus masuk dari Kecamatan Peranap. Untuk ke Desa Rakit Kulim, perjalanan bisa empat jam, ke Sungai Ekok kalau hujan tidak bisa dengan kendaraan roda empat, terpaksa keliling dulu ke Kecamatan Batang Cenaku.

Sinyal telepon seluler dan internet yang memadai hanya ada di Desa Petonggan dan sebagian Desa Talang Perigi, selebihnya timbul-tenggelam atau malah tak ada sema sekali.

Apalagi ketika terjadi pemadaman listrik yang bisa berdurasi hingga 1-4 jam, komunikasi dengan warga Talang Mamak dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) di desa-desa bakal lebih susah.

Baca juga: Pengawal pemilu raya di Kampung Laut



Elzapeldi Indra mengatakan warga Talang Mamak juga tidak tinggal berkelompok di tepi jalan utama. Banyak dari mereka tinggal terpencar jauh di kebun karet dan hutan dengan jarak satu rumah dengan lainnya bisa terpaut satu kilometer.

ANTARA sempat mengikuti aktivitas sosialisasi Pemilu yang dilakukan PPK Rakit Kulim bersama Relawan Demokrasi di Desa Talang Gedabu.

Sosialisasi ini juga melibatkan batin, pemangku adat Talang Mamak di bawah patih, karena lokasi rumahnya di hutan, jauh dari jalan desa.

Menuju rumah itu hanya ada jalan setapak menembus perkebunan karet. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk mencapainya karena jalan berlumpur susah dilalui motor.

Namun nahas, ketika sampai di rumah tradisional berdinding kulit kayu itu, batin sedang pergi menakik atau menoreh pohon karet. Mustahil dapat menghubunginya karena dia tidak punya telepon seluler.

"Beginilah kesulitan menjangkau warga di pedalaman, tidak akan bisa tanpa bantuan batin untuk menunjukkan jalan," kata Elzapeldi.

Kondisi infrastruktur jalan yang memprihatinkan di permukiman Suku Talang Mamak terdapat di Desa Talang Durian Cacar, tempat tinggal pemangku adat batin dan patih. Akses menuju desa ini masih berupa jalan tanah.

Pada saat kering, jalan tersebut sudah sulit dilalui karena banyak tanjakan yang kemiringannya sampai 45 derajat dan berlubang-lubang. Akses masuk desa tersebut melalui Desa Talang Perigi sebenarnya hanya sekira lima kilometer namun ada 10 titik jalan rusak parah. Begitu juga akses masuk dari Desa Talang Selantai, yang sama rusaknya.

Hujan deras pada awal Maret membuat lubang di jalan tanah menuju Desa Talang Durian Cacar berubah jadi kolam berair coklat. Tanah berubah jadi lumpur yang lengket, sulit dilalui kendaraan. Mobil jenis minibus yang disewa wartawan ANTARA terpaksa menumpang parkir di rumah warga di Desa Talang Selantai karena tidak bisa melewati jalan tersebut.

Penjabat Sementara (Pjs) Kepala Desa Talang Durian Cacar Husaini, yang menjadi pemandu jalan, berbaik hati mengontak warga Talang Mamak untuk menjemput dengan sepeda motor. Sungguh sebuah perjalanan yang memacu adrenalin karena kalau salah memilih jalan, dipastikan motor akan terpelanting ke dalam kubangan.

Motor hanya bisa melaju perlahan, beberapa kali juga harus mencari rute alternatif ke dalam kebun warga guna menghindari kubangan di jalan. Kalau sudah masuk ke kubangan, sudah pasti penumpang wajib bantu mendorong.

"Ibu-ibu sering menumpang parkir motornya di rumah warga Desa Talang Selantai, lalu jalan kaki ke dalam. Jalan sangat buruk apalagi kalau hujan,” kata Tempelan, warga Talang Mamak yang meminjamkan motor untuk ANTARA.
Perjuangan anggota Relawan Demokrasi melewati jalan setapak ketika melakukan sosialisasi Pemilu Serentak 2019 kepada warga Suku Talang Mamak di Desa Talang Gedabu Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, pada 6 Maret 2019. ANTARA FOTO/FB Anggoro/19. (ANTARA FOTO/FB Anggoro)


Pendekatan kultural

Elzapeldi menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 di Kecamatan Rakit Kulim mencapai 75 persen dari jumlah pemilih, atau naik 10 persen dari angka partisipasi Pemilu sebelumnya. Strategi yang dilakukan juga lebih banyak dengan pendekatan kultural.

Sosialisasi di tiap desa tidak hanya cukup hanya oleh tiga orang PPS (Panitia Pemungutan Suara). Peran Patih, Batin dan kepala desa juga sangat krusial. Intinya agar warga Talang Mamak mengetahui bahwa dalam waktu dekat ada pemilu, supaya mereka jangan sampai tidak memilih alias golput.

"Mereka juga masih ada yang takut dengan orang luar. Waktu ada verifikasi data dan sensus, kalau kami tak bawa orang sana, mereka takut, lari," ujarnya.

Baca juga: Berperahu dari pulau ke pulau demi suksesnya pemilu

Peran Patih dan Batin masih sangat dihormati oleh komunitas adat ini. Apa pandangan dan perkataan pemangku adat untuk ikut menyukseskan pemilu, masih akan lebih didengarkan dan dipatuhi oleh warga Talang Mamak lainnya.

Sosialisasi pemilu di wilayah itu, dirancang untuk masuk dari ranah tradisi budaya. Sejak penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Riau 2018, PPK Rakit Kulim menggelar sosialisasi dengan menampilkan tarian tradisional Talang Mamak.

Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Riau, KPU Kabupaten Indragiri Hulu, dan PPK Rakit Kulim, juga mendatangi pernikahan warga Talang Mamak yang disebut begawai, seperti yang terjadi pada sebuah begawai di Desa Talang Gedabu.

Sosialisasi di begawai menaikkan partisipasi Pemilu, walau masih kurang, kata Elzapeldi.

Relawan Demokrasi yang berjumlah empat orang di Rakit Kulim kerap ikut di acara-acara masyarakat seperti turnamen bola voli, datang ke sekolah-sekolah untuk menjangkau pemilih pemula, hingga ke arisan ibu-ibu.

Meski begitu, Elzapeldi mengatakan dirinya juga kerap melakukan inisiatif sendiri untuk sosialisasi yang konsekuensinya harus merogoh kocek pribadi.

"Pengorbanan untuk tugas ini, ya, harus keluarkan dana pribadi untuk minum dan makan dalam perjalanan, juga untuk minyak kendaraan karena jarak tempuh cukup jauh," katanya.

Baca juga: Pemilu adalah kegembiraan orang-orang pulau
Baca juga: Suara dari Kampung Naga

 

Editor: Budi Setiawanto
Copyright © ANTARA 2019