Jakarta (ANTARA) - Laporan yang disusun Ketua Angel Investment Network Indonesia (ANGIN) Valencia Dea menunjukkan bahwa kewirausahaan perempuan Indonesia tertinggal dibandingkan Kanada.

Laporan yang berfokus pada UKM dan perusahaan rintisan (startup) itu ditulis oleh Dea selama dua bulan magang di The Conference Board of Canada pada musim semi 2018, dengan dukungan Proyek Bantuan Sektor Perdagangan dan Swasta (TPSA) Kanada-Indonesia serta Kementerian Perdagangan RI.

“Saat ini, UKM milik perempuan hanya berkontribusi 9,1 persen dari PDB Indonesia pada 2013. Mengatasi rintangan yang menghambat perempuan untuk memulai dan mengembangkan bisnis akan menghasilkan manfaat ekonomi lebih luas,” kata Dea dalam peluncuran laporan tersebut di Jakarta, Rabu.

Di Indonesia, usaha kecil milik perempuan menghasilkan 36,5 miliar dolar AS dan usaha menengah milik perempuan menghasilkan 34,6 miliar dolar AS.

Sementara UKM milik perempuan Kanada berkontribusi sebesar 148 miliar dolar Kanada terhadap kegiatan ekonomi, yang menempati sekitar 8,4 persen dari PDB Kanada pada 2011.

UKM milik perempuan di Indonesia cenderung bergerak di sektor jasa ketimbang sektor manufaktur, kecuali produksi makanan.

Kehadiran UKM perempuan menonjol di layanan lain, perdagangan ritel, dan perdagangan grosir, namun kurang di sektor-sektor seperti bahan kimia atau plastik, teknologi informasi, mesin dan peralatan, serta logam atau mineral lain.

Seperti di Indonesia, UKM milik perempuan Kanada sebagian besar terkonsentrasi di industri jasa terutama bidang informasi, pengelolaan limbah, perawatan kesehatan dan rekreasi, serta perdagangan ritel, namun memiliki kehadiran yang minimum di berbagai sektor yang didominasi laki-laki seperti konstruksi, perdagangan grosir, dan manufaktur.

Tingkat keseluruhan partisipasi UKM Indonesia di pasar ekspor global rendah. Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa kurang dari 1 persen UKM mengekspor produknya.

Saat ini, tidak ada data partisipasi ekspor terpilah menurut gender, namun Presiden Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) memperkirakan hanya 1 persen dari anggotanya, yang berjumlah lebih dari 30.000 orang, yang mampu mengekspor produknya.

Dibandingkan Indonesia, jumlah UKM milik perempuan Kanada yang terlibat dalam kegiatan ekspor jauh lebih tinggi yaitu 11,1 persen.

Kendati demikian, menurut kajian itu, perempuan pelaku UKM di Indonesia maupun Kanada sejatinya menghadapi berbagai tantangan dalam memulai dan mengembangkan bisnisnya, terutama norma sosial budaya dan akses permodalan.

“Perempuan menghadapi double burden yang menempatkan mereka pada beban ganda sebagai penanggungjawab urusan rumah tangga sehingga memiliki keterbatasan waktu dan mobilitas untuk berjejaring maupun berbisnis,” tutur Dea.

UKM di Indonesia adalah segmen yang kurang terlayani di bidang pembiayaan. Saat ini, institusi keuangan formal lebih menargetkan perusahaan mikro atau besar, ditambah fakta bahwa perbankan memberlakukan berbagai aturan yang rumit untuk pemberian modal meskipun pemerintah telah menurunkan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi 7 persen pada 2018.

Terbatasnya ketersediaan modal juga menjadi hambatan utama yang ditemukan di Kanada, salah satu penyebabnya adalah pengusaha perempuan dan lembaga keuangan memiliki pandangan berbeda tentang pertumbuhan.

Di Kanada, perempuan seringkali memilih memulai usaha kecil dan mengambil pinjaman sedikit untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang usahanya, sementara lembaga keuangan umumnya enggan memberikan pinjaman kecil. 

Baca juga: Survei : kesenjangan gender batasi potensi wirausaha wanita

Baca juga: UKM perempuan se-ASEAN pameran bersama


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019