Jakarta (ANTARA) - Muda dan berprestasi itulah sosok Glory Lamria Aritonang, mahasiswi semester delapan Teknologi Bioproses Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Sejumlah prestasi baik nasional dan internasional diraih anak pasangan Nurmawati dan Nimrot Aritonang ini. Mulai dari kompetisi debat, esai, video hingga bisnis diraihnya. Terbaru, ia mengharumkan nama Indonesia di Universitas Hardvard, Amerika Serikat.

Ia mendapatkan juara pertama pada Business Case Impact Challenge by Deloitte Life Science and Health Care Consulting dalam ajang Harvard Project for International Relation (HPAIR) di Harvard University, Cambridge, Amerika Serikat pada tanggal 15-18 Februari 2019

Pada ajang itu, Glory bersama empat anggota tim lainnya yang berasal dari Universitas Oxford, Universitas Nazarbayev, dan Kathmandu College of Management berhasil memenangkan kategori Impact Challenge kategori strategi pemasaran dan ekspansi.

"Waktu itu kita bikin solusi bisnis ekspansi pasar untuk perusahaan farmasi yang bergerak di bidang dengue, zika dan malaria. Kita bikin strategi penetrasi pasarnya bagaimana, research pasar, lalu pitching di depan juri," jelas Glory.

HPAIR merupakan kompetisi International yang mempertemukan 300 talent dari 80 negara dengan berbagai keahlian untuk memberikan ruang untuk membahas tantangan paling mendesak serta memberikan solusi penting dalam bidang ekonomi, sosial, politik di wilayah Asia.

Untuk dapat berkompetisi di Harvard, Glory harus mengikuti seleksi program Harvard Project for Asian International Relation. "Seleksi berkas, seleksi wawancara, lalu diterima dan berangkat ke sana," ujarnya.

Prestasi Glory tak hanya itu saja, pada Oktober 2018 ia meraih medali emas dalam ajang International Genetically Engineering Machine (IGEM) Competition di Boston, Amerika Serikat.

IGEM merupakan kompetisi rekayasa genetika terbesar di dunia yang mengikutsertakan 321 tim dari lebih100 negara.

Pada kompetisi itu, Glory dan teman temannya menemukan inovasi alat diagnosis difteri dengan menggunakan bakteri rekombinan. Alat diagnosis itu mampu mendeteksi difteri dengan mudah, cepat, dan murah.

Pada Juni 2018, Glory juga meraih medali emas untuk kategori Human Health and Well Being di kompetisi UNLEASH , Singapura. Glory dan anggota lainnya yg berasal dari Brazil, Chile , Singapura, Indonesia menorehkan prestasi melalui alat bantu berjalan untuk anak anak dengan kemampuan gerak lemah untuk komunitas Favelas, Brazil.

Pada kompetisi di Singapura itu, Glory tercatat sebagai delegasi termuda yang mewakili Indonesia. UNLEASH adalah laboratorium inovasi global terbesar dunia untuk PBB untuk Sustainable Development Goals (SDGs) yang mengumpulkan 1.000 pembuat perubahan dari lebih 107 negara di dunia. Selain tiga penghargaan di atas, masih banyak prestasi lainnya baik tingkat nasional dan internasional.

"Fokus saya memang dibidang kesehatan," kata dia.

Ketertarikan Glory pada bidang kesehatan dimulai dari kesukaannya pada pelajaran biologi yang dimulai sejak SMA. Rata-rata ia mendapatkan nilai di atas sembilan dan dua kali ikut Olimpiade Sains Nasional (OSN) mewakili Jakarta, namun gagal ditingkat nasional.

"Saya memang suka biologi, namun juga ingin mempelajari teknik, setelah mencari, ternyata di Indonesia ada kampus yang menyediakan teknik dan bergerak di bidang bio-sains adanya di UI. Akhirnya saya memilih Teknologi Bioproses, dari situlah saya semakin terlibat di dunia kesehatan, ikut lomba-lomba, konferensi, dan grup riset," kata perempuan berumur 21 tahun ini.

Glory percaya kontribusi di dunia kesehatan tidak hanya kedokteran tetapi melibatkan multidimensional aspek.

"Seorang insinyur juga turut merancang, mengonstruksikan serta menemukan solusi dari permasalahan kesehatan. Apalagi untuk wilayah sebesar Indonesia, ada banyak kasus yang bisa dicarikan solusinya."


Mahasiswa berprestasi

Untuk menjadi mahasiswa berprestasi, Glory mengatakan setiap orang berprestasi di bidang masing-masing. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan.

"Pertama, cari tahu apa tujuan yang ingin dicapai, kemudian bagaimana cara mencapai tujuan itu dan terakhir buat rincian dan rencana detail untuk mencapainya," kata Duta Promosi Universitas Indonesia 2017 itu.

Untuk kaum perempuan, Glory yang juga penerima beasiswa Bidikmisi itu berharap perempuan tidak hanya diam saja terhadap peluang yang ada. Saat ini banyak kesempatan dan peluang yang dulu sulit kita dapatkan sekarang bisa kita raih. Namun, yang terpenting mau berusaha untuk belajar dari mana saja agar perempuan juga bisa siap dan mandiri apapun pilihan hidupnya kelak.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan pemerintah terus memperluas akses layanan pendidikan tinggi bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu dengan beasiswa Bidikmisi.

Nasir menjelaskan dengan beasiswa itu diharapkan dapat memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan dan meningkatkan daya saing bangsa.

“Kalau seseorang semakin pintar, pasti dia akan mampu menggerakkan ekonomi. Kapasitas ekonomi dan analisisnya juga akan lebih baik. Sumber daya manusia (SDM) yang punya pendidikan lebih baik, dia akan menerima tantangan global dan beradaptasi dengan lebih mudah," ujar Menristekdikti beberapa waktu lalu.

Nasir menyatakan bahwa pembangunan SDM bidang Iptek dan Pendidikan Tinggi menjadi prioritas program kerja Kemenristekdikti di tahun 2019. Pada 2019, anggaran Kemenristekdikti meningkat, dari Rp40,3 triliun pada 2018 menjadi Rp41,26 trliun pada 2019.

Sebagian besar anggaran tersebut dirancang untuk mencetak SDM Indonesia unggul, mulai dari beasiswa mahasiswa, dosen, peneliti dan perekayasa hingga pengembangan riset dan inovasi.

"Mereka-mereka itu merupakan tulang punggung dalam menjadikan SDM Indonesia Inovatif, kreatif dan berdaya saing tinggi,” kata mantan Rektor Terpilih Universitas Diponegoro itu.

Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Ismunandar, mengatakan perguruan tinggi di Indonesia harus mampu mencetak para lulusan yang memiliki kompetensi berdaya saing era Revolusi Industri 4.0, berorientasi pada penguasaan kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi, serta memiliki jiwa kewirausahaan. Saat ini, perguruan tinggi harus menyiapkan lulusannya untuk bekerja di bidang-bidang yang belum ada saat ini.*


 

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019