Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menegaskan soal pentingnya tanggung jawab pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.

"Mengapa KPK harus ikut berupaya meyakinkan Mahkamah Agung agar tanggung hawab pidana korporasi itu penting karena kami melihat Hong Kong lebih dari 70 persen kasusnya adalah corruption in private sector. Singapura lebih dari 90 persen KPK-nya itu tidak menyasar lagi pejabat publik," kata Syarif.

Hal tersebut dikatakannya saat seminar "Bersama Menciptakan BUMN Bersih Melalui Satuan Pengawasan Intern (SPI) yang Tangguh dan Terpercaya" di Gedung KPK, RI, Jakarta, Kamis. Seminar itu juga dihadiri oleh Menteri BUMN Rini Soemarno.

"SFO (Serious Fraud Office) di Selandia Baru juga private sector dan KPK salah dari dahulu. Kenapa? Karena dahulu yang kami engage itu hanya pemerintah dan CSO. Kita sadar dari jumlah pelaku korupsi, yang paling banyak setelah anggota DPR mohon maaf itu adalah private sector, nomor dua tertinggi," ungkap Syarif.

Selanjutnya, kata dia, di negara lain yang mempunyai nilai indeks persepsi korupsi (CPI) tinggi pun lantas tidak hanya menghukum orangnya, tetapi juga korporasi yang juga ikut bertanggung jawab dalam kasus korupsi.

"Terus apa cukup hanya menghukum orangnya? Belajar dari negara lain yang CPI-nya tinggi ternyata perusahaannya juga. Apakah undang-undang kita sudah mengatur itu? Jelas hukum acaranya waktu itu belum ada karena itu keluarlah Perma (Peraturan Mahkamah Agung)," ujar Syarif.

Oleh karena itu, kata dia, lembaganya juga telah mengeluarkan panduan pencegahan korupsi untuk korporasi.

Namun, kata dia, yang lebih penting adalah soal komitmen dari korporasi untuk tidak terlibat dalam kasus korupsi.

Ia mengatakan bahwa pihaknya melakukan perencanaan, memahami peraturan, mendeteksi areanya.

"Yang lebih mengetahui isi hati perusahaan bukan KPK, bapak ibu sendiri di mana lubang-lubang korupsinya. Kalau saya lihat semua BUMN, semua sudah mulai bagus peraturan internalnya. Akan tetapi, pelaksanaannya masih banyak yang tidak sesuai," tuturnya.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019