Jakarta (ANTARA) - Tiga orang pejabat di Direktorat Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) didakwa oleh KPK menerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Ketiga pejabat PUPR itu adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) SPAM Strategis Wilayah II A Donny Sofyan Arifin, Kepala Satuan Kerja Tanggap Darurat Permukiman Pusat Teuku Mochamad Nazar dan PPK Pembangunan SPAM Strategis wilayah IB Meina Woro Kustinah..

Mereka didakwa menerima suap dari Dirut PT Wijaya Kusuma Emindo (WKE), Lily Sundarsih selaku Direktur Keuangan PT WKE dan bagian keuangan PT Tashida Sejahtera Perkasa (TSP), Irene Irma selaku Dirut PT TSP dan Koordinator Pelaksana proyek PT WKE dan Yuliana Enganita Dibyo selaku direktur WKE dan koordinator pelaksana proyek PT TSP

"Terdakwa Donny Sofyan Arifin selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menerima hadiah seluruhnya Rp920 juta dari Budi Suharto, Liy Sundarsih, Irene Irma dan Yuliana Enganita Dibyo," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK I Wayan Riana saat membacakan dakwaannya.

Jaksa KPK menyebut tujuan pemberian itu adalah agar Donny, Meina dan Teuku Mochamad Nazar selaku PPK telah mempermudah pengawasan kegiatan proyek di lingkungan Satker PSPAM Strategis Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR yang dikerjakan oleh PT WKE dan PT TSP sehingga dapat memperlancar pencairan anggaran kegiatan proyek yang dikerjakannya.

PT WKE bergerak dalam bidang elektrikal, mekanikal dan pengolahan air minum dan mengerjakan sejumlah proyek di bawah Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR.

Budi Suharto pada Februari 2016 mendirikan PT TSP untuk mengerjakan proyek-proyek dengan nilai pagu yang lebih kecil, namun di bidang yang sama dengan PT WKE dengan dirut PT TSP adalah anaknya Irene Irma.

Untuk terdakwa Donny, Donny menerima Rp770 juta secara bertahap pada 2014-2017 terkait pelaksanaan proyek Pembangunan SPAM IKK Balai Riang Kabupaten Sukamarah Kalimantan Tengah (Kalteng), proyek pembangunan SPAM IKK Arut Utara Kotawaringin Barat Kalteng, pembangunan SPAM IKK Sambang Makmur Banjar Kalimantan Selatan dan proyek IPA Semboja Kalimantan Timur

Selanjutnya Donny juga menerima fee sejumlah Rp150 juta secara bertahap, yaitu Rp50 juta pada 17 September 2018 dan Rp100 juta pada 27 Desember 2018 dengan kode "rampasan perang".

"Namun pada saat itu Donny menolak menerima uang karena sebelumnya mendapat informasi dari Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR bahwa sedang dipantau oleh KPK," tambah jaksa Wayan

Sedangkan untuk terdakwa Meina, ia selaku PPK bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek yang dikerjakan oleh PT WKE, yaitu Pembangunan SPAM PDAM Binaan (Katulampa) Kota Bogor Tahun 2017 – 2018 dengan nilai kontrak Rp59,883 miliar.

"Terdakwa Meina Woro Kustina selaku PPK Wilayah 1B pada Satuan Kerja Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Strategis (Satker PSPAM Strategis) Tahun 2017-2018 menerima seluruhnya sejumlah Rp1,42 miliar dan uang 23 ribu dolar Singapura," tambah jaksa Wayan.

"Pada sekitar April atau Mei 2017, Untung Wahyudi yang merupakan koordinator pembangunan SPAM PDAM Binaan Katulampa kota Bogor tahun 2017-2018 di kantor SPAM Strategis Pejompongan Jakarta Pusat. Terdakwa mengatakan kepada Untung Wahyudi 'Nanti PPK ada porsinya sesuai kesepakatan 3 persen dari nilai proyek dikurangi pajak' yang artinya terdakwa Meina selaku PPK meminta uang kepada PT WKE sebesar 3 persen dari nilai proyek dikurangi pajak atau sekitar Rp1,675 miliar," ungkap jaksa Wayan.

Penyerahan uang dilakukan secara bertahap pada Mei 2017-Desember 2018.

Sedangkan untuk terdakwa Teuku Mochamad Nazar menerima Rp6,711 miliar dan 33 ribu dolar AS.

"Teuku Mochamad Nazar selaku Kepala Satuan Kerja (Kasatker) Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air Minum NAD dan PPK Pembinaan Teknis Provinsi Aceh Tahun 2015-2016 serta Kasatker dan PPK PPK Pembinaan Teknis Tanggap Darurat Permukiman Pusat Tahun 2018 menerima uang sejumlah Rp6,71 miliar dan 33 ribu dolar AS," kata jaksa Wayan.

Nazar menerima uang Rp5,5 miliar secara bertahap terkait dengan proyek-proyek di Satker SPAM Aceh yang dikerjakan oleh PT WKE.

Nazar juga menjadi Kasatker Tanggap Darurat Permukiman Pusat bertanggung jawab untuk mengendalikan proyek-proyek yang dikerjakan oleh PT TSP yaitu pekerjaan penanganan tanggap darurat SPAM Sulawesi Tengah 2018 sebesar Rp16,48 miliar dan pekerjaan pengadaan Pipa dan Asesoris Kebutuhan Keadaan Darurat 2018 yang berlokasi di Kota Bekasi senilai Rp5,9 miliar.

"Terdakwa menunjuk langsung PT TSP sebagai pelaksana proyek pekerjaan penanggulangan bencana Donggala Sulawesi Tengah dengan membuat draft surat perjanjian kerja tertanggal 5 Desember 2018 dengan nilai kontrak Rp16,48 miliar," ungkap jaksa.

Uang sejumlah 33 ribu dolar AS atau setara Rp500 juta diserahkan pada 6 Desember 2018 diserahkan melalui Dwi Wardhana dan pada 7 Desember diserahkan ke Nazar.

Pekerjaan PT TSP terkait penanggulangan Bencana Sulawesi Tengah belum selesai sesuai target pada tanggal 22 Desember 2018 dan bisa mundur hingga bulan Januari 2019 namun Nazar tetap memproses pembayaran seluruhnya dengan alasan sebentar lagi tutup tahun anggaran yaitu senilai Rp15,656 miliar dan Rp824 juta.

Untuk pekerjaan pengadaan pipa dan asesoris kebutuhan keadaan darurat di Bekasi, Nazar juga melakukan penunjukkan langsung PT TSP padahal untuk pengadaan persediaan (stock) tidak boleh dilakukan penunjukan langsung.

Nazar pun membuat pembayaran untuk PT TSP sejumlah Rp5,9 miliar dipotong pajak sehingga yang totalnya adalah Rp5,283 miliar. Atas pembayaran itu, Nazar menerima Rp500 juta pada 18 Desember 2018.

Pemberian selanjutnya dilakukan pada 28 Desember 2018 sejumlah Rp711,605 juta hingga Nazar dan Dwi Wardhana diamankan petugas KPK.

Atas perbuatannya, Donny, Meina dan Teuku Mochamad Nazar didakwa pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Ketiga terdakwa tidak mengajukan eksepsi sehingga sidang dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi.

Baca juga: KPK: suap untuk pejabat Ditjen Cipta Karya sudah berlangsung lama

Baca juga: Tiga pejabat Kementerian PUPR dipanggil KPK

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019