Terjawab sudah "kegalauan" sejumlah kalangan mengenai penunjukan Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi sebagai Menteri Agama, lalu disusul Zainut Tauhid Saadi yang berasal dari kalangan Majelis Ulama Indonesia.
 
Fachrul yang tidak memiliki rekam jejak sebagai ulama atau aktivis organisasi kemasyarakatan seperti MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas lainnya dituding menjadi dasar kekecewaan.

Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin mengatakan Kemenag memiliki sisi historis sebagai kementerian yang berdiri buah dari kompromi politik di awal kemerdekaan Indonesia untuk umat Islam atas dihapusnya sejumlah kata pada salah satu poin dalam Piagam Jakarta.

"Ada persoalan historis dan psikologis yang diabaikan, yakni penempatan menteri pada kementerian yang memiliki dimensi historis kuat seperti bidang agama dan pendidikan," kata Din mengutip sari Rapat Pleno Dewan Pertimbangan MUI Ke-44 sebagaimana siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.

Seiring hari berlalu, Jokowi melantik sejumlah wakil menteri, termasuk untuk pos Kementerian Agama. Dalam pelantikan Wamenag, Presiden meminta Zainut untuk dapat membantu Menag Fachrul.

"Beliau sudah lama menjadi Waketum MUI Pusat. Posisi barunya membantu Pak Menteri Agama," kata Kepala Negara.

Sebagai pengurus MUI Pusat, Zainut yang juga tokoh Nahdlatul Ulama, mengemban posisi sebagai Wakil Ketua Umum bersama Yunahar Ilyas dari Muhammadiyah.

Ada satu posisi yang lebih tinggi dari mereka berdua di MUI yaitu Ketua Umum (nonaktif) KH Ma'ruf Amin yang kini menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Joko Widodo.

Ramah, toleran, humoris

Saat di MUI, Zainut tergolong sebagai pribadi yang ramah dan kerap mengajak umat Islam dan masyarakat Indonesia agar mengedepankan toleransi serta moderasi beragama melalui pernyataan-pernyataannya yang arahnya pada perdamaian serta mendinginkan kegaduhan.

Sebagai warga NU, dia tidak pernah lepas dari gaya humornya yang khas. Dia kerap merendah guna memancing suasana agar lebih cair, sebagaimana dilakukan dalam dialognya dengan wartawan dan ketika jumpa pers.

Di sisi lain, dia menyatakan berkomitmen sebagai Wamenag untuk bekerja bagi setiap golongan meski dia sempat berkiprah di PPP.

"Berkaitan dengan penunjukan Menteri, pembantu presiden, kewenangan penuh ada di Presiden dan saya yakin Presiden punya alasan dan tujuan terhadap penempatan pembantu-pembantunya. Meski saya mewakili PPP, warna saya, darah saya NU. Tapi ketika saya menjabat, kepentingan itu saya tanggalkan," kata dia.

Zainut menghargai hak prerogatif presiden mengenai penunjukan Menteri Agama Fachrul Razi. "Pembantu Presiden, kewenangan penuh oleh Presiden dan saya yakin Presiden punya alasan," kata dia.

Pria kelahiran Jepara, Jawa Tengah, pada 20 Juli 1963, itu mengenyam pendidikan dasar dan menengah di kota kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan kuliah S-1 di Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta.

Kemudian, gelar magister S2-nya di Universitas Satyagama dan program doktor di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Rekam jejaknya di NU antara lain, dia pernah menjadi Ketua Umum PP Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) selama dua periode pada tahun 1988-1996.

Zainut juga terjun di dunia politik pada tahun 1990-an dengan masuk menjadi anggota Partai Persatuan Pembangunan.

Selanjutnya, karir politiknya bertumbuh dengan menjadi anggota DPR RI periode 1997-1999, 2004-2009, 2009-2014 dan 2014-2019.

Seiring dengan jabatannya sebagai legislator 2014-2019, dia juga menjalankan perannya sebagai Waketum MUI Pusat periode 2015-2020.

Saat terjadi kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dia memposisikan diri sebagai pihak yang netral.

Meski mendorong penegakan hukum atas kasus penistaan agama, dia mengajak umat Islam untuk tidak berlebihan bertindak di luar batas atas kasus Ahok. Saat itu, Zainut menolak jika umat Islam sampai tidak mau mengurus jenazah Muslim lainnya hanya karena mendukung Ahok.

MUI, kata dia, mengimbau kepada semua umat Islam agar bersikap proporsional, tidak melampau batas. Umat Islam harus tetap menjaga persaudaraan. Umat Islam harus saling membantu dan menolong saudara yang terkena musibah dan itu perbuatan yang sangat terpuji.

"Kita tidak boleh menghukumi seseorang itu munafik atau kafir, yang berhak hanya Allah SWT," kata dia.

Zainut ketika itu juga mengingatkan umat Islam bahwa mengurus jenazah, hukumnya fardhu kifayah atau wajib kolektif.

Fardhu kifayah artinya jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, dalam konteks ini mengurusi jenazah, maka semua orang yang mukim atau bertempat tinggal di daerah tersebut berdosa.

Menurut dia, sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Umar bin Khattab RA pernah berkata, "dulu ketika Rasulullah masih hidup untuk menilai apakah orang itu munafik atau tidak itu dijawab dengan turunnya wahyu Allah. Tetapi setelah Rasulullah wafat maka untuk menghukumi seseorang itu beriman atau tidak hanya bisa dilihat dari yang tampak lahirnya bukan batinnya."

Nabi SAW, kata dia, bersabda, "Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati."

Wamenag baru

Setelah sekian lama, Kementerian Agama kembali memiliki wakil menteri. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terdapat Wamenag pertama yaitu Nasaruddin Umar yang menjabat pada 19 Oktober 2011-28 Mei 2014.

Dia menjadi wakil dari Menteri Agama Suryadharma Ali yang menjadi orang nomor satu di Kemenag pada 22 Oktober 2009 hingga 28 Mei 2014.

Dengan begitu, Zainut merupakan Wamenag kedua di sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Terdapat persamaan dari kedua Wamenag yaitu kini menjadi pengurus di MUI.

Zainut sebelumnya juga aktif dalam berbagai organisasi Islam. Dia pernah menjadi pengawas dan anggota Lembaga Sensor Film periode 2009-2012, Wakil Sekretaris Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) periode 2010-2015, Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI Pusat) serta sebagai Anggota Dewan Pengawas Syariah di AXA Mandiri.

Pewarta: Anom Prihantoro

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019