Dari sekian banyak hal yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjabat Presiden RI, salah satunya adalah meluncurkan buku karyanya.

"Untuk pecinta demokrasi dan para pemimpin Indonesia mendatang," demikian pesan yang diberikan pada buku karangan Yudhoyono berjudul "Selalu Ada Pilihan" yang diluncurkan awal 2014.

"Di saat-saat akhir pengabdian sebagai pemimpin negeri ini saya mengajak seluruh rakyat Indonesia terutama para elit dan tokoh bangsa untuk membuat politik dan demokrasi kita ini makin matang, makin berkeadaban dan makin berkualitas," kata SBY, demikian Yudhoyono akrab dipanggil sejak 2004 dalam pengantar buku setebal 807 halaman itu.

Dalam buku yang terbagi dalam empat bab itu, Yudhoyono memaparkan pengalamannya dan pandangannya terkait jalan panjang yang ditempuh oleh seseorang sejak hendak menjadi Presiden hingga kemudian mengakhiri tugas sebagai Presiden.

Tampuk kepemimpinan nasional telah berganti dari Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden RI ketujuh, Joko Widodo pada 20 Oktober 2014
    
"Buku ini saya niatkan tidak menjadi bacaan yang 'berat'. Misalnya terlalu banyak bahasa ilmiah dan tidak akrab di mata rakyat. Bukan, sebaliknya, cerita-cerita yang saya angkat dalam buku ini saya bawakan dalam bahasa yang mudah dan sederhana, saya berharap kalangan manapun dapat memahami kandungan buku ini," paparnya.

Diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, buku bersampul putih dengan judul berwarna merah dan hitam tanpa ilustrasi gambar apapun seakan ingin berpesan sebagai sebuah buku yang secara tulus menyampaikan masukan dan saran bagi siapapun pemimpin Indonesia untuk bisa memahami siapa yang dipimpinnya, masalah apa yang akan dihadapinya dan pengalaman pribadi SBY menghadapi semua hal tersebut.

Meski memiliki kekurangan terkait ketebalan buku dan ukurannya yang kurang bersahabat sehingga tidak ringkas untuk dibawa bepergian, namun Yudhoyono berusaha menyajikan sejumlah pengalaman dan pandangannya mengenai suatu hal yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas sebelumnya.

Pada bagian pertama bukunya, Yudhoyono bercerita tentang kondisi Indonesia sejak 2004 hingga menjelang akhir masa jabatannya pada 2014. Seorang pemimpin, kata SBY, harus mengenal bagaimana negara dan bangsa yang dipimpinnya.

"...saya berani mengatakan bahwa ada semacam 'revolution of the rising demands'...setiap perubahan sosial apalagi berlingkup nasional dan dalam skala besar selalu dibarengi dengan meningkatnya harapan dan tuntutan rakyat.." (halaman 44).

Bekerja sebagai pemimpin, khususnya pascareformasi 1998, kata SBY, bukanlah perkara yang mudah dan sederhana. Ekspektasi masyarakat yang tinggi dan juga kebebasan berpendapat yang sedemikian lebar ikut mempengaruhi bagaimana seorang pemimpin bekerja.

"Sekali merdeka, merdeka sekali," (halaman 54).

    
               Pesan untuk Presiden
Pada bagian kedua bukunya, Yudhoyono menempatkan judul,"asalkan tahu, beginilah jadi Presiden". Pemilihan judul itu bukan asal-asalan, karena si penulis ingin menggambarkan dan berbagi rasa bagaimana di tengah anggapan kehidupan sebagai Presiden serba "wah" namun ternyata banyak hal yang luput dari perhatian umum termasuk ketika selalu dicurigai atas setiap kebijakan yang diambil, hujan fitnah serta tiada hari tanpa kritik dan kecaman.

"...seorang presiden sering merasa sendiri.." (halaman 277).

Yudhoyono bercerita, selama menjabat sebagai Presiden ia juga merasakan apa yang dirasakan oleh para pemimpin lainnya.  Ia memaparkan, adalah benar seorang Presiden atau Perdana Menteri mendapatkan pertimbangan dan saran dari para menteri atau pembantunya, tetapi sesaat sebelum mengambil keputusan, di ruangan itu, hanya ada satu pemimpin yang harus mengambil keputusan, dan itu hanya sang Presiden atau Perdana Menteri itu sendiri.

Tak hanya berbagi pengalaman bagaimana selama menjabat sebagai Presiden, SBY juga memberikan tips bagi siapapun yang telah siap mencalonkan diri sebagai Presiden dalam periode kapan pun.

         "...uang penting, tapi ingat rakyat tidak bisa dibeli..." (halaman363).

         "...tidak cukup bermodalkan 'pencitraan'..." (halaman 374).

         "...jangan terlalu mengada-ada dan jadilah diri sendiri.." (halaman 378).

Yudhoyono juga mengingatkan agar seorang pemimpin yang baik setelah menjadi Presiden berhenti kampanye dan mulailah bekerja memenuhi janji kampanyenya seraya menghargai lawan politik yang dikalahkan dalam pilpres, termasuk pendukungnya yang disampaikannya pada bagian keempat atau terakhir bukunya.

         "....pimpin rakyat secara adil, meskipun tidak semua memilih anda.." (halaman 508).

         "...jangan suka menyalahkan Presiden terdahulu dan Presiden pengganti..." (halaman 763).

Yudhoyono dalam setiap kesempatan selalu menegaskan ia tidak ingin menggurui siapapun melalui buku yang ditulisnya sepanjang 2013 itu, namun ingin berbagi pengalaman kepada siapapun, khususnya para pemimpin Indonesia setelahnya, agar bisa berbuat yang lebih baik.

"Suatu hal yang harus kita ketahui adalah bahwa rakyat itu cenderung diam. Tidak selalu ekspresif itulah yang sering diistilahkan sebagai 'the silent majority'... rakyat juga ingat, mereka juga merasakan dan tahu apa yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Kalau rakyat merasa tidak cocok dengan seorang pemimpin dan merasa dari sang pemimpin itu tidak mendapat apa-apa, maka mereka akan menghukum dengan caranya sendiri...apa itu?...mereka tidak akan memilihnya lagi jika pemimpin itu maju lagi..." (halaman 762).

Pewarta: Oleh Panca Hari Prabowo

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014