Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB Yanuar Prihatin meminta Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dikoreksi dan direvisi ulang karena kerangka konsep serta pemikirannya tidak utuh.
Dia mencontohkan dalam Bab I Ketentuan Umum angka 1 disebutkan bahwa pengertian Pancasila adalah dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara, dan cita hukum negara untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, serta berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Pertanyaannya, Pancasila adalah dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara dan cita hukum negara, apakah sudah tepat dan benar definisi tentang Pancasila semacam ini. Jelas ini definisi paling 'ngawur' tentang Pancasila. Itu bukan definisi, tetapi mungkin yang dimaksud adalah kedudukan atau fungsi Pancasila," kata Yanuar dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Dia menilai apabila makna seperti itu tetap dibiarkan, maka berpotensi menciptakan kekacauan berpikir di masyarakat luas.
Menurut dia, seharusnya pengertian Pancasila harus merujuk pada acuan standar yang sudah ada dalam pembukaan konstitusi, yaitu lima sila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Politisi PKB itu menjelaskan ada contoh lain, dalam Ketentuan Umum, disebutkan Ideologi Pancasila adalah cita-cita dan keyakinan seluruh rakyat Indonesia dalam berjuang dan berupaya bersama sebagai suatu bangsa yang berkedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat ini dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
"Apakah ideologi itu hanya mencakup cita-cita dan keyakinan saja. Jelas ini makna yang keliru tentang ideologi. Ideologi adalah sistem pemikiran yang komprehensif dan terpadu tentang konsep hidup, tidak hanya berisi cita-cita dan keyakinan," ujarnya.
Ketua Bidang Pengembangan SDM DPP PKB itu menilai perumus draf RUU HIP harus hati-hati memberikan makna terhadap ideologi Pancasila karena salah pikir bisa membuat salah konsep dalam RUU tersebut.
Menurut dia, Ideologi Pancasila adalah sistem pemikiran, cara pandang, nilai-nilai, sistem keyakinan dan cita-cita bangsa Indonesia yang bersumber pada lima sila Pancasila yang menjadi dasar haluan untuk wewujudkan tujuan nasional.
Tujuan nasional itu adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
"Hal semacam itu mungkin terlihat sepele namun jika ini ditetapkan dalam undang-undang bisa berbahaya untuk persatuan nasional, stabilitas politik dan masalah ideologis yang justru makin berkepanjangan," katanya.
Yanuar mengatakan akibat kesalahan berpikir itu membuat substansi RUU HIP ini terlihat seperti konsepsi yang aneh, parsial, terkesan ada pemaksaan ide dan melompat-lompat cara pandangnya.
Dia mencontohkan dalam RUU itu disebutkan bahwa sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial, hal itu seakan-akan Pancasila hanya berisi keadilan sosial.
"Pancasila itu punya lima sendi sebagaimana tercermin utuh dalam sila-silanya. Indonesia itu terbentuk karena pertalian utuh dan menyeluruh diantara lima sendi sekaligus dalam Pancasila," katanya.
Dia menilai jangan gegabah memeras Pancasila menjadi trisila dan kemudian ekasila, karena tidak cukup Pancasila itu hanya disimpulkan sebagai gotong royong.
Menurut dia, Gotong Royong bukan substansi dasar Pancasila, karena jauh lebih luas dan mendalam dari sekedar ekasila semacam ini.
"Kalau sekedar untuk bahan diskusi dan diskursus akademik tidak ada masalah pemaknaan semacam itu bahkan pemikiran semacam ini menjadi kekayaan intelektual yang penting tentang Pancasila. Namun, pemahaman parsial semacam ini tidak layak menjadi acuan formal dalam perundang-undangan negara," ujarnya.
Dia menambahkan, agak aneh dalam sebuah peraturan setingkat undang-undang mencantumkan ketentuan yang kaku tentang suatu badan atau intitusi yang nantinya berfungsi sebagai badan pembinaan ideologi Pancasila.
Karena itu dia menilai seharusnya diserahkan saja pengaturan rinci badan tersebut pada aturan di bawah undang-undang.
Yanuar mengusulkan agar dibuka kembali diskusi publik tentang RUU HIP karena masih banyak pendapat dan pandangan dari berbagai tokoh, termasuk kalangan akademik, yang belum terserap idenya.
Karena itu, menurut dia, jangan terburu-buru menyelesaikan RUU HIP jika ingin mendapat hasil terbaik dan lebih sempurna.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2020
Dia mencontohkan dalam Bab I Ketentuan Umum angka 1 disebutkan bahwa pengertian Pancasila adalah dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara, dan cita hukum negara untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, serta berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Pertanyaannya, Pancasila adalah dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara dan cita hukum negara, apakah sudah tepat dan benar definisi tentang Pancasila semacam ini. Jelas ini definisi paling 'ngawur' tentang Pancasila. Itu bukan definisi, tetapi mungkin yang dimaksud adalah kedudukan atau fungsi Pancasila," kata Yanuar dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Dia menilai apabila makna seperti itu tetap dibiarkan, maka berpotensi menciptakan kekacauan berpikir di masyarakat luas.
Menurut dia, seharusnya pengertian Pancasila harus merujuk pada acuan standar yang sudah ada dalam pembukaan konstitusi, yaitu lima sila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Politisi PKB itu menjelaskan ada contoh lain, dalam Ketentuan Umum, disebutkan Ideologi Pancasila adalah cita-cita dan keyakinan seluruh rakyat Indonesia dalam berjuang dan berupaya bersama sebagai suatu bangsa yang berkedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat ini dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
"Apakah ideologi itu hanya mencakup cita-cita dan keyakinan saja. Jelas ini makna yang keliru tentang ideologi. Ideologi adalah sistem pemikiran yang komprehensif dan terpadu tentang konsep hidup, tidak hanya berisi cita-cita dan keyakinan," ujarnya.
Ketua Bidang Pengembangan SDM DPP PKB itu menilai perumus draf RUU HIP harus hati-hati memberikan makna terhadap ideologi Pancasila karena salah pikir bisa membuat salah konsep dalam RUU tersebut.
Menurut dia, Ideologi Pancasila adalah sistem pemikiran, cara pandang, nilai-nilai, sistem keyakinan dan cita-cita bangsa Indonesia yang bersumber pada lima sila Pancasila yang menjadi dasar haluan untuk wewujudkan tujuan nasional.
Tujuan nasional itu adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
"Hal semacam itu mungkin terlihat sepele namun jika ini ditetapkan dalam undang-undang bisa berbahaya untuk persatuan nasional, stabilitas politik dan masalah ideologis yang justru makin berkepanjangan," katanya.
Yanuar mengatakan akibat kesalahan berpikir itu membuat substansi RUU HIP ini terlihat seperti konsepsi yang aneh, parsial, terkesan ada pemaksaan ide dan melompat-lompat cara pandangnya.
Dia mencontohkan dalam RUU itu disebutkan bahwa sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial, hal itu seakan-akan Pancasila hanya berisi keadilan sosial.
"Pancasila itu punya lima sendi sebagaimana tercermin utuh dalam sila-silanya. Indonesia itu terbentuk karena pertalian utuh dan menyeluruh diantara lima sendi sekaligus dalam Pancasila," katanya.
Dia menilai jangan gegabah memeras Pancasila menjadi trisila dan kemudian ekasila, karena tidak cukup Pancasila itu hanya disimpulkan sebagai gotong royong.
Menurut dia, Gotong Royong bukan substansi dasar Pancasila, karena jauh lebih luas dan mendalam dari sekedar ekasila semacam ini.
"Kalau sekedar untuk bahan diskusi dan diskursus akademik tidak ada masalah pemaknaan semacam itu bahkan pemikiran semacam ini menjadi kekayaan intelektual yang penting tentang Pancasila. Namun, pemahaman parsial semacam ini tidak layak menjadi acuan formal dalam perundang-undangan negara," ujarnya.
Dia menambahkan, agak aneh dalam sebuah peraturan setingkat undang-undang mencantumkan ketentuan yang kaku tentang suatu badan atau intitusi yang nantinya berfungsi sebagai badan pembinaan ideologi Pancasila.
Karena itu dia menilai seharusnya diserahkan saja pengaturan rinci badan tersebut pada aturan di bawah undang-undang.
Yanuar mengusulkan agar dibuka kembali diskusi publik tentang RUU HIP karena masih banyak pendapat dan pandangan dari berbagai tokoh, termasuk kalangan akademik, yang belum terserap idenya.
Karena itu, menurut dia, jangan terburu-buru menyelesaikan RUU HIP jika ingin mendapat hasil terbaik dan lebih sempurna.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2020