Pekanbaru (Antara Babel) -  Teriakan "banjir... banjir...." dilakukan kebanyakan warga di sebagian wilayah kabupaten/kota di Riau saat puncak musim hujan, namun ketika kemarau, mereka malah mengeluhkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan penyebab polusi asap.

            Apa yang salah?
Pakar lingkungan berpendapat, ekskalasi bencana alam akan terus meningkat setiap tahun disebabkan berbagai hal, mulai dari kondisi cuaca yang semakin tak menentu, hingga pola hidup masyarakat yang kurang bersahabat.

Contoh sederhana makin "menggilanya" berbagai bencana terpetakan di Negeri Kaya Provinsi Riau. Mulai dari banjir, kabut asap akibat dampak dari maraknya kebakaran hutan dan lahan hingga kekeringan.

Setelah jutaan jiwa terbelenggu asap, giliran banjir mengancam aktivitas warga di sejumlah daerah di Provinsi Riau. Bahkan di Kabupaten Kuantan Singingi, dilaporkan bencana itu telah merendam sedikitnya 1.942,5 hektare lahan sawah.

"Kerugian diperkirakan mencapai miliaran rupiah, bahkan puluhan rakit dompeng miliki penambang emas tanpa izin (PETI) juga hanyut terbawa arus," kata Kepala Dinas Tanaman Pangan Kuantan Singingi (Kuansing) Maisir di Teluk Kuantan, Sabtu (15/11).

Ia mengatakan, saat musim hujan tiba, masyarakat mulai merasakan kesedihan, karena banjir akan meluluhkan sejumlah areal pertanian bahkan sejumlah ternak pun banyak yang mati dan hanyut.

Banjir tahunan yang terjadi juga membuat warga petani tidak bisa turun ke ladang dan ke kebun getah untuk menyadap. Hal ini akan mengakibatkan warga terganggu ekonomi sehari-hari.

Sebelumnya juga dilaporkan musibah banjir melanda Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu pada Kamis (13/11), mengakibatkan ribuan rumah yang berada di dua kabupaten itu terendam.

Banjir dilaporkan juga mengakibatkan sejumlah aktivitas pendidikan serta pertanian di sebagian kawasan di dua kabupaten itu menjadi terganggu.

Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, untuk banjir di Kabupaten Kampar terjadi sejumlah desa yang berlokasi di tiga kecamatan, meliputi Kecamatan Tapung Hulu, Kampar Kiri, serta Kampar Kiri Hulu dan ada juga di wilayah kecamatan lainnya dengan ketinggian air lebih rendah.

Untuk di Kabupaten Rokan Hulu, ribuan rumah di empat kecamatan meliputi Kecamatan Tandun, Kabun, Rambah dan Kecamatan Rambah Hilir turut terendam dengan ketinggian air yang beragam mulai 0,5 meter hingga 2 meter.

Banjir terparah menurut BPBD terjadi di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kawasannya dekat perbukitan yang kemudian mangakibatkan air bah.

Pemerintah daerah di dua kabupaten itu dikabarkan telah meninjau sejumlah lokasi banjir terparah dan bersiap menyalurkan bantuan seperti makanan dan peralatan tenda darurat.

    
                                        Puncak Hujan
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Pekanbaru menyatakan saat ini sebagian besar wilayah di Provinsi Riau telah memasuki puncak musim hujan yang dapat berdampak pada terjadinya banjir khususnya untuk Riau bagian barat.

"Secara umum peluang terjadinya hujan berintensitas ringan-sedang hampir di seluruh wilayah kabupaten/kota atau kota-kota besar di Riau," kata analis BMKG Stasiun Meteorologi Pekanbaru, Ibnu Amiruddin.

Ia menjelaskan, peluang hujan mulai sore, malam atau dini hari dengan intensitas yang bervariasi, sebagian ringan dan sebagian besar hujan sedang.

Untuk hujan intensitas sedang, lanjutnya, berpeluang besar terjadi di wilayah Riau bagian Barat meliputi Kabupaten Kampar, Taluk Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi dan sebagian besar Rokan Hulu serta di bagian barat Kabupaten Rokan Hilir.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Pekanbaru menyatakan saat ini sebagian besar wilayah di Provinsi Riau telah memasuki puncak musim hujan yang dapat menimbulkan angin kencang di sejumlah kabupaten/kota.

"Pada November ini merupakan puncak musim hujan dan peluang terjadinya angin kencang cukup tinggi untuk sejumlah wilayah kabupaten/kota di Riau," kata analis BMKG Stasiun Meteorologi Pekanbaru, Ibnu Amiruddin.

Angin kencang dengan kecepatan 10 hingga 30 kilometer per jam atau lebih dari itu menurut dia berpotensi menyebabkan berbagai peristiwa merugikan bagi masyarakat, seperti pohon tumbang, atap rumah terbang dan lainnya.

Namun menurut dia, peluang untuk terjadinya angin puting beliung sangat kecil karena wilayah yang memang tidak rentan terjadi peristiwa tersebut.

Sebelumnya dilaporkan bahwa angin puting beliung membuat heboh masyarakat di sebagian wilayah di Riau, bahkan di Kota Dumai, peritiwa tersebut dikabarkan telah merusak sembilan ruang kelas SMA Negeri 5 Dumai pada Selasa (11/11) pukul 12.40 WIB.

Bagian atap pada sejumlah ruang kelas sekolah yang berada di Jalan Lintas Dumai-Pakning itu dilaporkan mengalami rusak berat.

Namun analis BMKG Stasiun Meteorologi Pekanbaru Ibnu Amiruddin menyatakan bisa jadi peristiwa itu hanya disebabkan angin kencang dan bukan angin puting beliung seperti yang dikabarkan.

"Terkadang ketidaktahuan masyarakat, menyebabkan setiap peristiwa angin kencang yang merusak bangunan dan lainnya disebut sebagai puting beliung. Padahal belum tentu angin puting beliung, karena peristiwa ini sebenarnya sangat jarang terjadi di daerah tropis seperti Indonesia," katanya.

Ibnu mengatakan, angin puting beliung di Indonesia merupakan peristiwa langka terjadi karena kecenderungannya terbentuk oleh arus angin ketinggian yang di atasnya dan dibawahnya hingga saling terbentur membentuk pusaran.

Menurut dia, untuk di wilayah-wilayah luar ekuator atau di selatan ekuator seperti Indonesia, fenomena perputaran arah balik angin sangat jarang terjadi sehingga angin puting beliung dapat dikategorikan sebagai peristiwa langka.

"Di Indonesia puting beliung hanya skala kecil dan kecenderungan terjadi di luar wilayah tropis. Namun terkadang dengan ketidaktahuan, masyarakat selalu menganggap angin yang merusak bangunan, menumbangkan pepohonan, dilaporkan sebagai dampak angin puting beliung. Padahal belum tentu," katanya.

    
                                     Siklus Hidrologi
Pemerhati lingkungan dari Universitas Riau (UR), Tengku Ariful Amri, sempat mengatakan, cuaca ekstrem yang melanda sebagian besar wilayah Tanah Air, khususnya di Riau, merupakan dampak dari terhambatnya siklus hidrologi.

"Banyangkan, sirkulasi air yang seharusnya tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi, kini terasa kian tersendat," ungkapnya.

Akibatnya, demikian Tengku Ariful Amri, terjadi penumpukan penguapan yang akhirnya menyebabkan kondisi ekstrim di berbagai wilayah Tanah Air.

Kondisi demikian, menurutnya, juga terjadi di sebagian besar wilayah Riau, sehingga musim hujan dan kemarau datang secara tiba-tiba, tanpa dapat diramalkan secara pasti.

Intinya, lanjutnya, saat ini berbagai bentuk hidrologi di muka bumi sudah tidak memiliki pola angin atau tak terwujud seperti layaknya. "Hal ini bisa jadi karena alam di wilayah kita tidak lagi terjaga dengan baik dan mengalami kerusakan parah," kata Tengku Ariful Amri.

    
                                        Kondisi Miris
Kondisi yang miris, karena ketika kemarau, banyak pihak melakukan perluasan areal perkebunan dengan cara membakar, kegundulan hutan berakibat asap dan banjir serta angin kencang melanda ketika hujan, kata pemerhati sekaligus pakar lingkungan Hariansyah Usman.

Kondisi demikian menurut dia sudah seharusnya diantisipasi sejak dini secara serius oleh berbagai pihak agar tidak menimbulkan korban dan kerugian yang lebih besar.

Saat ini, kata dia pola bencana di Riau mulai berubah drastis dan tak lagi bisa diprediksi secara nyata dan berkala.

Pembalakan hutan dan ekspansi kebun kelapa sawit ditengarai menjadi penyebab utama bencana banjir dan kekeringan termasuk kabut asap di Riau.

Air yang tak terserap tanah di musim penghujan dan cadangan air yang diserap di musim kemarau merupakan sifat yang merugikan dari tanaman kelapa sawit.

Akibatnya, ikan-ikan mati, eceng gondok subur, alur pelayaran sungai terganggu, dan pinggir sungai mengalami abrasi, debit air yang minim mengganggu kesehatan masyarakat dan banyak lagi dampak negatif akibat ulah manusia ini.

Bencana alam tidak semata-semata sebuah hal yang datangnya dari Sang Maha Kuasa. Bencana alam yang terjadi di sebagian besar nusantara adalah akibat akumulasi dari carut marutnya pengelolaan sumber daya alam, katanya.

Ia mengindikasikan, lebih dari 80 persen bencana alam yang terjadi di Riau merupakan dampak dari kesalahan berbagai pihak dalam mengelola sumberdaya alam.

Turunannya, yakni praktik eksploitasi yang tidak pernah mengupayakan keseimbangan ekosistem, hal ini yang kemudian menimbulkan dampak bencana alam disebagian besar wilayah Indonesia tidak terkecuali Riau.

"Katakanlah seperti banjir, asap akibat polusi udara dan kebakaran hutan, kekeringan, semuanya adalah  fakta realitas yang dilakukan oleh manusia," katanya.

Pola kehidupan masyarakat yang berpusat pada daerah yang memiliki sumber air dan lahan saat ini kurang mencermati dampak dari instanisasi pengelolaan, termasuk pengembangan lahan perkebunan yang terus menerus "menggerogot" kawasan keanekaragaman hayati.

Hulu persoalannya adalah kontrol yang kurang baik serta tidak ada program perlindungan daya ekosistem yang nyata. Ditambah lagi manusianya yang rakus demi kepentingan ekonomi semata.

"Ini yang seharusnya kita lihat, di mana kearifan lokal itu sangat dibutuhkan untuk mempertahankan alam tanpa bencana," kata Hariansyah.

Kearifan lokal budaya masyarakat setempat juga sangat dibutuhkan untuk mendeteksi dini bencana alam bahkan mencegahnya secara bersama.

Namun kearifan lokal ini tahun ke tahun kian terkikis, bahkan lambat laun akan hilang atau dihilangkan secara sistematis. "Fakta ini sesuai dengan pengamatan kami di lapangan," katanya.

        
                          Kebijakan Pembangunan
Kearifan lokal dalam kontribusi terhadap alam kemudian tidak pernah di tindaklanjuti secara nyata oleh pemerintah di daerah, terlebih dalam menentukan kebijakan pembangunan yang seharusnya bisa diambil menjadi sample masa depan bangsa dalam menjaga lingkungan agar terhindar dari bencana alam.

Paradigma pembangunan saat ini menurut dia masih ekonomiriantit dan lebih mementingkan kepentingan investasi ketimbang dampak alam yang akan dihadapi di kemudian hari.

Hal demikian yang kemudian, kata dia, memberanguskan kearifan-kearifan lokal atau tradisional masyarakat adat Tanah Air dalam menjaga keutuhan atau mempertahanankan lingkungan yang bersahabat.

Pihaknya mendesak dan mengajak pemerintah untuk melakukan moratorium hutan atau jeda tebang. Di mana dalam kondisi kritis saat ini, kata Hariansyah, baik itu menurunnya sumberdaya alam terbaharukan, baik mineral maupun tambang migas yang kian terberanguskan, kemudian menyusutnya hutan alam yang sangat signifikan.

"Hal ini yang kemudian memunculkan dampak negatif termasuk bencana alam dan mungkin krisisnya energi masa depan," katanya.

Sudah saatnya, demikian Hariyansyah, pemerintah mengambil kebijakan untuk menghentikan dulu eksplotitasi dan beri kesempatan untuk alam bisa lagi berkembang hingga mampu menangkal berbagai bencana yang saat ini kian rutin melanda berbagai kawasan Tanah Air.

"Kita perbaiki tata kelolanya terlebih dahulu. Jika ini dilakukan secara benar, maka akan ditemukan jalan keluar perbaikan lingkungan jangka panjang," katanya.

Minimal, menurut dia, untuk moratorium guna berbaikan lingkungan itu adalah 15 tahun, tidak cukup dua tahun mengingat kondisi kritis di lapangan, termasuk terus berkurangan emisi karbon.

Dalam waktu jeda itulah, menurut Hariansyah, sebenarnya dapat dimanfaatkan pemerintah dan masyarakat bagaimana ke depan mengelola sumber daya alam dengan cara yang baik hingga tidak memunculkan dampak bencana.

Kearifan lokal akan menjadi suatu pegangan bagi masyarakat dan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, khususnya di bidang lingkungan hidup, agar daerah ini tidak lagi didera oleh aneka bencana di masa mendatang.

Pewarta: Oleh: Fazar Muhardi

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014