Jakarta, 18/11 (Antara) - Menikah adalah salah satu momen paling istimewa bagi setiap umat manusia. Mengikat janji suci dalam satu tali pernikahan ini menjadi titik awal bagi dua insan manusia untuk memulai langkah baru mereka membina biduk rumah tangga.

Mereka pun berharap melahirkan putra-putri sebagai generasi penerusnya.

Oleh karena itu, menjadi satu kewajaran apabila dua sejoli yang telah bersiap memasuki jenjang pernikahan merancang momen paling spesial mereka itu sedemikian rupa agar tidak hanya meriah, tetapi juga meninggalkan kesan istimewa bagi sanak kerabat dan keluarga besar kedua mempelai.

Biasanya status sosial ekonomi calon mempelai dan keluarganya berkorelasi dengan desain dan kemewahan pernikahan tersebut. Makin tinggi status sosial ekonomi keluarga calon mempelai, makin "istimewa" pula resepsi pernikahan terancang.

Tak terkecuali dengan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal TNI Moeldoko yang juga tengah mempersiapkan hajatan mantu putranya, Randy Bimantoro, yang rencananya dihelat pada tanggal 29 November 2014. Akad nikah akan berlangsung di Balai Sudirman pada pagi hari dan dilanjutkan dengan resepsi yang mengambil tempat di JIE Expo, Kemayoran, pada malam harinya. Pasangan Jenderal TNI Moledoko dan Koesni Harningsih dikarunia dua orang anak, yakni Randy Bimantoro dan Joanina Rachma. Randy merupakan anak sulung dari dua bersaudara itu.

Sepintas tidak ada yang salah dengan rencana perhelatan hajatan itu yang pastinya bakal menjadi momen istimewa tidak saja bagi pasangan pengantin, tetapi juga keluarga besar kedua mempelai. Berbagai persiapan tentunya telah dirancang sejak jauh hari secara matang.

Namun, ada hal yang menggelitik saya dengan rencana hajatan istimewa yang pastinya bakal meriah sekaligus "mewah" lantaran dihadiri setidaknya 2.000-an undangan apabila merujuk kapasitas tempat resepsi di Gedung JIE Expo. Para undangan akan berasal dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, mulai dari para petinggi negeri, pejabat pemerintahan maupun militer, hingga orang biasa-biasa saja.

Memang pernah ada hajatan mantu supermewah yang juga dilakukan pucuk pimpinan TNI lainnya, yakni saat Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani menggelar pesta pernikahan putri semata wayangnya, Irene Ria, pada tanggal 20 september 1993. Kala itu resepsinya memang dilangsungkan dilangsungkan secara besar-besaran di Balai Kartini dan dihadiri pula oleh ribuan undangan, termasuk semua kepala negara ASEAN yang berkuasa pada saat itu, seperti PM Singapura Lee Kwan Yew, Presiden Filipina Fidel Ramos, dan sejumlah sultan dari Malaysia.

Perhelatan mewah mantu Jenderal L.B. Moerdani itu mungkin masih bisa dimaklumi mengingat eksistensi ABRI masa lalu yang merupakan institusi sentral stabilisator dan dinamisator politik di Indonesia. Sementara itu, kondisi ABRI pada masa lalu dengan TNI pada saat ini jelas berbeda. Dalam hal ini TNI sepenuhnya menjadi alat pertahanan negara yang profesional. Demikian pula, dengan kondisi serta tatanan sosial masyarakat pada saat rezim Orde Baru berkuasa juga sudah jauh berbeda dengan saat ini.

Sejatinya sah-sah saja apabila Panglima TNI Jenderal Moeldoko menghelat resepsi pernikahan putranya dengan model apa pun dan cara bagaimanapun karena itu adalah hak pribadinya dan tidak akan pula mengganggu siapa pun. Saya pun juga tidak bermaksud untuk cerewet "mengusili dapur" orang lain apalagi kepada warga negara sekelas Panglima TNI.

Namun, dalam hemat saya, apa pun yang tengah dilakukan seorang Jenderal Moeldoko bisa dipastikan bakal menjadi perhatian publik mengingat posisi dirinya yang saat ini adalah Panglima TNI yang notabene pula seorang pejabat publik. Kondisi apa pun bisa dipolitisasi dan didramatisasi dan hal ini pernah terjadi tatkala jam tangan "mewah" Jenderal Moeldoko sempat menjadi sorotan media massa di Singapura dan juga heboh di dalam negeri.

Kala itu, pada awalnya situs mothership.sg menyebutkan bahwa mantan KSAD tersebut mengenakan jam tangan bermerek Richard Mille RM 011 Felipe Massa Flyback Chronograph "Black Kite". Arloji itu biasa diburu para kolektor karena diproduksi secara terbatas di Amerika Utara dan Selatan, yakni hanya 30 buah sehingga harga untuk sebuah jam tangan langka itu melangit dan ditaksir mencapai Rp1,1 miliar. Tidak pelak lagi pergunjingan seputar jam tangan wah Panglima TNI Moeldoko itu pun segera beredar di media sosial, bahkan sempat menjadi trending topic jagat Twitter di Indonesia.

Lantaran media dalam dan luar negeri sedemikian gencar menyorot gaya hidupnya yang gemar mengoleksi arloji supermahal itu, Jenderal Moeldoko pun tampak berupaya keras meyakinkan publik bahwa semua tudingan miring atas dirinya tidak berdasar. Bahkan, Jenderal kelahiran Kediri pada tanggal 8 Juli 1957 itu sampai membanting jam tangan yang menurut dia bukanlah orisinal itu di hadapan para wartawan yang terus mencecar perihal arlojinya tersebut pada tanggal 23 April 2014.

    
Jaga Citra

Berkaca pada kehebohan terdahulu, tampaknya Jenderal Moeldoko perlu lebih berhati-hati lagi dalam menjaga citra dirinya sebagai seorang pucuk pimpinan TNI. Saya pribadi merasa perlu mengingatkan Jenderal Moeldoko karena saya memang telah berkomitmen untuk turut mengawal beliau dalam menjalankan tugas-tugas sebagai pucuk pimpinan TNI.

Komitmen ini telah saya sampaikan secara langsung kepada beliau pada satu kesempatan bertemu empat mata di Gedung Parlemen, sesaat sebelum dimulainya rapat paripurna DPR RI untuk mengesahkan hasil fit and proper test Komisi I DPR RI terhadap Jenderal Moeldoko sebagai calon Panglima TNI, tanggal 27 Agustus 2013. Ketika itu, kepada calon Panglima TNI, saya mengucapkan bahwa saya akan ikut mengawal Bapak Jenderal TNI Moeldoko mengemban tugas sebagai Panglima TNI hingga nanti berakhirnya masa jabatan pada tanggal 31 Juli 2015.

Bagi seorang Panglima TNI, memiliki citra diri yang positif pasti memberikan pengaruh positif tidak saja kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, tetapi juga kepada institusi yang dipimpinnya. Dampak langsung dari citra positif pada seorang Panglima TNI ini tentunya adalah munculnya semangat juang prajurit yang tinggi sekaligus munculnya inisiatif-inisiatif untuk menggulirkan perubahan positif di lingkungan TNI.

Urgensi membangun citra positif pada diri seorang Panglima TNI ini makin menemukan relevansinya tatkala masalah kepemimpinan di Indonesia kian menghangat di tataran diskusi publik dan media.

Banyak kalangan menyimpulkan bahwa saat ini Indonesia tengah mengalami krisis kepemimpinan dan figur-figur negarawan teladan yang bisa menjadi panutan makin sulit ditemukan. Sebagai bukti nyata adanya krisis kepemimpinan itu, di antaranya adalah makin banyaknya aksi kekerasan di tengah masyarakat. Jika pada konteks TNI, juga masih kerap dijumpai gesekan-gesekan di antara aparat keamanan di berbagai daerah, misalnya antara oknum TNI dan oknum Polri sebagaimana yang terjadi di Batam, belum lama ini.

Selain itu, TNI juga masih dihadapkan pada persoalan klasik yang belum rampung hingga usianya memasuki 69 tahun saat ini, yakni capaian modernisasi alutsista TNI yang walaupun sudah berjalan dengan baik sesuai dengan rencana dan strategi. Namun, masih ada kekurangan di sana-sini akibat terbatasnya dukungan anggaran, serta pekerjaan rumah (PR) besar berupa aspek kesejahteraan prajurit yang dirasakan masih jauh dari harapan. Masih banyak prajurit yang belum menikmati sarana perumahan dan beragam komponen untuk hidup layak lantaran gaji/tunjangan mereka yang pas-pasan saja.

Oleh karena itu, tatkala seorang Panglima TNI menggelar satu hajatan mantu secara mewah (ukuran mewah relatif) yang diperkirakan menghabiskan dana hingga miliaran rupiah, hal tersebut dikhawatirkan memicu pergunjingan baru di tengah masyarakat, sebagaimana halnya ketika heboh jam mewah tempo hari.

Sekali lagi, walaupun hak pribadi Jenderal Moeldoko untuk menggelar hajatannya dengan cara dan model yang setara dengan status dan jabatan tinggi yang tengah disandangnya, alangkah baiknya apabila seorang Panglima TNI menggelar hajatan tersebut dalam ukuran orang "biasa-biasa" saja, lebih sederhana, tanpa mengurangi kemeriahan dan hikmatnya prosesi pernikahan.

Penggambaran "sederhana" ini mungkin bisa berpatokan pada pola hidup yang sesuai dengan standar kebutuhan sebagian besar masyarakat pada umumnya. Soal kebutuhan, tampaknya juga harus dibedakan lagi dengan keinginan. Kalau kebutuhan itu pasti terbatas, sedangkan keinginan itu tidak terbatas sehingga Panglima TNI Jenderal Moeldoko seyogianya benar-benar mempertimbangkan semua aspek tersebut saat memilih dan memutuskan bagaimana model hajatan mantu untuk anak sulungnya itu.

Bagaimanapun harus disadari bahwa kepercayaan rakyat kepada para pemimpinnya itu tidak bisa dipaksakan. Kepercayaan rakyat akan muncul dengan sendirinya apabila para pemimpin benar-benar menunjukkan kualitas, kemampuan, integritas, dan keteladanannya. Apalagi, pada era demokrasi dan keterbukaan pada saat ini, rakyat bisa mengamati sekaligus mencatat rekam jejak (track record) mereka yang mendapat amanah sebagai pejabat publik.

Masyarakat akan melihat sejauh mana konsistensi para pemimpin tersebut dari kata-kata, tindakan, dan penampilan sehari-hari mereka. Dalam konteks ini, banyak kalangan menaruh harapan pada sosok Jenderal TNI Moeldoko agar menunjukkan model kepemimpinannya yang transformatif, yakni menggunakan karismanya untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasi Tentara Nasional Indonesia yang dipimpinnya selama ini.

Opini ini mungkin hanya sumbangsih kecil dan wujud dari komitmen yang telah saya sampaikan secara langsung kepada beliau sesaat menjelang rapat paripurna DPR RI pada tanggal 27 Agustus 2013 untuk mengesahkan Jenderal Moeldoko sebagai Panglima TNI menggantikan Laksamana Agus Suhartono yang telah memasuki masa pensiunnya.

Namun, saya juga kembali teringat dengan kata-kata yang sempat terucap dari mulut Jenderal Moeldoko pada saat itu. "Saya miskin diomongin, kaya juga diomongin," katanya, kemudian spontan saya jawab, "Ya itulah realitas kehidupan."

Pewarta: Oleh Binsar Sinaga*

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014