Jakarta (Antara babel) - Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada) menjadi undang-undang oleh DPR RI harus diikuti dengan sebuah revisi yang dapat mengembalikan kedaulatan rakyat.

"Revisi tersebut harus bisa mengembalikan hak kedaulatan rakyat dalam sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia," kata pengamat politik Universitas Jayabaya Igor Dirgantara.

Igor mengatakan bahwa revisi terhadap Perppu Pilkada yang telah disahkan DPR RI merupakan sesuatu yang juga harus dilakukan karena pilkada langsung yang diatur di dalamnya bukan tanpa ekses negatif.

Menurut dia, teknis pelaksanaan revisi tersebut harus bisa meminimalkan subjektivitas dan implikasi pencalonan kandidat yang akan bertarung.

Misalnya, kata dia, terkait hal-hal yang menyangkut uji publik kandidat, syarat dukungan dan keterpilihan kandidat, serta sanksi pelanggaran bagi kandidat.

Selain itu, revisi terkait penggunaan anggaran oleh penyelenggara, kewenangan penyelenggara, pengawasan, penyelesaian sengketa, serta harus bisa menutup peluang meluasnya praktik politik uang yang merugikan esensi pelaksanaan pilkada langsung.

Igor meyakini revisi itu tidak mungkin berjalan sempurna, terlebih jika harus dilakukan dengan mengejar waktu pelaksanaan penyelenggaraan pilkada tahun ini yang akan dilaksanakan secara serentak.

Oleh karena itu, dia menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu menunggu hasil revisi Perppu di DPR untuk mempersiapkan pilkada serentak.

"Komisi Pemilihan Umum langsung mempersiapkan saja tahapannya mulai sekarang, terutama pendaftaran kandidat dan uji publiknya," kata dia.

Ia menekankan bahwa revisi Perppu Pilkada yang telah disahkan merupakan kewenangan parlemen, termasuk mundur atau tidaknya substansi pelaksanaan pilkada pascarevisi.

"Yang penting penyelenggara negara sudah siap untuk melaksanakan pilkada serentak tersebut," kata dia.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Yanuar Prihatin mengatakan bahwa revisi Perppu Pilkada yang telah disahkan menjadi undang-undang perlu dilakukan lantaran penetapan perpu tersebut menjadi UU bukan berarti persoalan telah selesai.

Menurut dia, selama ini penyelenggaraan pemilukada masih banyak kekurangan dan kelemahan pada berbagai aspeknya.

"Apakah Perpu No. 1/2014 ini mampu mengatasi kekurangan dan kelemahan ini? Belum tentu," ujar dia.

Secara umum, kata Yanuar, substansi yang tertuang dalam perpu ini sebenarnya belum menunjukkan karakter perubahan yang bersifat fundamental, strategis, dan komprehensif. Semangat perubahan yang muncul dalam perpu dinilai lebih menekankan pada aspek perbaikan teknis-prosedural.
   
Sementara itu, pertanyaan penting yang tidak terjawab tuntas oleh Perppu adalah apakah bisa menjamin munculnya calon kepala daerah terbaik dan memenuhi segala persyaratan yang ideal?  
    
"Fakta selama ini menunjukkan bahwa tidak sedikit kepala daerah yang akhirnya masuk bui karena terjerat perkara hukum. Artinya, kepala daerah yang terpilih ternyata bukanlah orang yang terbaik karena dia masih gampang tergoda untuk berbuat tercela dan melanggar hukum," kata Yanuar.

Dengan sudut pandang semacam itu, kata dia, terdapat beberapa aspek penting dalam Perppu yang memerlukan revisi atau perubahan.

Pertama, persyaratan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang selama ini terkesan lebih banyak berurusan dengan soal-soal administratif. Namun, pada kenyataannya sering kali dokumen-dokumen itu tidak menggambarkan secara tepat tentang kualitas, kompetensi, integritas, dan kepemimpinan individu calon.

"Ke depan, perlu dikembangkan persyaratan calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang mengacu kepada indeks kepemimpinan daerah (IKD) yang memiliki indikator yang jelas, terukur, komprehensif, akurat, dan bisa dipertanggungjawabkan," papar dia.

Kedua, terkait dengan uji publik yang tetap diperlukan. Namun, dengan hasil akhir yang jelas dan tegas. Panitia uji publik diharapkan tidak sekadar memberikan keterangan bahwa seorang calon kepala daerah sudah mengikuti uji publik, tetapi diberikan kewenangan memberikan penilaian nyata atas individu calon menurut ukuran-ukuran yang jelas.

Selain jelas, ukuran itu harus terbuka, akurat, dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, yuridis, dan politis.
    
Ketiga, terkait dengan indeks kepemimpinan daerah (IKD), yakni kepemimpinan yang merupakan kumpulan dari sejumlah kemampuan melekat pada diri seseorang sehingga dia layak disebut pemimpin.

"Pemilukada secara langsung harus mampu menjamin munculnya pemimpin, bukan melegitimasi munculnya kaum oportunis, pekerja birokrasi, dan pemburu harta. Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran yang objektif, valid, komprehensif, terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan," kata dia.

Keempat, perlunya kajian atas rentang waktu tahapan pemilukada agar efisien. Kelima, pendalaman atas pemilukada serentak soal waktu pelaksanaan serta model pemilihan serentak itu sendiri apakah secara nasional atau berdasarkan wilayah.

"Jangan memandang pemilukada serentak hanya dengan pertimbangan efisiensi waktu dan penghematan anggaran belaka. Bahkan, dalam soal keserentakan waktu pelaksanaan pemilukada, ada beberapa opsi yang bisa dikaji apakah serentak berdasarkan hari, minggu, atau bulan," ujarnya.

Keenam, menyangkut dengan calon tunggal atau calon paket kepala daerah yang keduanya dinilai memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing dan memerlukan kajian lebih dalam.

"Itulah beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian bersama. Catatan-catatan lainnya tentu akan berkembang seiring dengan penyerapan aspirasi di tengah masyarakat serta dinamika pembahasan di DPR," kata dia.

Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan Perpu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta Perpu No. 2/2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU.

Ketua Komisi II DPR Rambe Kamaruzaman menyampaikan salah satu alasan mempercepat pengambilan keputusan atas perpu karena seluruh fraksi dan DPD RI menyadari ada sejumlah kelemahan dalam materi Perppu.

Dari jadwal awal, perpu itu sedianya disahkan 17 Februari mendatang. Namun, karena telah diputuskan sebagai UU, revisi atas regulasi akan segera ditempuh.

"Harapan kita, sesaat setelah disahkan, pemerintah sesegera mungkin untuk lakukan pengundangan agar selanjutnya dapat kita bahas perbaikan-perbaikannya secara cepat dan terbatas," ujar Rambe.

Politikus Partai Golkar ini mengatakan bahwa dalam melakukan revisi terbatas, DPR akan segera mengajukan draf RUU Pilkada untuk kemudian ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR dan segera dibahas bersama pemerintah.

Ia menargetkan revisi selesai pada masa sidang ini, paling lambat disahkan pada tanggal 18 Februari 2015 sebelum DPR memasuki masa reses.

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015