Sejak  Sabtu (28/3) pukul 00.00 WIB, harga premium nonsubsidi di wilayah Jawa, Bali dan Madura naik menjadi Rp7.500 per liter dari yang sebelumnya Rp6.800 per liter dan solar menjadi Rp7.300 per liter dari Rp6.800 per liter.

Menurut siaran pers dari Kementerian ESDM pada Jumat (27/3), keputusan tersebut diambil untuk menjaga stabilitas perekonomian Indonesia, terutama atas dinamika dan perkembangan minyak harga dunia yang masih berfluktuasi serta melemahnya nilai tukar rupiah dalam satu bulan terakhir.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui kenaikan harga bahan bakar minyak tersebut merupakan ulah dari nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang saat ini masih di atas Rp13.000.

"Kita tahu rupiah sekarang masih Rp13.000 lebih per dolar AS, minyak juga naik lagi," kata Wapres dalam kunjungan kerjanya di Jambi, Sabtu (28/3).

Anggota Komite IV DPD RI Sulawesi Selatan Ajiep Padindang mengatakan pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang menyentuh di atas Rp13.000 sebenarnya bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba.

Hal itu, ujarnya, telah diprediksi sejak awal dan dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan harga rupiah terhadap dolar AS dalam APBN.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 menetapkan nilai tukar rupiah terhadap satu dolar Amerika adalah Rp12.500.

Menurut dia, sebenarnya pelemahan ini -jika hanya berlangsung sementara- tidak akan berdampak kepada masyarakat, namun kalau dibiarkan berlarut-larut dan semakin mendalam, keadaan itu akan berpengaruh kepada struktur ekonomi Indonesia, dan dampak nyatanya adalah kenaikan BBM.

"Pelemahan ini tidak berdampak kepada masyarakat jika hanya sebentar, yang dikhawatirkan akan berlarut-larut dan tidak ada kebijakan yang signifikan untuk menahan pelemahan tersebut," kata Ajiep pada saat diskusi Bincang Senator 2015 dengan tema 'Gejolak dan Masa Depan Rupiah' di Jakarta, Minggu.

Intervensi dari Bank Indonesia saat inipun tidak bisa dilakukan terus menerus karena akan menghabiskan cadangan devisa negara, kata dia.

Walaupun rupiah bukanlah satu-satunya mata uang yang terdepresiasi akibat perekonomian Amerika yang semakin menguat, ekonom Bank Central Asia David Samual menilai Indonesia harus memperbaiki fondasi ekonominya, agar rupiah tidak jatuh lebih dalam.

"Fundamental kita masih tergolong lemah dengan defisit transaksi berjalan yang masih besar, utang luar negeri yang terus meningkat, dan ekspor yang mengalami penurunan," kata dia.

Defisit transaksi berjalan 2014 sebesar 26,2 miliar dolar AS atau 2,95 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara itu utang luar negeri swasta dan pemerintah selama Januari mencapai 298,6 miliar dolar AS, naik 2,05 persen dibandingkan pada Desember 2014 yaitu 292,6 miliar dolar AS.

Menurut dia, langkah Bank Indonesia untuk intervensi akan berdampak mengurangi cadangan devisa negara. Jika cadangan devisa berkurang, kepercayaan diri pasar juga akan berkurang.

Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti memberikan insentif pajak untuk industri yang melakukan ekspor dan melakukan reinvestasi laba di dalam negeri, pemberlakuan bea masuk anti-dumping tambahan, penambahan negara penerima bebas visa serta peningkatan penggunaan bahan bakar nabati minimum 20 persen untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan -yang akan berlaku pada April, dinilai bukanlah langkah instan.

"Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bukanlah solusi instan, itu adalah antisipasi jangka menengah dan panjang, pemerintah harus memiliki terobosan, seperti bagaimana caranya uang hasil ekspor benar-benar masuk kembali ke Indonesia, tidak berada di luar," kata dia.

Ia mengatakan kebijakan pemerintah untuk memberikan insentif pajak kepada penanam modal asing -agar mereka tidak merepatriasi dividennya- adalah langkah yang baik.

Namun, insentif pajak tersebut dianggap tidak cukup, Indonesia harus mampu membangun iklim bisnis yang baik sehingga mereka tidak hanya tidak melakukan repatriasi dividen, tetapi juga mempergunakan uang tersebut untuk terus mengekspansi bisnisnya di Indonesia.

    

Depedensi Semakin Tinggi  

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Natsir Mansyur mengatakan rupiah yang kian melemah menandakan tingginya ketergantungan Indonesia terhadap dolar Amerika.

"Kita jangan terus melihat masalah ini sebagai masalah eksternal, marilah lihat masalah ini sebagai masalah dari dalam yang membutuhkan kemandirian ekonomi untuk memperbaiki keadaan sekarang," kata dia.

Ia mengatakan sebanyak 75 persen Indonesia masih mengimpor bahan baku untuk manufaktur, padahal Indonesia memiliki semua bahan baku yang dibutuhkan.

Selain itu, kata dia, sebanyak 45 persen migas Indonesia adalah impor, dan impor bahan baku pangan sebanyak 65 persen, belum lagi industri jasa yang semua transaksinya menggunakan dolar AS.

"Indonesia selama ini hanya dihidupi dari APBN saja, negara yang dihidupi dari APBN adalah negara yang tidak sehat. Negara yang sehat jika sudah dihidupi dari manufakturnya," kata dia.

Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan Indonesia harus menjadikan rupiah sebagai tuan rumah sendiri, bahan impor juga harus dilakukan untuk mengurangi transaksi menggunakan dolar AS.

Ia juga mengatakan pengusaha Indonesia masih bertahan dengan keadaan rupiah seperti saat ini, hanya saja dibutuhkan keadaan ekonomi yang stabil, konsisten dan sehat.

Ia mengapresiasi usaha Presiden Joko Widodo mengajak para penanam modal Tiongkok dan Jepang untuk berinvestasi di Indonesia, namun eloknya usaha Presiden tersebut didukung oleh kementeriannya.

Menurutnya, selama ini kementerian bekerja sendiri-sendiri. Walapun sudah ada sistem satu pintu, dalam kenyataannya masih terjadi tumpang tindih dalam pengurusan izin.

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015