PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) menerapkan teknologi "blockchain" yang memiliki tingkat keamanan tinggi untuk mendukung transaksi perdagangan karbon di Indonesia.

"Pemanfaatan teknologi ini merupakan salah satu upaya kita dalam kesiapan pengembangan usaha sebagai lembaga kliring untuk perdagangan karbon di Indonesia," kata Direktur Utama PT KBI (Persero) Fajar Wibhiyadi dalam rilis yang diterima Antara di Pangkalpinang, Kamis.

"Blockchain" merupakan suatu teknologi baru yang dikembangkan untuk sistem penyimpanan digital yang saat ini dimanfaatkan PT KBI pada ekosistem perdagangan karbon guna memberikan memberikan jaminan keamanan atas pencatatan kredit karbon dan memastikan tidak terjadinya "double accounting" atau pembukuan ganda dalam proses pencatatannya.

KBI sebelumnya telah memanfaatkan teknologi "blockchain" dalam aplikasi pusat registrasi resi gudang, dan manfaatnya sudah dirasakan oleh para pemangku kepentingan di dalam ekosistem resi gudang.

Head Ecoframework Departement PT Sucofindo Budi Utomo mengatakan, keberadaan lembaga kliring dalam perdagangan karbon sangat penting dalam mendukung skema transaksi perdagangan karbon.

Menurut Budi Utomo, lembaga kliring yang memiliki teknologi berbasis blockchain akan mampu memberikan keamanan bertransaksi dan menjamin integritas agregasi emisi selama transaksi kredit berlangsung oleh pelaku.

Selain itu, lembaga kliring yang mengadopsi teknologi tersebut juga akan mampu mendukung konsistensi dalam menerapkan prinsip "clarity", "transparancy" dan "understanding" dalam registry karbon sehingga mampu mengeliminasi "double accounting" atau "double claim".

Peran sebagai lembaga kliring sudah lama dilakukan PT KBI (persero) karena sebelumnya badan usaha milik negara (BUMN) itu cukup berpengalaman dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kliring penjaminan dan penyelesaian transaksi di perdagangan berjangka komoditi serta lembaga kliring di pasar fisik komoditas di Bursa Berjangka Jakarta.

Perdagangan komoditas karbon merupakan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon yang memiliki prinsip sama dengan transaksi di perdagangan komoditas yang ada saat ini, yang berbeda adalah komoditasnya, yaitu emisi karbon.

Adapun emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrat Oksida (N20), Hidroflurokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs) serta Sulfur Heksafluorida (SF6).

Dalam perdagangan karbon, satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan 1 ton karbon dioksida.

Di Indonesia, implementasi crediting telah berjalan sejak tahun 2007 melalui proyek "Clean Development Mechanism" (CDM) berdasarkan Protokol Kyoto. Proyek tersebut memungkinkan bagi pengusaha Indonesia untuk membangun proyek emisi rendah yang sertifikat penurunan emisinya dijual kepada negara-negara maju.

Sebagai negara pihak pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia juga telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi GRK 29 persen dari skenario emisi gas rumah kaca secara Business as Usual (BAU), dimana pada tahun 2030 emisi GRK diproyeksikan sekitar 2.881 GtCO2e.

Fajar Wibhiyadi menambahkan, sebagai BUMN, KBI bisa memastikan bahwa proses kegiatan kliring yang berjalan telah sesuai dengan regulasi yang ada.

"Dalam hal pengembangan teknologi, ke depan kami juga akan terus menyempurnakan dan mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk kegiatan kliring tersebut," kata Fajar.

Pewarta: Donatus Dasapurna Putranta

Editor : Irwan Arfa


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2021