Jakarta (Antara Babel) - Ketegaran Presiden Joko Widodo untuk memberikan kesempatan para pembantunya bekerja hingga satu tahun tanpa diganggu oleh pikiran tentang ada tidaknya perombakan kabinet agaknya penting bagi konsentrasi para menteri dalam menjalankan kinerja mereka.

Selama ini, isu dan perbincangan perihal perlunya perombakan kabinet yang diembuskan berbagai pihak di luar pribadi Presiden cukup santer.

Isu itu, baik dari kalangan parpol pendukung Jokowi maupun kalangan yang beroposisi sering mencuatkan wacana perlunya penggantian sejumlah menteri yang dianggap menjadi biang pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Namun Jokowi bergeming, tetap tegar dengan wacana perombakan kabinet itu. Termasuk ketika berseberangan dengan opini Wapres Jusuf Kalla yang menghendaki segera dilakukan perombakan kabinet, Jokowi masih tegar tak berminat mengganti beberapa menteri yang dikategorikan bekerja di bawah standar.

Tampaknya ketegaran Jokowi di tengah derasnya desakan perlunya perombakan kabinet itu penting bagi para menteri yang harus berkonsentrasi untuk tetap bekerja.

Atas maraknya isu perombakan kabinet itu, sejumlah menteri  memberikan komentar yang normatif, bahwa mereka tak peduli dengan isu itu. Mereka umumnya juga berkomentar seragam bahwa soal diganti atau tidak bukan masalah; itu perkara hak prerogatif presiden.

Presiden sendiri berkali-kali memperlihatkan sikap yang tegar soal perombakan kabinet ini. Jokowi mengatakan biarkan menteri bekerja, jangan sampai menteri kabinet kerja terganggu dengan berbagai wacana termasuk perombakan.

"Jangan ganggu menteri yang baru bekerja, jangan buat gaduh," kata Presiden usai berbuka puasa dengan pimpinan DPR RI di Jakarta.

Presiden mengatakan catatan kerja menteri hanya Presiden yang mengetahui. "Rapor menteri hanya presiden yang tahu," katanya.

Meskipun Jokowi cukup tegar dalam menghadapi desakan perombakan kabinet, ketegarannya bisa goyah jika desakan itu diembuskan secara terus-menerus oleh berbagai kalangan, baik kalangan yang jauh  dari pusat kuasa maupun yang dekat.

Isu pergantian kabinet sesungguhnya bagian sentral dari pengelolaan kekuasaan di ranah eksekutif. Di sinilah hakikat politik beroperasi. Presiden bukan saja dianggap bijak dalam memilih menteri-menteri yang kompeten dan amanah bagi rakyat, tapi juga dinilai dari sisi keadilannya dalam membagi kue kekuasaan bagi parpol pendukungnya.

Menyaksikan ketegaran Jokowi untuk tidak tergesa-gesa mengganti menterinya yang belum setahun bekerja, Jokowi sebenarnya menerapkan prinsip etis dalam menjalankan kekuasaan. Artinya, Jokowi tidak akan menoleransi menterinya yang terbukti melakukan tindakan korup.

Jika kualitas kinerja yang dijadikan ukuran, ukuran itu harus bisa dilihat secara objektif. Jokowi tentu tak ingin mengukur kinerja menteri hanya berdasar survei atau jajak pendapat. Persepsi publik tak bisa dijadikan landasan argumentatif mengganti seorang menteri.

Yang cukup kental aroma isu penggantian kabinet adalah adanya usaha dari parpol untuk memasukkan orang-orangnya ke dalam kabinet sehingga parpol yang merasa berjasa bagi pemenangan Jokowi dalam pilpres itu akan diganjar kue kekuasaan yang lebih banyak dan itu dianggap keadilan.

Para pengusung isu perombakan kabinet tampaknya juga masih mereka-reka tentang kinerja para menteri yang dianggap di bawah standar. Itu sebabnya Jokowi tidak yakin dengan solusi perombakan kabinet atas kinerja menteri yang dianggap belum optimal itu.

Jokowi yang enggan tergesa-gesa mengikuti desakan untuk merombak kabinet agaknya mafhum tentang bahaya gonta-ganti menteri dalam kabinet pemerintahan.

Jika penggantian kabinet itu mengikuti desakan publik atau parpol atau bahkan orang di lingkaran dalam kekuasaan, tak ada jaminan bahwa Jokowi tidak akan menghadapi desakan serupa di kemudian hari.

Pada titik inilah Jokowi akan mendapat stigma yang lebih merugikan karena akan dianggap tidak sanggup memerintah karena selalu salah dalam memilih menteri-menterinya.

Mengganti menteri karena belum memberinya kesempatan untuk memperbaiki kinerjanya jika kinerja itu dijadikan ukuran juga tidaklah etis.

Beberapa pengamat mengatakan bahwa kinerja yang di bawah standar itu antara lain terjadi pada menteri-menteri yang memegang sektor atau bidang ekonomi. Para penentang argumen ini bisa berangkat dari fakta bahwa kelambanan pertumbuhan ekonomi bisa diakibatkan oleh faktor internal dan eksternal.

Ketika situasi eksternal, situasi ekonomi dunia yang memang tak memberi ruang bagi pertumbuhan ekonomi nasional, menyalahkan kinerja menteri ekonomi juga bukan penilaian yang tepat.

Dari perspektif ini lah Jokowi seolah tahu bahwa pergantian kabinet belum cukup alasan untuk dilakukan dalam waktu dekat ini.

Pergantian menteri jelas merupakan isu panas yang paling disukai oleh para politisi yang sedang mengincar peluang untuk dipilih karena gagal menjadi menteri pada pembentukan kabinet pada saat Jokowi terpilih sebagai presiden.

Menteri-menteri dari parpol yang sedang dirundung konflik atau dalam potensi konflik internal juga menjadi sasaran incaran untuk diganti. Posisi menteri dari kalangan profesional termasuk rentan untuk jadi incaran penggantian.

Tentu Jokowi perlu waspada atas intrik di balik isu pergantian menteri ini. Ketegaran Jokowi menghadapi terpaan pergantian kabinet itu juga menjadi salah satu nilai kekuatannya dalam menghadapi tekanan kanan-kiri yang tentu saja merepotkan.

Makanya jawaban yang selalu diberikan Jokowi dalam menampik isu perombakan kabinet cukup taktis bahwa hanya presiden yang tahu rapor menteri. Sekali lagi, hanya presiden, bukan wakil presiden dan bukan ketua parpol.

Jawaban Jokowi itu mesti dimengerti sebagai penegasan bahwa pergantian menteri bukan isu mendesak. Namun, sampai setegar apakah Jokowi menghadapi terpaan badai wacana pergantian menteri itu? Itulah masalah politik nasional terpanas saat ini.

Pewarta: M Sunyoto

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015