Lumajang (Antara Babel) - "Polisi harus mengungkap aktor intelektual dibalik pembunuhan dan penganiayaan Salim dan Tosan. Aparat penegak hukum juga harus melakukan penyelidikan yang jujur dan adil terhadap kasus petani di Lumajang, beserta pertambangan ilegal di daerah itu," tegasnya.

    
Stop Penambangan
    
Informasi yang dihimpun di lapangan, teror dan ancaman pelaku penambangan terhadap warga tidak hanya terjadi di Desa Selok Awar-Awar, namun hampir terjadi di beberapa lokasi penambangan di pesisir selatan Lumajang.

Pihak Polres Lumajang menyatakan bahwa penambangan yang berada di Desa Selok Awar-Awar merupakan penambangan ilegal dan warga setempat menolak adanya penambangan pasir yang diduga mengandung biji besi tersebut.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur  Ony Mahardika mendesak pemerintah provinsi setempat untuk menutup penambangan pasir di Kabupaten Lumajang dan seluruh kabupaten/kota di Jatim.

"Penambangan pasir di pesisir pantai selatan Lumajang sudah merusak lingkungan dan wilayah selatan seharusnya tidak dijadikan kawasan tambang," katanya.

Informasi yang dihimpun di lapangan, lanjut dia, penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar yang dikelola kepala desa setempat merupakan penambangan liar atau ilegal.

"Izin penambangan saat ini berada di wilayah Pemprov Jatim, sehingga kami mendesak Pemprov Jatim dan Pemkab Lumajang menutup penambangan pasir karena aktivitas penambangan menjadi pemicu bencana alam," tuturnya.

Menurutnya, kawasan penambangan di Desa Selok Awar-Awar sudah berdampak buruk bagi warga sekitar karena kawasan tersebut merupakan daerah yang berpotensi rawan bencana dan sebagai lahan perikanan, serta pertanian bagi warga setempat.

"Hampir semua kawasan pesisir pantai selatan dari Pacitan hingga Banyuwangi dilakukan penambangan bahan galian C, padahal kawasan itu seharusnya dijaga kelestarian lingkungan dan tidak dieksploitasi penambangan pasir besi," paparnya.

Kasus terbunuhnya Salim Kancil itu, lanjut dia, memiliki dua korelasi yakni adanya penambangan liar dan penolakan warga terhadap aktivitas tambang, sehingga pemerintah harus bergerak cepat untuk mengantisipasi hal tersebut di beberapa daerah di Jatim.

"Hal itu menegaskan bahwa ketika ada warga yang menolak tambang, maka hal tersebut harus ditindaklanjuti dengan serius dan melakukan penutupan penambangan, agar tidak ada korban Kancil lagi di daerah lain," ujarnya.

Ony menjelaskan Walhi Jatim mengecam keras tindakan yang dilakukan pelaku penganiayaan terhadap dua korban yang menjadi pejuang lingkungan di wilayah Desa Selok Awar-Awar.

"Kami mendesak Polri untuk mengusut tuntas pelaku dan aktor intelektual yang menyebabkan korban Salim Kancil meninggal dunia dengan mengenaskan dan korban Tosan dalam kondisi kritis di rumah sakit," tegasnya.

Kendati sudah ada korban meninggal akibat penolakan tambang pasir di pesisir selatan, namun penambangan pasir liar masih marak terjadi di beberapa kawasan pesisir selatan Lumajang dari barat hingga timur.

Kasus terbunuhnya Salim Kancil sebenarnya bisa menjadi momentum untuk membongkar mafia penambangan pasir di Kabupaten Lumajang karena sebagian besar penambangan itu tidak berizin alias ilegal.

"Kawasan pesisir selatan seharusnya tidak dieksploitasi karena ancaman tsunami bisa datang kapan saja, sehingga tidak boleh ada penambangan," katanya.

Dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar selama dua tahun itu sudah dirasakan oleh warga sekitar yang berprofesi sebagai petani dan nelayan.

"Irigasi pertanian menjadi rusak dan warga tidak bisa menanam padi karena air laut yang menggenangi areal persawahan," kata Koordinator Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar, Hamid.

Almarhum Salim Kancil yang sehari-hari bekerja di sawah tidak bisa memanen hasil padinya karena penambangan yang semakin merusak lingkungan dan irigasi pertanian, sehingga ia bersama 11 teman lainnya membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar sebagai perjuangan untuk menolak eksploitasi penambangan pasir.

"Ada sekitar 40 kepala keluarga yang bertani di sekitar penambangan tidak bisa menikmati hasil panennya karena puso atau gagal panen akibat salura irigasi rusak dan sawah tidak teraliri air," paparnya.

Tidak hanya itu, nelayan tidak lagi bisa menyandarkan perahunya di tepi Pantai Watu Pecak akibat pendangkalan yang disebabkan penambangan pasir besar-besaran di kawasan pesisir selatan itu.

"Dulu banyak nelayan yang bisa membawa perahunya ke tepi pantai, namun saat ini tidak bisa akibat dangkal perairannya," keluhnya.

Ia mengatakan tujuan forum yang dibentuk para petani di Desa Selok Awar-Awar itu tidak muluk-muluk yakni peduli terhadap lingkungan dan mewaspadai ancaman bencana alam yang bisa datang sewaktu-waktu.

"Kami bukan orang pandai, namun kami tahu mana perbuatan yang merusak lingkungan atau tidak karena selama ini masyarakat percaya bibir pantai adalah pagar bumi yang harus dijaga," katanya.

Hamid mengaku masyarakat pesisir merasakan getaran bumi lebih dari lima kali selama sebulan dan hal itu sangat meresahkan warga yang berada di pesisir pantai selatan Lumajang.

"Dengan kejadian yang menimpa Pak Salim Kancil, menjadikan tekad warga semakin kuat untuk menolak penambangan pasir di Pantai Watu Pecak, sehingga Pak Salim pantas disebut sebagai pahlawan di desa kami," ujarnya.

Bupati Lumajang As'at Malik juga menginstruksikan penutupan seluruh penambangan pasir ilegal dan akan memperketat pengaturan penambangan pasir di kabupaten setempat.

        
Proses Hukum
    
Aparat Kepolisian terus bergerak untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan dan penganiayaan petani antitambang itu hingga menetapkan 22 orang sebagai tersangka dalam tragedi di Desa Selok Awar-Awar itu.

"Jumlah tersangka bertambah empat orang, dari 18 orang menjadi 22 orang, setelah dilakukan pengembangan penyelidikan di lapangan," kata Kabid Humas Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur, Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono.

Dari 22 orang tersangka itu, lanjut dia, sebanyak 20 orang ditahan dan dua tersangka lain tidak ditahan karena masuk kategori dibawah umur yakni berusia 16 tahun.

Kemungkinan jumlah tersangka bisa bertambah lagi dan penyidik masih melakukan pengembangan penyidikan dan penyelidikan di lapangan atas kasus penganiayaan berat yang dilakukan massa kepada dua warga Desa Selok Awar-Awar tersebut.

"Kalau bukti cukup kuat dan berdasarkan keterangan saksi-saksi mengarah adanya tersangka baru, maka penyidik bisa menetapkan orang tersebut sebagai tersangka," ucapnya, menegaskan.

Saat dikonfirmasi terkait dengan dugaan kepala desa setempat yang terlibat dalam kasus penganiayaan dua aktivis antitambang itu, Prabowo mengatakan penyidik masih mendalami hal itu.

"Penyidik Polda Jatim dan Polres Lumajang benar-benar serius dalam menangani kasus kekerasan yang menimpa petani antitambang itu karena dalam dua hari sudah menetapkan 22 tersangka," tegasnya.

Kasus tersebut menjadi atensi publik, bahkan dikabarkan Presiden Joko Widodo dan Kapolri Badrodin Haiti menginstruksikan untuk mengusut tuntas kasus tersebut, sehingga Polda Jatim mengambil alih penahanan 20 tersangka yang sebelumnya ditahan di Mapolres Lumajang pada Selasa (29/9) malam.

"Pemindahan itu sebagai bentuk keseriusan polisi dalam mengusut kasus penganiayaan di Lumajang dan penyidik bisa lebih fokus dalam melakukan penyidikan," ujarnya.

Prabowo mengatakan pemeriksaan tersangka di Polda Jatim sebagai bentuk keseriusan polisi untuk mengusut tuntas kasus itu dan jumlah penyidik di Polda juga memadai untuk menyidik tersangka yang cukup banyak.

Perjuangan Salim Kancil untuk menolak penambangan tentu tidak berakhir sampai di sini karena masih banyak Kancil-Kancil di daerah lain yang terus memperjuangkan hal serupa.

Semua pihak tentu harus membuka mata, membuka hati, dan membuka telinga untuk belajar banyak atas tragedi penambangan pasir berdarah di Lumajang. Semoga pemerintah tidak gegabah memberikan izin penambangan yang dapat merusak lingkungan.

Kemudian aparat penegak hukum janganlah tajam kebawah, namun tumpul keatas dalam menindaklanjuti kasus terbunuhnya aktivis antitambang itu. Ironis, di Tanah Kami (Lumajang), nyawa tak semahal tambang.

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015