Sanaa (Antara Babel) - Mantan presiden Yaman Ali Abdullah Saleh pada
Minggu (27/12) mengatakan perang melawan Arab Saudi baru akan dimulai.
Saleh berikrar pendukungnya akan terus berperang kecuali koalisi pimpinan Arab Saudi menghentikan serangan udara dan darat terhadap negerinya.
Saleh mengeluarkan pernyataan itu dalam satu pertemuan dengan wakil dari Partai Rakyat Umum, pimpinannya, dan kelompok Syiah Al-Houthi --yang ikut dalam pembicaraan perdamaian yang diprakarsai PBB belum lama ini di Swiss.
Ia mengatakan Arab Saudi mesti siap menghadapi perang yang akan segera dimulai.
"Hanya jika perang dihentikan, kami akan menghadiri pembicaraan langsung dengan Pemerintah Arab Saudi sendiri, bukan dengan tentara bayaran," kata Saleh, sebagaimana dikutip Xinhua.
Ia merujuk kepada pembicaraan perdamaian mendatang yang ditaja PBB dan dijadwalkan diselenggarakan pada pertengahan Januari.
"Perang belum dimulai. Dan itu akan dimulai jika Pemerintah Arab Saudi dan pengikut mereka (Pemerintah Yaman) tidak memilih perdamaian di bawah pengawasan Rusia atau PBB," ia menambahkan.
Pekan lalu, Ismail Ould Cheikh Ahmed, Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Yaman, mengumumkan berakhirnya pembicaraan perdamaian terakhir mengenai Yaman. Ia mengatakan semua pihak menyepakati kerangka kerja bagi perundingan dan akan bertemu lagi pada 14 Januari 2016 untuk babak baru pembicaraan.
Konsultasi tersebut melibatkan 24 wakil dari Yaman dan penasehat mengenai pelaksanaan gencatan senjata menyeluruh dan permanen, peningkatan kondisi kemanusiaan dan kembali ke peralihan politik yang damai dan tenang.
Yaman telah dinodai oleh kebuntuan sejak 2011, ketika protes massa memaksa Saleh meletakkan jabatan.
Krisis yang berkecamuk di Yaman adalah cermin dari kerusuhan regional di Timur Tengah, terutama setelah pasukan Presiden Abd-Rabbo Mansour Hadi --yang menyelamatkan diri ke Arab Saudi-- merebut Kota Aden, yang strategis di Yaman Selatan, melawan petempur Al-Houthi.
Koalisi pimpinan Arab Saudi telah mendukung Pemerintah Hadi dengan memerangi petempur Al-Houthi sejak Maret, dan belakangan mengirim tentara darat dari Uni Emirat Arab, Sudan, Qatar dan negara lain untuk merebut kembali lima provinsi di Yaman Selatan dari anggota Al-Houthi.
Gerilyawan Al-Houthi, yang didukung oleh Pasukan Garda Republik --yang setia kepada mantan presiden Ali Abdullah Saleh, masih menguasai Ibu Kota Yaman, Sanaa, dan sebagian besar wilayah utara negeri itu sejak September tahun lalu.
Lebih dari 6.000 orang telah tewas di Yaman sejak Maret dalam pertempuran darat dan serangan udara, separuh dari mereka adalah warga sipil.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
Saleh berikrar pendukungnya akan terus berperang kecuali koalisi pimpinan Arab Saudi menghentikan serangan udara dan darat terhadap negerinya.
Saleh mengeluarkan pernyataan itu dalam satu pertemuan dengan wakil dari Partai Rakyat Umum, pimpinannya, dan kelompok Syiah Al-Houthi --yang ikut dalam pembicaraan perdamaian yang diprakarsai PBB belum lama ini di Swiss.
Ia mengatakan Arab Saudi mesti siap menghadapi perang yang akan segera dimulai.
"Hanya jika perang dihentikan, kami akan menghadiri pembicaraan langsung dengan Pemerintah Arab Saudi sendiri, bukan dengan tentara bayaran," kata Saleh, sebagaimana dikutip Xinhua.
Ia merujuk kepada pembicaraan perdamaian mendatang yang ditaja PBB dan dijadwalkan diselenggarakan pada pertengahan Januari.
"Perang belum dimulai. Dan itu akan dimulai jika Pemerintah Arab Saudi dan pengikut mereka (Pemerintah Yaman) tidak memilih perdamaian di bawah pengawasan Rusia atau PBB," ia menambahkan.
Pekan lalu, Ismail Ould Cheikh Ahmed, Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Yaman, mengumumkan berakhirnya pembicaraan perdamaian terakhir mengenai Yaman. Ia mengatakan semua pihak menyepakati kerangka kerja bagi perundingan dan akan bertemu lagi pada 14 Januari 2016 untuk babak baru pembicaraan.
Konsultasi tersebut melibatkan 24 wakil dari Yaman dan penasehat mengenai pelaksanaan gencatan senjata menyeluruh dan permanen, peningkatan kondisi kemanusiaan dan kembali ke peralihan politik yang damai dan tenang.
Yaman telah dinodai oleh kebuntuan sejak 2011, ketika protes massa memaksa Saleh meletakkan jabatan.
Krisis yang berkecamuk di Yaman adalah cermin dari kerusuhan regional di Timur Tengah, terutama setelah pasukan Presiden Abd-Rabbo Mansour Hadi --yang menyelamatkan diri ke Arab Saudi-- merebut Kota Aden, yang strategis di Yaman Selatan, melawan petempur Al-Houthi.
Koalisi pimpinan Arab Saudi telah mendukung Pemerintah Hadi dengan memerangi petempur Al-Houthi sejak Maret, dan belakangan mengirim tentara darat dari Uni Emirat Arab, Sudan, Qatar dan negara lain untuk merebut kembali lima provinsi di Yaman Selatan dari anggota Al-Houthi.
Gerilyawan Al-Houthi, yang didukung oleh Pasukan Garda Republik --yang setia kepada mantan presiden Ali Abdullah Saleh, masih menguasai Ibu Kota Yaman, Sanaa, dan sebagian besar wilayah utara negeri itu sejak September tahun lalu.
Lebih dari 6.000 orang telah tewas di Yaman sejak Maret dalam pertempuran darat dan serangan udara, separuh dari mereka adalah warga sipil.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015