Jakarta (Antara Babel) - Penetrasi teknologi modern yang semakin meningkat dalam dua dekade terakhir telah mampu menciptakan pergeseran pola menikmati karya jurnalistik oleh masyarakat.
Kehadiran televisi di Indonesia pada akhir 1980-an telah mampu memberikan ruang bagi jurnalisme penyiaran untuk berkembang dan bahkan mendominasi perolehan iklan dari segi kuantitas.
Kemudian, kehadiran komputer, internet, dan telepon pintar pada era setelah televisi juga telah mampu memberikan kesempatan bagi jurnalisme dalam jaringan (online) untuk hadir memberikan karya-karya jurnalistik kepada masyarakat.
Media cetak sudah eksis menyajikan karya jurnalistik jauh sebelum televisi, komputer, internet, dan telepon pintar muncul. Mesin cetak Gutenberg mulai digunakan pada abad ke-15 dan sejak saat itu barang-barang cetak, seperti selebaran, buku, dan kemudian koran, mengambil peran penting di daratan Eropa dalam pertumbuhan era Renaissance, Pencerahan, hingga revolusi sains.
Dunia berkembang dan tidak dipungkiri bahwa keberadaan teknologi seperti televisi, komputer, internet, dan telepon pintar memberikan inovasi bagi dunia jurnalistik yang mampu memudahkan masyarakat mengakses berita dan kabar terbaru secara lebih cepat dan menarik.
Keberadaan barang-barang teknologi yang semakin memeluk erat kehidupan masyarakat modern tersebut menjadi ancaman tersendiri bagi media cetak sebagai "media konvensional". Ancaman tersebut dapat berupa pergeseran minat pembaca hingga persaingan memperebutkan pemasukan uang dari iklan.
Dampaknya sudah dapat disaksikan di penghujung 2015, di mana beberapa surat kabar di Indonesia menghentikan penerbitan versi cetaknya, terutama karena faktor biaya cetak yang tinggi.
Sebut saja harian sore Sinar Harapan yang pada 31 Desember 2015 menerbitkan edisi terakhirnya. Koran berbahasa Inggris Jakarta Globe juga beralih format dari koran cetak menjadi daring pada pertengahan Desember 2015.
Peneliti senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto mengatakan media cetak yang masih beredar sekarang tidak perlu takut dengan inovasi di dunia jurnalistik yang menyebabkan terjadinya pergeseran minat pembaca ke media digital yang mampu memicu gelombang penutupan media cetak.
"Memang pada dasarnya dunia jurnalistik penuh inovasi, kenapa harus takut dengan inovasi. Krisis justru akan menemukan jati diri sebenarnya, jangan takut tapi gunakan untuk mencari jawaban," kata dia.
Optimisme
Haryanto menyebutkan ada beberapa faktor penyebab surat kabar merosot, di antaranya perkembangan teknologi digital, pertumbuhan ekonomi melambat sehingga pemasukan dari iklan berkurang, kebiasaan membaca yang bergeser ke gawai, dan generasi muda belum terbentuk menjadi pembaca masa depan.
Namun, secara pribadi Haryanto optimistis bahwa media cetak masih bisa bertahan berpuluh-puluh tahun dari sekarang. Dia juga mengatakan bahwa hasil riset menyebutkan bahwa porsi iklan di media cetak masih terbilang cukup tinggi dari segi kuantitas dibandingkan dengan media berbasis internet (daring).
Media daring jurnalistik di Indonesia memperoleh porsi iklan sekitar Rp700-800 miliar pada 2014. Angka tersebut masih kalah dibandingkan dengan porsi iklan yang diperoleh media cetak dan televisi dalam satu tahun.
Perolehan iklan media cetak masih lebih banyak secara kuantitas dibandingkan media daring. Pendapatan iklan di media cetak berkisar Rp10 triliun dalam satu tahun untuk media cetak populer skala nasional.
Selain itu, Haryanto juga berpendapat bahwa media cetak sudah pernah mampu melewati "ancaman" dari media televisi yang mulai populer di Indonesia pada akhir 1980-an.
"Kemunculan televisi membuat koran tampil berwarna, tampilan foto lebih besar dan mencolok. Budaya visual memengaruhi tampilan media cetak," kata Haryanto.
Menurut dia, hal yang diperlukan oleh pihak media cetak adalah kecerdasan untuk mengemas aneka medium yang berbeda-beda dan punya kemampuan yang lebih banyak untuk medium-medium yang digunakan. "Dengan tetap mengedepankan empati dan 'conscience', kata Haryanto.
Wartawan senior harian Kompas Bre Redana mengakui bahwa media cetak memang sedang mengalami masa senjakala, di mana termasuk di dalamnya jurnalisme.
Namun, dia berpendapat bahwa media cetak tidak akan pernah hilang digantikan oleh teknologi yang lebih baru. "Hanya akan ada transformasi bentuk yang seperti apa, saya belum tahu," ucap dia.
Bre mengatakan bahwa ada hal yang tidak bisa digantikan dari tradisi literer yang telah dimunculkan oleh media cetak.
Pendapatnya tersebut sejalan dengan istilah teori jurnalisme terkenal oleh ahli teori komunikasi asal Kanada, Marshall McLuhan, dalam bukunya "Understanding Media: The Extensions of Man" yang terbit pada 1964.
"Barang cetak berhubungan dengan soal kesadaran. Membaca tinta di atas kertas berbeda dengan membaca piksel dari layar yang menyala. Membaca tinta terjadi proses menenggelamkan diri atau 'immersion', sedangkan membaca digital melompat dari satu subjek ke subjek lain," kata dia.
Dalam sebuah tulisannya, Bre juga menyebut bahwa telah muncul era baru dunia media massa yang memiliki karakteristik serba cepat dan bergegas.
"Mereka berilusi menampilkan informasi yang pertama, yang tercepat, sekaligus lupa, bahwa yang pertama belum tentu yang terbaik," tulisnya.
Redaktur senior Sinar Harapan Aristides Katoppo berpendapat perlu adanya riset yang mendalam mengenai dinamika jurnalistik cetak di Indonesia. "Perlu pemberian makna, mengapa generasi muda kurang tertarik dengan jurnalistik yang beretika," ucap dia.
Salah satu tokoh yang pernah kembali menerbitkan koran Sinar Harapan di bawah naungan PT Sinar Harapan Persada itu juga optimistis dengan kelangsungan media cetak di Indonesia yang menurutnya sangat tergantung dengan kualitas wartawannya.
"Selama wartawan masih punya pemikiran yang cerah, maka masa depan media cetak juga masih akan ada harapan," kata pria yang akrab disapa Tides tersebut.
Sebagai sosok yang tumbuh di era membaca koran, Tides memiliki kenangan tersendiri dengan koran.
"Dulu koran itu dianggap praktis karena bisa dilipat. Karena bisa dilipat, maka bisa dijadikan alas untuk menonton bioskop karena kursi-kursi bioskop dulu banyak kutu yang bikin gatal," kata dia.
Memang hampir semua pemerhati dan pelaku media masih sulit membayangkan akan seperti apa nasib media cetak kelak. Namun, sebagai subjek yang telah mampu membentuk kebudayaan masyarakat selama berabad-abad, keberadaan media cetak menjadi hal yang perlu dipikirkan lebih lanjut.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016
Kehadiran televisi di Indonesia pada akhir 1980-an telah mampu memberikan ruang bagi jurnalisme penyiaran untuk berkembang dan bahkan mendominasi perolehan iklan dari segi kuantitas.
Kemudian, kehadiran komputer, internet, dan telepon pintar pada era setelah televisi juga telah mampu memberikan kesempatan bagi jurnalisme dalam jaringan (online) untuk hadir memberikan karya-karya jurnalistik kepada masyarakat.
Media cetak sudah eksis menyajikan karya jurnalistik jauh sebelum televisi, komputer, internet, dan telepon pintar muncul. Mesin cetak Gutenberg mulai digunakan pada abad ke-15 dan sejak saat itu barang-barang cetak, seperti selebaran, buku, dan kemudian koran, mengambil peran penting di daratan Eropa dalam pertumbuhan era Renaissance, Pencerahan, hingga revolusi sains.
Dunia berkembang dan tidak dipungkiri bahwa keberadaan teknologi seperti televisi, komputer, internet, dan telepon pintar memberikan inovasi bagi dunia jurnalistik yang mampu memudahkan masyarakat mengakses berita dan kabar terbaru secara lebih cepat dan menarik.
Keberadaan barang-barang teknologi yang semakin memeluk erat kehidupan masyarakat modern tersebut menjadi ancaman tersendiri bagi media cetak sebagai "media konvensional". Ancaman tersebut dapat berupa pergeseran minat pembaca hingga persaingan memperebutkan pemasukan uang dari iklan.
Dampaknya sudah dapat disaksikan di penghujung 2015, di mana beberapa surat kabar di Indonesia menghentikan penerbitan versi cetaknya, terutama karena faktor biaya cetak yang tinggi.
Sebut saja harian sore Sinar Harapan yang pada 31 Desember 2015 menerbitkan edisi terakhirnya. Koran berbahasa Inggris Jakarta Globe juga beralih format dari koran cetak menjadi daring pada pertengahan Desember 2015.
Peneliti senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto mengatakan media cetak yang masih beredar sekarang tidak perlu takut dengan inovasi di dunia jurnalistik yang menyebabkan terjadinya pergeseran minat pembaca ke media digital yang mampu memicu gelombang penutupan media cetak.
"Memang pada dasarnya dunia jurnalistik penuh inovasi, kenapa harus takut dengan inovasi. Krisis justru akan menemukan jati diri sebenarnya, jangan takut tapi gunakan untuk mencari jawaban," kata dia.
Optimisme
Haryanto menyebutkan ada beberapa faktor penyebab surat kabar merosot, di antaranya perkembangan teknologi digital, pertumbuhan ekonomi melambat sehingga pemasukan dari iklan berkurang, kebiasaan membaca yang bergeser ke gawai, dan generasi muda belum terbentuk menjadi pembaca masa depan.
Namun, secara pribadi Haryanto optimistis bahwa media cetak masih bisa bertahan berpuluh-puluh tahun dari sekarang. Dia juga mengatakan bahwa hasil riset menyebutkan bahwa porsi iklan di media cetak masih terbilang cukup tinggi dari segi kuantitas dibandingkan dengan media berbasis internet (daring).
Media daring jurnalistik di Indonesia memperoleh porsi iklan sekitar Rp700-800 miliar pada 2014. Angka tersebut masih kalah dibandingkan dengan porsi iklan yang diperoleh media cetak dan televisi dalam satu tahun.
Perolehan iklan media cetak masih lebih banyak secara kuantitas dibandingkan media daring. Pendapatan iklan di media cetak berkisar Rp10 triliun dalam satu tahun untuk media cetak populer skala nasional.
Selain itu, Haryanto juga berpendapat bahwa media cetak sudah pernah mampu melewati "ancaman" dari media televisi yang mulai populer di Indonesia pada akhir 1980-an.
"Kemunculan televisi membuat koran tampil berwarna, tampilan foto lebih besar dan mencolok. Budaya visual memengaruhi tampilan media cetak," kata Haryanto.
Menurut dia, hal yang diperlukan oleh pihak media cetak adalah kecerdasan untuk mengemas aneka medium yang berbeda-beda dan punya kemampuan yang lebih banyak untuk medium-medium yang digunakan. "Dengan tetap mengedepankan empati dan 'conscience', kata Haryanto.
Wartawan senior harian Kompas Bre Redana mengakui bahwa media cetak memang sedang mengalami masa senjakala, di mana termasuk di dalamnya jurnalisme.
Namun, dia berpendapat bahwa media cetak tidak akan pernah hilang digantikan oleh teknologi yang lebih baru. "Hanya akan ada transformasi bentuk yang seperti apa, saya belum tahu," ucap dia.
Bre mengatakan bahwa ada hal yang tidak bisa digantikan dari tradisi literer yang telah dimunculkan oleh media cetak.
Pendapatnya tersebut sejalan dengan istilah teori jurnalisme terkenal oleh ahli teori komunikasi asal Kanada, Marshall McLuhan, dalam bukunya "Understanding Media: The Extensions of Man" yang terbit pada 1964.
"Barang cetak berhubungan dengan soal kesadaran. Membaca tinta di atas kertas berbeda dengan membaca piksel dari layar yang menyala. Membaca tinta terjadi proses menenggelamkan diri atau 'immersion', sedangkan membaca digital melompat dari satu subjek ke subjek lain," kata dia.
Dalam sebuah tulisannya, Bre juga menyebut bahwa telah muncul era baru dunia media massa yang memiliki karakteristik serba cepat dan bergegas.
"Mereka berilusi menampilkan informasi yang pertama, yang tercepat, sekaligus lupa, bahwa yang pertama belum tentu yang terbaik," tulisnya.
Redaktur senior Sinar Harapan Aristides Katoppo berpendapat perlu adanya riset yang mendalam mengenai dinamika jurnalistik cetak di Indonesia. "Perlu pemberian makna, mengapa generasi muda kurang tertarik dengan jurnalistik yang beretika," ucap dia.
Salah satu tokoh yang pernah kembali menerbitkan koran Sinar Harapan di bawah naungan PT Sinar Harapan Persada itu juga optimistis dengan kelangsungan media cetak di Indonesia yang menurutnya sangat tergantung dengan kualitas wartawannya.
"Selama wartawan masih punya pemikiran yang cerah, maka masa depan media cetak juga masih akan ada harapan," kata pria yang akrab disapa Tides tersebut.
Sebagai sosok yang tumbuh di era membaca koran, Tides memiliki kenangan tersendiri dengan koran.
"Dulu koran itu dianggap praktis karena bisa dilipat. Karena bisa dilipat, maka bisa dijadikan alas untuk menonton bioskop karena kursi-kursi bioskop dulu banyak kutu yang bikin gatal," kata dia.
Memang hampir semua pemerhati dan pelaku media masih sulit membayangkan akan seperti apa nasib media cetak kelak. Namun, sebagai subjek yang telah mampu membentuk kebudayaan masyarakat selama berabad-abad, keberadaan media cetak menjadi hal yang perlu dipikirkan lebih lanjut.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016