Surabaya (Antara Babel) - Ada satu dalih yang sama untuk melegalkan ekstrem kanan (radikal) dan ekstrem kiri (liberal) di Bumi Nusantara, yakni hak asasi manusia (HAM), padahal Nusantara adalah republik "jalan tengah".

Namun, HAM begitu menyeruak dengan setumpuk logika yang dimasukkan ke dalam otak manusia Indonesia yang negaranya kini mulai diperhitungkan secara ekonomi.

Dalam konteks itulah, LGBT atau lesbian, gay, biseksual, dan transgender dikampanyekan dengan jargon-jargon yang cukup indah, yakni HAM, anti-diskriminasi, atau kesetaraan hak. Indah bukan?
    
Padahal, HAM itu bukan bebas aturan, kendati pun sangat logis. Ibarat kuliah di AS, siapapun tetap harus lewat peraturan, yakni mendaftar secara resmi melalui otoritas kampus.

Ambil contoh, apakah otoritas kampus di AS itu mau menganggap orang yang pintar itu sebagai lulusannya bila tidak mendaftar, meski brilian, hanya karena alasan HAM?
    
Fakta yang ada, sepintar apapun seseorang bila kuliah tanpa mendaftar, maka dia tidak akan dianggap lulusan sebuah universitas dan bila dia bisa mendapatkan ijazah pun dianggap ilegal.

Jadi, HAM tidak bisa dipaksakan tanpa melewati peraturan yang ada. Nah, Indonesia adalah Negara Pancasila, sehingga HAM yang masuk Indonesia harus lewat itu.

Meski bukan negara agama, tapi Indonesia adalah negara yang menganut nilai-nilai agama. Ya, Indonesia bukan negara agama, tapi negara yang penduduknya wajib beragama. Bukan ateis.

Kenapa agama? Para pendiri negeri ini menilai agama itu ibarat rem pada motor. Dengan rem, motor akan terkendali, maka manusia juga akan terkendali dengan agama. Manusia merancang rem, karena manusia yang membuat motor. Tuhan merancang agama, karena Tuhan yang menciptakan manusia.

Nilai-nilai agama terkait LGBT antara lain tercantum dalam kitab suci (Al Quran) tentang Nabi Luth dan sejarah kaumnya yang dimusnahkan oleh Allah SWT seperti rumput yang kering, karena kaumnya berperilaku homo atau ada kelainan.

Nah, LGBT tidak bisa dipaksakan masuk ke Indonesia dengan argumentasi ala HAM, karena perilaku seperti itu bertentangan dengan nilai-nilai agama manapun.

Nilai-nilai agama itulah yang mirip "pendaftaran" masuk universitas bila pihak luar ingin "masuk" negeri yang Pancasilais. Bila ada yang masuk tanpa "pendaftaran" akan dianggap ilegal.

"Masalah LGBT tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan HAM dan demokrasi, karena LGBT pada hakikatnya merupakan kelainan seksual dalam perikehidupan seseorang, apalagi negara kita sangat religius," kata pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Depok, KHA Hasyim Muzadi.

Menurut tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu, pendekatan yang benar untuk menyelesaikan masalah LGBT adalah melalui prevensi dan rehabilitasi, sehingga seseorang bisa kembali menjadi normal secara seksual.

Prevensi dalam istilah psikologi artinya pencegahan, yakni mencegah agar tidak terjadi gangguan psikologi, sebuah upaya agar individu terhindar dari gangguan perilaku atau patologis pada aspek psikisnya.

Prevensi dapat dilakukan sejak masa kanak-kanak sebagai upaya tangkal dini apabila terdapat gejala kelainan seksual dengan cara psikoterapi, penyadaran, dan latihan-latihan agar kelainan seks itu tidak menjadi berkembang.

Ada pun proses rehabilitasi diperlukan untuk mereka yang sudah telanjur menjadi bagian dari kelainan tersebut. Sesulit apa pun proses rehabilitasi, upaya itu tetap harus dilakukan agar jumlah LGBT tidak membesar.

"Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan bahwa masyarakat umum tidak boleh menjauhi mereka secara diskriminatif, karena sesungguhnya mereka sendiri juga tidak menyukai kelainan tersebut," kata KH Hasyim.

Terkait legalisasi yang dilakukan oleh negara-negara Barat terhadap LGBT, ia menilai hal itu semata-mata berangkat dari pendekatan sekularis ateistik yang jauh dari norma etika dan agama.

Senada dengan itu, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Seksi Religi, Spritualitas dan Psikiatri (RSP) merilis pernyataan sikap bahwa LGBT masuk ODMK atau orang dengan masalah kesehatan jiwa.

"Meski kesepakatan internasional tidak menggolongkan LGBT dalam ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), namun kajian ilmu kesehatan jiwa secara holistik memasukkan LGBT dalam ODMK yang merujuk terminologi ODMK pada UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa," kata Ketua Seksi RSP PDSKJI Dr. dr. Fidiansjah, SpKJ, MPH (5/2).

    
              Dana UNDP-USAID
    
Agaknya, dugaan keterkaitan LGBT dengan HAM itu terungkap dengan adanya kerja sama UNDP dengan Kedutaan Besar Swedia di Bangkok dan USAID untuk mendukung berbagai kegiatan kaum LGBT dengan dana sebesar 8 juta dolar AS.

Dalam keterangannya, UNDP menyebutkan bahwa proyek ini dimulai pada Desember 2014 hingga September 2017. Selain mendukung kaum LGBT, proyek itu juga terkait hak hukum dalam melaporkan pelanggaran HAM yang dialami mereka.

Hasil yang ingin dicapai dari proyek tersebut salah satunya adalah untuk meningkatkan kemampuan organisasi non-profit LGBT untuk memobilisasi, menyokong dan berkontribusi melalui dialog, kebijakan dan aktivitas pemberdayaan komunitas.

Menanggapi hal itu, Ketua Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan Muhammadiyah mengecam keras perilaku LGBT. Ia juga menyatakan bahwa penyebaran LGBT tidak bisa berlindung di bawah HAM.

"Kami minta pemerintah tidak perlu takut menghadapi desakan dunia internasional, yang mendukung perilaku LGBT. Setiap pimpinan pemerintahan harus pandai menjaga kedaulatan, termasuk pada desakan luar," katanya.

Terkai hal itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan bahwa Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah memanggil perwakilan UNDP di Jakarta untuk mengklarifikasi berita adanya aliran dana tersebut ke Indonesia.

"UNDP di Indonesia sudah dipanggil ke Bappenas untuk menjelaskan apa yang terjadi. (UNDP) Yang di sini (mengaku) tidak tahu dan tidak mengikuti proyek itu, (dana) itu UNDP di Thailand, karena itu diminta secara organisasi untuk memberitahukan ke Thailand supaya jangan melaksanakan itu," katanya.

Senada dengan itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan tunduk terhadap tekanan asing terkait penanganan LGBT.

"Kita tidak pernah tunduk terhadap tekanan siapapun, kita ini selesaikan dengan cara kita," kata Menkopolhukam seusai bertemu dengan jajaran Pengurus Pusat Muhamadiyah di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (15/2).

Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengikuti jejak Brazil yang melegalkan perkawinan sesama jenis (LGBT) meski di negara itu mayoritas penduduknya beragama.

"Karena ini ancaman atau keadaan yang nyata di depan mata yang harus kita hadapin, kita lindungi hak mereka sebagai individu, tapi gimana langkah-langkah kita supaya ini bisa kita minimize (minimalkan) dampaknya di Indonesia ini," katanya.

Langkah meminimalkan gerakan LGBT itu mendapat dukungan DPD dan DPR, bahkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Emilia Contessa, mewacanakan Panitia Khusus (Pansus) LGBT.

"Itu (Pansus LGBT) masih wacana, karena DPD memang menolak LGBT yang marak dalam tiga bulan terakhir itu," ucapnya di sela 'FGD' tentang Proyeksi dan Asumsi APBN-P dengan sejumlah akademisi Jatim di Rektorat Unair Surabaya, Kamis (18/2).

Anggota DPD dari daerah pemilihan Jawa Timur itu menjelaskan AS dan Eropa yang sekarang mengakui perkawinan sejenis itu juga mengalami syok pada 60 tahun silam, termasuk Rusia.

"Pada 60 tahun lalu, AS dan Eropa juga menentang perkawinan sejenis itu, namun kini mereka menerima komunitas LGBT itu. Jadi, sikap mereka yang semula anti itu kini sudah berubah menjadi mendukung," tuturnya.

Penyanyi yang sempat dijuluki Asia Week sebagai Singa Panggung Asia pada tahun 1975 itu menilai LGBT ibarat buah simalakama. "Sebagai manusia, mereka berhak melakukan apa saja," katanya.

Namun, mereka tetap tidak boleh melanggar hukum. "Negara kita adalah Negara Pancasila yang bukan negara agama, tapi menganut nilai-nilai agama, karena itu hukum agama berlaku disini, jadi kita melawan perkawinan sejenis," ujarnya.

Oleh karena itu, senator kelahiran Banyuwangi yang berdarah Pakistan-Madura-Jawa itu menyatakan para politisi hendaknya jangan sampai melegalkan perkawinan sejenis.

"Untuk bentuk pencegahannya perlu dirumuskan dalam Pansus. Pencegahan itu bisa dalam bentuk regulasi di Kementerian Agama yang melarang perkawinan sejenis. Bisa juga melalui pendidikan, karena LGBT itu lebih pada faktor lingkungan, terutama kebiasaan di tengah keluarga," ujarnya.

Fungsionaris DPP PKB Syaikhul Islam Ali mengatakan fraksi PKB di DPR akan mendorong lahirnya undang-undang anti perkawinan sejenis.

"PKB bukan sekedar berwacana menolak aktivitas LGBT maupun perkawinan sejenis. Kami malah akan mendorong agar undang-undang anti perkawinan sejenis dibuat oleh DPR," katanya.

Pewarta: Edy M Ya'kub

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016