Andakah orang yang setiap hari berjibaku menaklukkan waktu? Menjalankan segala sesuatu selalu terburu-buru, berkejaran dengan deadline, harus mengerjakan banyak hal dalam sekali waktu, bekerja dalam kegentingan tinggi, sampai tidak sempat menikmati apa pun, termasuk proses makan (sekalipun).
Kesibukan, mungkin, telah membuat orang kehilangan banyak hal, hilang “rasa manusia” karena dikendalikan pekerjaan dan tidak mampu mengendalikan keadaan, hingga serasa menjadi budak duniawi.

Apakah Anda lelah, kurang tidur, stres meningkat, bahkan kesehatan mental memburuk? Mungkin saatnya beralih ke gaya hidup slow living, melambatkan laju hidup demi menikmati setiap momen yang terjadi dan menjadikan setiap aktivitas lebih bermakna.

Slow living, dalam terjemahan bebas bisa berarti hidup santai atau dalam pandangan Islam serupa tuma’ninah. Gaya hidup yang mulai banyak dilirik orang menyusul tingginya tingkat stres dan memburuknya kesehatan mental masyarakat sebagai dampak kehidupan modern yang menuntutnya melakukan aktivitas serba cepat. Hidup seperti harus terus berlarian dalam kecepatan tinggi. Padahal perangkat lunak manusia tidak didesain untuk melakukan hal demikian.

Sejumlah ciri gaya hidup modern berpengaruh pada tingkat stres dan kondisi kesehatan mental seseorang yang terlibat di dalamnya. Seperti paparan informasi berlebih, durasi tatap layar (screen time) yang relatif lama dan tuntutan kerja multitugas yang mengakibatkan kurang tidur atau istirahat tidak berkualitas.

Berlimpahnya informasi dari media massa, surel hingga media sosial yang terus-menerus diikuti dapat memicu terjadinya stres. Paparan informasi berlebih juga akan menyulitkan seseorang untuk berkonsentrasi pada satu tugas. Profesor Psikologi dari Gresham College, Glenn Wilson mengatakan distraksi dari informasi berlebih dapat menurunkan IQ efektif seseorang hingga 10 poin.

Kehidupan modern juga ditandai dengan ketergantungan orang terhadap gawai dan berbagai perangkat elektronik. Mulai dari mengerjakan tugas kantor, kuliah atau sekolah semua menggunakan komputer baik berupa PC (personal computer), laptop, tablet atau ponsel. Termasuk aktivitas scrolling dalam memantau media sosial. Kesemua itu membuat orang lupa waktu hingga screen time mereka terlalu panjang.

Kegiatan tatap layar yang makin menyita waktu telah mengurangi interaksi tatap muka secara signifikan. Padahal, perbincangan tatap muka memiliki banyak manfaat bagi otak. Studi dari University of Michigan menyebutkan bahwa percakapan tatap muka 10 menit saja dalam sehari bisa memberi dampak positif bagi peningkatan daya ingat dan kognisi.

Sementara kurangnya interaksi personal dapat memicu rasa kesepian dan depresi, sebuah masalah mental yang berkontribusi pada penurunan kesehatan otak.

Dalam dunia kerja, tuntutan terhadap SDM multitasking juga menjadi ciri dari gaya hidup modern. SDM dengan single tasking tidak lagi diperhitungkan atas nama efisiensi pengeluaran perusahaan. Nyatanya, multitasking memiliki dampak tersendiri pada otak yang pada akhirnya akan membuat seseorang menjadi kurang produktif.

Seorang ahli saraf kognitif dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Earl Keith Miller menyatakan otak manusia pada dasarnya tidak dirancang untuk melakukan multitasking dengan baik. Ketika seseorang berpikir bahwa dia sedang melakukan multitasking, yang sebenarnya terjadi adalah dia hanya berpindah dari satu tugas ke tugas lain dengan sangat cepat.

"Dan setiap kali dia melakukan itu, ada dampak terhadap fungsi kognitif yang akan terjadi," jelas Miller.

Multitasking juga diketahui dapat meningkatkan hormon stres kortisol dan juga hormon adrenalin. Dalam jumlah yang tinggi, hormon-hormon ini bisa menstimulasi otak secara berlebih dan menyebabkan seseorang sulit untuk berpikir jernih.

Tuntutan pekerjaan yang tinggi membuat banyak orang mengalami kurang tidur yang berdampak dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Beberapa di antaranya adalah memperlambat waktu reaksi, memengaruhi kadar gula darah, suasana hati, memicu sakit kepala, gangguan daya ingat dan ketidakseimbangan hormon.

Hasil penelitian terbaru memperingatkan bahwa kurang tidur dapat menyebabkan otak mengecil, karena tidur yang cukup memegang peranan penting bagi kesehatan otak.

Ketika seseorang kurang tidur, kemampuan otaknya untuk memproses informasi hingga daya ingat turut terganggu. Kurang tidur juga dapat menyebabkan seseorang berpikir lebih lambat, sulit berkonsentrasi dan kurang mampu membuat keputusan.

Menjalani kehidupan di zaman modern dengan segala dampak buruk yang mengancam, dapatkah seseorang melarikan diri darinya?

 

Gaya hidup santai

Slow living sesungguhnya bukan berarti bermalas-malasan, melainkan memilih menjadi manusia merdeka yang mampu mengatur kehidupan sendiri tanpa tekanan dari mana pun dan siapa pun. Mengerjakan segala sesuatu tidak dengan terburu-buru, mampu menikmati setiap aktivitas, dan meresapi setiap momen yang dilalui.

Tidak harus menunggu tua atau usia pensiun untuk dapat membebaskan diri dari perbudakan pekerjaan. Tidak perlu (juga) menunggu hingga depresi atau mengalami gejala gila untuk menyadari bahwa setiap individu berhak atas kualitas hidup yang baik, merawat akal sehat, dan tidak terseret dalam kegilaan bersama.

Ada banyak definisi dan konsep slow living yang bertebaran di ruang literasi. Akan tetapi, sesungguhnya setiap orang bebas memaknai dan menjalani sesuai rasa dan gaya masing-masing agar (sekali lagi) bebas dari pola dan pakem yang selama ini telah membelenggu dan mengganggu kebebasan. Namun sekadar sebagai wawasan, berikut adalah beberapa pandangan pakar mengenai slow living.

Menurut Jenelle Kim, DACM., L.A.c., seorang dokter pengobatan Tiongkok, ahli herba, dan penulis Myung Sung: The Korean Art of Living Meditation, slow living adalah pendekatan hidup sadar yang melibatkan hidup lebih lambat sehingga menghargai setiap momen dan memprioritaskan apa yang penting dalam hidup.

Pembimbing spiritual dan praktisi pernapasan, Alyse Bacine, seperti dilansir Byrdie beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa slow living mendorong kita untuk melangkah ke cara berpikir yang baru dan memungkinkan untuk menerima dan mengalami semua aspek yang ditawarkan oleh kehidupan.

Kembali mengutip Jenelle Kim, bahwa komponen penting dari slow living adalah menghilangkan stres dalam hidup Anda. Hal ini pada akhirnya tidak hanya bermanfaat dari segi mentalitas, tetapi juga secara fisik. Anda bisa tidur lebih nyenyak, memperbaiki pencernaan, meningkatkan mood, mengurangi ketegangan otot, dan menurunkan tekanan darah.

Melambatkan laju hidup juga bermanfaat untuk kesejahteraan spiritual. Alyse Bacine berpandangan, menjalani hidup sederhana dan memilih untuk memperhatikan setiap momen membantu seseorang lebih dekat dengan diri sendiri dan tujuan yang hendak digapai. Setelah menerapkan gaya hidup lambat, orang cenderung merasa bersyukur dan menghargai hidup sepenuhnya.

 

Bagaimana mempraktikkannya?

Untuk dapat terbebas dari segala hiruk-pikuk kesibukan pekerjaan, mungkin orang berpikir menjalani slow living harus kabur ke lokasi terpencil atau mengasingkan diri. Tentu tidak perlu seekstrem itu. Pada tahap pemula, bisa dengan mengurangi peran di kantor atau dunia kerja dan dalam waktu bersamaan memperbanyak kegiatan produktif yang menyenangkan di sekitar lingkungan rumah.

Dalam mempersiapkan penerapan gaya hidup santai, sejumlah langkah berikut mungkin dapat diikuti:

1. Intens menabung dan investasi prospektif dari 3-5 tahun sebelumnya. Karena, menjalani gaya hidup santai memerlukan stabilitas dan keamanan finansial agar bisa terlepas dari ketergantungan gaji perusahaan.

2. Menciptakan wahana pribadi untuk berkarya. Jangan menjadikan perusahaan satu-satunya tempat berkarya, ciptakan wahana pribadi secara mandiri supaya kelak tetap merasa berarti karena terus melahirkan karya. Bila karya itu ternyata menghasilkan uang, berarti bonus. Tapi setidaknya dengan tetap berkarya hidup terasa bermakna, menimbulkan kepuasan batin sebagai pemantik rasa bahagia.

3. Membangun rumah mandiri pangan. Salah satu penyebab orang ketergantungan pada gaji mungkin adalah kebutuhan operasional harian rumah tangga. Pangan menjadi komponen penting dan signifikan dalam kebutuhan operasional itu. Dengan membangun rumah mandiri pangan otomatis alasan ketergantungan pada upah perusahaan akan lepas. Membuat kebun sayur-mayur, buah-buahan, kolam ikan dan beternak di sekitar rumah merupakan contoh kecil bagaimana membangun rumah mandiri pangan. Jika kegiatan itu diseriusi untuk skala yang lebih besar tentu akan mendatangkan pemasukan yang mensejahterakan.
 
Bercengkerama dengan alam di air terjun Cibeureum Gunung Gede Pangrango, Sukabumi, Jawa Barat. ANTARA/Sizuka
Hidup sehat

Slow living menawarkan gaya hidup sehat karena seseorang bisa menjalani hidup dengan tenang dan damai. Dampak baiknya, relasi dengan kerabat, keluarga, dan tetangga menguat karena memiliki waktu untuk membangun hubungan yang hangat. Secara spiritual, "hubungan hangat" dengan Tuhan juga dapat diciptakan, selebihnya seseorang jadi pandai bersyukur, mencukupkan diri dengan apa yang dipunyai, tidak perlu iri, dan membandingkan dengan yang orang lain miliki. Dengan gaya hidup santai, kita bisa berekreasi dan bercengkerama dengan alam yang menyegarkan pikiran.

Bila tujuan utama hidup untuk bahagia maka untuk apa mengejar pangkat dan jabatan dengan segala upaya, menumpuk harta benda dengan berbagai cara.

Apalagi bila pada akhirnya semua itu tak mampu menghadirkan kebahagiaan.

Kebahagiaan, bagi manusia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, bisa jadi memang tidak lagi dicari-cari, tetapi melekat dalam laku kesehariannya.
 

Pewarta: Sizuka

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023