Jakarta (Antara Babel) - Sudah lebih dari 50 tahun tragedi 1965 berlalu, namun aromanya masih terasa di bumi pertiwi.

Selama 50 tahun itu pula, luka tragedi yang diperkirakan memakan 500 korban jiwa masih menganga lebar, dibiarkan, tanpa penyelesaian.

Setiap kelompok yang terlibat asik dengan kebenaran  yang mereka pegang sendiri.

Pada 18 April 2016, Simposium Nasional Tragedi 1965 digelar di Jakarta, dihadiri oleh 200 peserta yang terdiri dari akademisi, pegiat dan tokoh hak asasi manusia, korban pelanggaran HAM berat dan organisasi korban, wakil partai politik, pelaku serta wakil dari lembaga-lembaga pemerintah.

Hari pertama pembukaan, terlihat tempat itu dijaga ketat oleh polisi, Menteri Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Kapolri Badrodin Haiti serta Jaksa Agung M. Prasetyo menghadiri pembukaannya.

Gubernur Lemhanas Agus Widjojo yang juga menjadi pengarah acara tersebut mengatakan simposium ini menggunakan pendekatan sejarah.

"Pendekatan ini lebih objektif, dan komprehensif. Jadi kita seperti memutar film mengenai peristiwa 65, kita akan mendengarkan apa yang terjadi sebelum peristiwa dan setelah peristiwa tersebut," kata Agus, Jakarta, Senin.

Menurut dia peristiwa pembantaian besar itu, tidak turun tiba-tiba dari langit, ada sesuatu yang mendasarinya dan dilakukan secara sistemik.

Dia mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang melihat masa lalu dan mengakui kesalahannya.  
   
Simposium tersebut dihadiri 200 orang dari segala kalangan, baik korban, pelaku, aktivis, organisasi masyarakat dan lainnya.

Luhut Pandjaitan mengatakan simposium ini adalah bentuk komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Ada keinginan pemerintah menyelesaikan masalah HAM harus dituntaskan, kami melihat penyelesaian Tragedi 65 ini menjadi pintu masuk menyelesaikan kasus yang lain," kata Luhut.

Pada pembukaan, salah satu orang yang terlibat peristiwa tersebut, Letjen TNI Purnawirawan Sintong Panjaitan mengatakan jumlah korban tidak sampai jutaan jiwa.

Sintong yang mantan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), pada Simposium Nasional 1965 tersebut, mengemukakan, waktu itu Presiden Soekarno membentuk Komisi Pencari Fakta untuk menghitung jumlah korban pembantaian.

"Mayjen Soemarno yang waktu itu sebagai Menteri Dalam Negeri menjadi ketuanya melaporkan korban ada 80 ribu orang, dan angka 500 ribu pertama kali keluar dari Oei Tjoe Tat (pembantu Presiden Soekarno)," kata dia.    
    
Sintong menilai angka-angka itu tidak masuk akal karena RPKAD waktu itu hanya memburu para pemimpin PKI saja.

"Memang benar kami diturunkan ke Jawa Tengah, waktu RPKAD dibantu oleh pemuda Ansor, Muhammadiyah, tetapi kami hanya menangkap para tokohnya saja," kata dia.

Dia mengatakan para tokoh yang ditangkap ada dua kategori yaitu pasif dan aktif. Ia mengaku jika tokoh itu pasif maka mereka akan dilepaskan.  
   
"RPKAD tidak hanya melakukan operasi, tapi RPKAD harus melindungi masyarakat juga, baik PKI atau tidak," kata Sintong.

Peneliti LIPI dan sejarawan Indonesia Asvi Warman Adam mengatakan Sintong tidak salah jika yang menjadi korban di tangan RPKAD tidak sampai ratusan ribu orang, tetapi RPKAD melatih pemuda-pemuda untuk "bersih-bersih" PKI pada waktu itu.

"RPKAD jumlahnya waktu itu sedikit, tetapi mereka juga melatih pemuda-pemuda untuk menumpas PKI, sehingga menurut yang saya ketahui jumlahnya memang sampai 500 ribu orang," kata dia.

Menurut dia tragedi 1965 adalah kasus kekeliruan kebijakan pemerintah yang bisa dituntut di Pengadilan HAM Adhoc.

Hak itu  dilihat dari jangka waktu, tempat, pelaku dan korban yang jelas yakni komando pengasingan sejumlah tokoh ke Pulau Buru dalam rentang tahun 1965 hingga 1975.

Dia juga menawarkan salah satu solusi untuk menyelesaikan kasus ini adalah rehabilitasi, maksud rehabilitasi di sini adalah penyetaraan dengan warga Indonesia lainnya, karena tragedi 1965 termasuk pelanggaran HAM berat, dan orang-orang yang masuk golongan PKI atau diduga PKI telah didiskriminasi.

Siapa yang perlu direhabilitasi?
    
"Soekarno dan korban G30S," kata Asvi.

Merehabilitasi Soekarno tidak cukup hanya menyematkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno tetapi juga membenarkan jejak sejarah peristiwa tersebut, yang selama ini sering dikonstruksi ulang sesuai dengan perspektif pemenang.

Seperti, Tap MPRS No. 33 Tahun 1967 menyatakan Presiden Soekarno ikut membantu gerakan PKI.

"Tidak mungkin Presiden ikut membantu gerakan yang akan menggulingkan dirinya sendiri, rehabilitasi untuk Soekarno tidak hanya memberinya gelar Pahlawan Nasional. tetapi juga meluruskan kembali sejarah yang terjadi pada waktu itu," ucapnya, menegaskan.

Selain itu, para korban juga harus direhabilitasi dengan menghapuskan diskriminasi pada anak turunan orang yang diduga PKI.

Menurut dia pemerintah harus bertanggung jawab meminta maaf kepada para korban.

Ketua Sekber 65 Winarso mengatakan, pemerintah Indonesia tidak perlu meminta maaf mengenai peristiwa tersebut, tetapi pemerintah perlu memenuhi hak-hak para korban.

"Kita tidak perlu memaksakan pemerintah untuk meminta maaf, karena struktur kebudayaan kita berbeda, yang penting mereka bertanggung jawab untuk memenuhi hak korban, seperti pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat pada 1965-1966," ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga perlu merehabilitasi nama baik para korban serta memberikan kompensasi sesuai kemampuan negara.

"Sebenarnya secara tidak langsung pemerintah telah memberikan kompensasi seperti dana kesehatan, hal yang sekecil ini sudah merupakan hal besar bagi korban," kata dia.

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016