Adalah sosiolog UIN Sunan Ampel Surabaya Prof H Masdar Hilmy, PhD yang menyebut akar persoalan dari kontroversi dari Ma'had Al Zaytun justru ada pada sosok pengasuhnya, Syekh Panji Gumilang (PG).
PG terkesan asal-asalan dan tidak argumentatif dalam menyampaikan pokok-pokok pemikirannya, meski PG menegaskan bahwa lembaganya itu tidak anti-Pancasila dan bukan NII, karena Al Zaytun mengajarkan pendidikan Pancasila dan selalu memperingati Hari Lahir Pancasila.
Namun, PG melakukan "pembaruan" agama yang mirip dengan Yusman Roy, Lia Eden, Musadeq, Gafatar, dan sebagainya, yang melakukan perlawanan terhadap ortodoksi keagamaan yang mapan, namun argumentasinya tidak berdasar.
Berbeda dengan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid/mantan Ketua Umum PBNU) dan Prof Dr Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang melakukan "pembaruan" dengan tetap mengacu pada rujukan otoritatif.
Sementara "pembaruan" agama ala PG, mulai dari salam Yahudi, pembauran laki-laki dan perempuan dalam shalat berjamaah, perempuan sebagai khatib shalat Jumat, dan sebagainya, justru menjauhi pakem pemikiran atau mazhab keagamaan dalam sistem ortodoksi keagamaan.
Misalnya, seperti penilaian Lembaga Bahtsul Masail NU (LBMNU) Jawa Barat (15/7/2023) bahwa "shalat berjarak" ala Al Zaytun yang mendasarkan pada QS Al Mujadalah ayat 11 itu sebagai penafsiran yang tidak memenuhi metodologi penafsiran ayat secara ilmiah.
Makna tafassahu dalam ayat itu bukan memerintahkan untuk menjaga jarak dalam barisan shalat, namun merenggangkan tempat untuk mempersilahkan orang lain menempati majelis agar kebagian tempat. Selain itu, hadits shahih juga secara tegas menganjurkan merapatkan barisan shalat.
Hal "nyleneh" lainnya, mazhab Bung Karno ala Panji Gumilang terkait penempatan posisi perempuan dan non-Muslim di antara jamaah shalat yang mayoritas laki-laki. Hal itu menyandarkan argumen fiqih tidak kepada ahli fiqih, namun politisi, yang juga tidak dapat dibenarkan. Ada juga nyanyian "Havenu shalom alachem" yang berlirik Yahudi.
Penodaan agama
Penilaian Prof Masdar Hilmy dan LBMNU Jabar itu agaknya tidak jauh berbeda dengan penilaian mantan Wakil Kepala BIN KH As’ad Said Ali yang menyebut bahwa PG itu sudah lama melakukan "penyimpangan/penodaan" .
Pakar intelijen yang alumni Pesantren Krapyak dan Mustasyar PBNU (2022-2027) itu menyebut PG yang pernah menjadi pegiat Negara Islam Indonesia (NII) KW IX itu tertarik mendalami ajaran Isa Bugis, seorang ustadz asal Aceh, sejak awal tahun 1970-an.
Para pengamat menilai PG melakukan "penyimpangan" akibat terjebak dalam pemahaman Islam berdasarkan pemikiran "sinkretisme'dan eklektisisme" yang cenderung merasionalisasi agama seperti Mu'tazilah. Sinkretisme itu menggabungkan berbagai agama menjadi "ajaran baru", Eklektisisme itu "pendapat baru" dari penggabungan.
Jadi, meskipun menggunakan label "Islam", tetapi "agama" yang diajarkan Al Zaytun secara esensial dianggap oleh masyarakat Islam sekitarnya telah menyimpang dari Islam (sesat), sehingga ditentang masyarakat dan PG akhirnya memindahkan pusat dakwahnya ke Indramayu.
Menurut KH As'ad Said Ali, pemahaman "nyleneh" PG itu tergolong penodaan agama, karena Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi agama, bahkan sila pertama Pancasila berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang bermakna bahwa negara menjunjung tinggi agama yang dianut oleh segenap bangsa Indonesia, karena itu negara menjamin fasilitas peribadatan serta kegiatan sosial keagamaan umat beragama.
Bahkan, KUHP Pasal 156 (a) mengandung ancaman pidana kepada siapa pun yang memusuhi, menyalahgunakan dan menodai agama. Selain itu, Pasal 156 b juga melarang seseorang mengajak orang lain untuk menjadi ateis. Bahkan, larangan ajakan ateis itu sudah ada sejak era Presiden pertama RI Soekarno, berupa UU PNPS Tahun 1965.
Oleh karena itu, mereka yang menolak negara mengurusi agama karena dianggap "urusan individu" (bukan urusan publik) dengan menolak Pasal 156 KUHP itu telah menyamakan demokrasi Pancasila/Indonesia dengan demokrasi Barat (Liberalisme) yang tidak beragama, apalagi melindungi agama.
Di Barat, kebebasan beragama dimaknai bahwa setiap orang boleh beragama atau tidak beragama serta agama dianggap sebagai masalah pribadi. Bahkan, melakukan penodaan suatu agama juga tidak bisa dijerat hukum. Misalnya seseorang dengan sengaja menginjak kitab suci dianggap tidak melanggar hukum.
Padahal, esensi demokrasi adalah liberty (kebebasan), fraternity (persaudaraan), dan equality (persamaan). Esensi itu sama, meski penerapan sistem demokrasi antara satu negara dengan negara lain tidak sama, karena nilai budaya yang berbeda.
Di Eropa Barat (1618 - 1648) pernah terjadi perang agama antara kaum reformis (Protestan) versus kaum status quo (Katolik), sehingga terjadi pemisahan agama dari politik (sekularisme), sedangkan agama berkembang sangat damai di Indonesia, bahkan menjadi bangsa religius.
Penulis Amerika Alfred Stephan pun menyimpulkan bahwa di negara Pancasila berlaku twin tolerantion atau "toleransi kembar", karena negara menoleransi agama dengan melindungi dan mendukung kehidupan beragama, sebaliknya agama (Islam yang mayoritas) tidak memaksakan syariat Islam sebagai hukum formal.
Justru, agamawan mengenalkan trilogi persaudaraan atau ukhuwah, yakni Islamiyah (sesama Islam), wathaniyah (sebangsa), dan insaniyah (sesama manusia). Misalnya, Gus Dur pernah melontarkan "quotes" menarik, yakni "Jangan berhenti pada mencintai agama tapi agamakanlah cinta". Ya, cinta itulah yang menjadi sumber persaudaraan.
Beberapa pandangan tokoh bangsa dan tokoh agama di negeri ini agaknya menjadi argumen telak bahwa Panji Gumilang dengan Al Zaytun-nya itu terbukti melakukan penodaan agama, karena demokrasi Pancasila itu menghormati perbedaan agama, bukan mencampuradukkan agama.
Dengan begitu, PG dan Al Zaytun-nya dapat dijerat dengan sanksi pidana (pasal penodaan agama) yang mungkin saja mengarah pada sanksi administrasi, seperti yang dialami HTI yang dibubarkan negara pada 19 Juli 2017, sehingga episode "penodaan" agama ala PG akan segera berakhir.
Apalagi, Menkopolhukam Mahfud MD saat rapat terbatas dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Jakarta, Kamis (24/6/2023) menyebut tiga sanksi untuk "penodaan" di Al Zaytun, yakni pidana/perdata (PG), administrasi (Al Zaytun), dan tertib sosial-keamanan (santri; Kemenag "selamatkan" santri lewat lembaga pendidikan lain).
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
PG terkesan asal-asalan dan tidak argumentatif dalam menyampaikan pokok-pokok pemikirannya, meski PG menegaskan bahwa lembaganya itu tidak anti-Pancasila dan bukan NII, karena Al Zaytun mengajarkan pendidikan Pancasila dan selalu memperingati Hari Lahir Pancasila.
Namun, PG melakukan "pembaruan" agama yang mirip dengan Yusman Roy, Lia Eden, Musadeq, Gafatar, dan sebagainya, yang melakukan perlawanan terhadap ortodoksi keagamaan yang mapan, namun argumentasinya tidak berdasar.
Berbeda dengan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid/mantan Ketua Umum PBNU) dan Prof Dr Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang melakukan "pembaruan" dengan tetap mengacu pada rujukan otoritatif.
Sementara "pembaruan" agama ala PG, mulai dari salam Yahudi, pembauran laki-laki dan perempuan dalam shalat berjamaah, perempuan sebagai khatib shalat Jumat, dan sebagainya, justru menjauhi pakem pemikiran atau mazhab keagamaan dalam sistem ortodoksi keagamaan.
Misalnya, seperti penilaian Lembaga Bahtsul Masail NU (LBMNU) Jawa Barat (15/7/2023) bahwa "shalat berjarak" ala Al Zaytun yang mendasarkan pada QS Al Mujadalah ayat 11 itu sebagai penafsiran yang tidak memenuhi metodologi penafsiran ayat secara ilmiah.
Makna tafassahu dalam ayat itu bukan memerintahkan untuk menjaga jarak dalam barisan shalat, namun merenggangkan tempat untuk mempersilahkan orang lain menempati majelis agar kebagian tempat. Selain itu, hadits shahih juga secara tegas menganjurkan merapatkan barisan shalat.
Hal "nyleneh" lainnya, mazhab Bung Karno ala Panji Gumilang terkait penempatan posisi perempuan dan non-Muslim di antara jamaah shalat yang mayoritas laki-laki. Hal itu menyandarkan argumen fiqih tidak kepada ahli fiqih, namun politisi, yang juga tidak dapat dibenarkan. Ada juga nyanyian "Havenu shalom alachem" yang berlirik Yahudi.
Penodaan agama
Penilaian Prof Masdar Hilmy dan LBMNU Jabar itu agaknya tidak jauh berbeda dengan penilaian mantan Wakil Kepala BIN KH As’ad Said Ali yang menyebut bahwa PG itu sudah lama melakukan "penyimpangan/penodaan" .
Pakar intelijen yang alumni Pesantren Krapyak dan Mustasyar PBNU (2022-2027) itu menyebut PG yang pernah menjadi pegiat Negara Islam Indonesia (NII) KW IX itu tertarik mendalami ajaran Isa Bugis, seorang ustadz asal Aceh, sejak awal tahun 1970-an.
Para pengamat menilai PG melakukan "penyimpangan" akibat terjebak dalam pemahaman Islam berdasarkan pemikiran "sinkretisme'dan eklektisisme" yang cenderung merasionalisasi agama seperti Mu'tazilah. Sinkretisme itu menggabungkan berbagai agama menjadi "ajaran baru", Eklektisisme itu "pendapat baru" dari penggabungan.
Jadi, meskipun menggunakan label "Islam", tetapi "agama" yang diajarkan Al Zaytun secara esensial dianggap oleh masyarakat Islam sekitarnya telah menyimpang dari Islam (sesat), sehingga ditentang masyarakat dan PG akhirnya memindahkan pusat dakwahnya ke Indramayu.
Menurut KH As'ad Said Ali, pemahaman "nyleneh" PG itu tergolong penodaan agama, karena Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi agama, bahkan sila pertama Pancasila berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang bermakna bahwa negara menjunjung tinggi agama yang dianut oleh segenap bangsa Indonesia, karena itu negara menjamin fasilitas peribadatan serta kegiatan sosial keagamaan umat beragama.
Bahkan, KUHP Pasal 156 (a) mengandung ancaman pidana kepada siapa pun yang memusuhi, menyalahgunakan dan menodai agama. Selain itu, Pasal 156 b juga melarang seseorang mengajak orang lain untuk menjadi ateis. Bahkan, larangan ajakan ateis itu sudah ada sejak era Presiden pertama RI Soekarno, berupa UU PNPS Tahun 1965.
Oleh karena itu, mereka yang menolak negara mengurusi agama karena dianggap "urusan individu" (bukan urusan publik) dengan menolak Pasal 156 KUHP itu telah menyamakan demokrasi Pancasila/Indonesia dengan demokrasi Barat (Liberalisme) yang tidak beragama, apalagi melindungi agama.
Di Barat, kebebasan beragama dimaknai bahwa setiap orang boleh beragama atau tidak beragama serta agama dianggap sebagai masalah pribadi. Bahkan, melakukan penodaan suatu agama juga tidak bisa dijerat hukum. Misalnya seseorang dengan sengaja menginjak kitab suci dianggap tidak melanggar hukum.
Padahal, esensi demokrasi adalah liberty (kebebasan), fraternity (persaudaraan), dan equality (persamaan). Esensi itu sama, meski penerapan sistem demokrasi antara satu negara dengan negara lain tidak sama, karena nilai budaya yang berbeda.
Di Eropa Barat (1618 - 1648) pernah terjadi perang agama antara kaum reformis (Protestan) versus kaum status quo (Katolik), sehingga terjadi pemisahan agama dari politik (sekularisme), sedangkan agama berkembang sangat damai di Indonesia, bahkan menjadi bangsa religius.
Penulis Amerika Alfred Stephan pun menyimpulkan bahwa di negara Pancasila berlaku twin tolerantion atau "toleransi kembar", karena negara menoleransi agama dengan melindungi dan mendukung kehidupan beragama, sebaliknya agama (Islam yang mayoritas) tidak memaksakan syariat Islam sebagai hukum formal.
Justru, agamawan mengenalkan trilogi persaudaraan atau ukhuwah, yakni Islamiyah (sesama Islam), wathaniyah (sebangsa), dan insaniyah (sesama manusia). Misalnya, Gus Dur pernah melontarkan "quotes" menarik, yakni "Jangan berhenti pada mencintai agama tapi agamakanlah cinta". Ya, cinta itulah yang menjadi sumber persaudaraan.
Beberapa pandangan tokoh bangsa dan tokoh agama di negeri ini agaknya menjadi argumen telak bahwa Panji Gumilang dengan Al Zaytun-nya itu terbukti melakukan penodaan agama, karena demokrasi Pancasila itu menghormati perbedaan agama, bukan mencampuradukkan agama.
Dengan begitu, PG dan Al Zaytun-nya dapat dijerat dengan sanksi pidana (pasal penodaan agama) yang mungkin saja mengarah pada sanksi administrasi, seperti yang dialami HTI yang dibubarkan negara pada 19 Juli 2017, sehingga episode "penodaan" agama ala PG akan segera berakhir.
Apalagi, Menkopolhukam Mahfud MD saat rapat terbatas dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Jakarta, Kamis (24/6/2023) menyebut tiga sanksi untuk "penodaan" di Al Zaytun, yakni pidana/perdata (PG), administrasi (Al Zaytun), dan tertib sosial-keamanan (santri; Kemenag "selamatkan" santri lewat lembaga pendidikan lain).
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023