Ketua HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Volker Turk saat dialog interaktif yang diselenggarakan Dewan HAM di Jenewa pada Selasa (12/9) memperingatkan bahwa hak asasi manusia di Afghanistan "dalam kondisi kolaps".
Kegagalan hak asasi tersebut "sangat berdampak" pada kehidupan jutaan perempuan, laki-laki, anak perempuan serta anak laki-laki, katanya.
Kendati pelanggaran HAM di negara tersebut bukan hal yang baru, Turk mengatakan bahwa dinamika yang diterapkan Taliban semenjak mengambil alih kekuasaan dua tahun lalu yang secara khusus menargetkan perempuan dan anak perempuan, serta meminggirkan mereka di sebagian besar aspek publik dan kehidupan sehari-hari.
Afghanistan jatuh ke dalam krisis kemanusiaan dan finansial yang serius, dengan dua pertiga dari populasi mereka kini membutuhkan bantuan, katanya.
Turk menekankan bahwa Afghanistan membuat preseden buruk dengan menjadi negara satu-satunya di dunia di mana perempuan dan anak perempuan dilarang mengenyam sekolah menengah dan bangku kuliah.
"Selama dua tahun terakhir telah terjadi erosi sistematis pada hukum dan institusi yang pernah memberikan perlindungan HAM. Hukum tersebut kini dibuat melalui dekret ketimbang proses konsultatif. Hukum perlindungan perempuan dari kekerasan dan pembentukan lingkungan yang mendukung untuk media telah ditangguhkan," kata dia.
"Komisi HAM Independen Afghanistan tidak ada lagi. Hukuman fisik dan eksekusi publik kembali terjadi dan masih terdapat laporan pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang. Ini semua diperparah dengan kurangnya pertanggungjawaban dari pelaku pelanggaran HAM," ungkapnya.
Turk mendesak komunitas internasional untuk tidak meninggalkan rakyat Afghanistan, serta menggarisbawahi bahwa negara tersebut menghadapi krisis HAM di urutan teratas.
Dia mengajak negara-negara untuk proaktif membantu mengatasi tantangan yang dihadapi Afghanistan.
Turk juga meminta wewenang de facto untuk secara fundamental dapat mengembalikan Afganistan ke tatanan internasional dengan menghormati kewajiban HAM internasional secara penuh.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
Kegagalan hak asasi tersebut "sangat berdampak" pada kehidupan jutaan perempuan, laki-laki, anak perempuan serta anak laki-laki, katanya.
Kendati pelanggaran HAM di negara tersebut bukan hal yang baru, Turk mengatakan bahwa dinamika yang diterapkan Taliban semenjak mengambil alih kekuasaan dua tahun lalu yang secara khusus menargetkan perempuan dan anak perempuan, serta meminggirkan mereka di sebagian besar aspek publik dan kehidupan sehari-hari.
Afghanistan jatuh ke dalam krisis kemanusiaan dan finansial yang serius, dengan dua pertiga dari populasi mereka kini membutuhkan bantuan, katanya.
Turk menekankan bahwa Afghanistan membuat preseden buruk dengan menjadi negara satu-satunya di dunia di mana perempuan dan anak perempuan dilarang mengenyam sekolah menengah dan bangku kuliah.
"Selama dua tahun terakhir telah terjadi erosi sistematis pada hukum dan institusi yang pernah memberikan perlindungan HAM. Hukum tersebut kini dibuat melalui dekret ketimbang proses konsultatif. Hukum perlindungan perempuan dari kekerasan dan pembentukan lingkungan yang mendukung untuk media telah ditangguhkan," kata dia.
"Komisi HAM Independen Afghanistan tidak ada lagi. Hukuman fisik dan eksekusi publik kembali terjadi dan masih terdapat laporan pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang. Ini semua diperparah dengan kurangnya pertanggungjawaban dari pelaku pelanggaran HAM," ungkapnya.
Turk mendesak komunitas internasional untuk tidak meninggalkan rakyat Afghanistan, serta menggarisbawahi bahwa negara tersebut menghadapi krisis HAM di urutan teratas.
Dia mengajak negara-negara untuk proaktif membantu mengatasi tantangan yang dihadapi Afghanistan.
Turk juga meminta wewenang de facto untuk secara fundamental dapat mengembalikan Afganistan ke tatanan internasional dengan menghormati kewajiban HAM internasional secara penuh.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023