Gemertak tuas gerigi dari arloji yang menunjukkan pukul 18.53 WIB, nyaris terdengar jelas di dalam balairung sunyi dengan suasana remang temaram nan menyelimuti seratusan kepala. Beberapa orang yang duduk tenang di barisan terdepan, sesekali terlihat menajamkan mata, mencermati sumber cahaya yang berpendar di hadapan mereka.
Pendaran cahaya itu jatuh di setiap lekuk panggung yang dipadati beraneka ragam alat musik: deret biola lengkap dengan bow, flute berwarna keperakan, sebuah double bass, dan satu set drum sederhana. Di belakang deret alat musik tersebut, berjejer rapi 20 kursi yang nantinya akan ditempati para anggota paduan suara.
Beberapa meter menjorok ke bagian belakang dari deret kursi paduan suara, terdapat sebuah layar digital persegi berukuran sekitar 10 kali 5 meter. Layar itu menampilkan foto seorang lelaki berkacamata, berpakaian jas lengkap, serta berkopiah hitam dengan latar belakang berwarna merah menyala.
Warna merah menyala yang memberikan makna keberanian itu seolah berkelindan dengan nuansa remang di dalam ruangan yang penuh khidmat. Masih dalam kesunyian yang ditingkahi kertak suara alat komunikasi nirkabel protofon, sekitar selusin musikus segera mengambil tempat di atas panggung dan mempersiapkan alat musik yang menjadi senjata mereka malam itu. Sejurus kemudian, seorang lelaki pewara muncul ke titik lampu sorot yang telah ditentukan di bagian sudut kiri bibir panggung.
"Selamat malam Bapak dan Ibu. Selamat datang dalam konser perdana peluncuran album lagu-lagu Wage Rudolf Soepratman bersama Antea Putri Turk," buka sang pewara yang berbalas tepukan tangan dari audiens.
Wage Rudolf (WR) Soepratman dan Antea Putri Turk adalah dua nama yang memiliki garis hubungan kekeluargaan. Nama pertama dikenal sebagai seorang komposer, penyair, penulis, wartawan, sekaligus pahlawan nasional Indonesia yang masyhur karena menjadi sosok di balik lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dan banyak karya patriotik lainnya.
Sedangkan nama kedua adalah seorang gadis berusia 14 tahun dan merupakan salah seorang cicit buyut dari Ngadini Soepratini yang tak lain adalah kakak kandung WR Soepratman.
Pada malam nan syahdu itu, semangat WR Soepratman hadir menemani Antea Putri Turk yang menggelorakan jiwa patriotisme kala mengumandangkan lagu-lagu dan notasi indah dalam balutan musik orkestrasi plus paduan suara. Konser itu digelar bertepatan dengan perayaan Hari Pahlawan 10 November 2023 di Ruang Soesilo Soedarman Gedung Sapta Pesona, Jakarta.
Maka, begitu naik ke atas panggung, Antea langsung menghunjamkan semangat kebangsaan lewat ekspresi begitu menggebu kepada para audiens lewat lagu "Indonesia Raya" – sebuah tikaman tak menyakitkan dan mematikan, justru membangkitkan gairah pada kehidupan berkebangsaan. "Indonesia, tanah yang suci, tanah kita yang sakti.
Di sanalah aku berdiri, jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri, tanah yang aku sayangi.
Marilah kita berjanji, Indonesia abadi.
S'lamatlah rakyatnya, s’lamatlah putranya.
Pulaunya, lautnya, semuanya.
Slamatlah Neg'rinya, slamatlah pandunya.
Untuk Indonesia Raya."
Usai membawakan lagu "Indonesia Raya" versi asli 3 stanza berdurasi 4 menit 7 detik yang diciptakan pada tahun 1924, Antea yang mampu memainkan piano, flute, ukulele, dan gitar itu kemudian menghadirkan lagu "Dari Barat Sampai ke Timur". Lagu berdurasi dua menit itu lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai lagu "Dari Sabang Sampai Merauke".
Tampil mengenakan gaun merah yang dipadukan dengan kain bermotif batik, Antea yang mulai bermain musik pada usia 5 tahun kemudian hangat menyapa para audiens.
"Halo, assalamualaikum. Saya mengucapkan terima kasih banyak untuk semua yang sudah menghadiri konser malam ini. Dan juga yang saya hormati guru saya Ibu Aning Katamsi untuk bantu mempelajari 12 lagu konser ini. Selamat mendengarkan dan menyaksikan konser malam ini," sapa Antea dengan wajah tersipu-sipu dan senyum merekah.
Antea Putri Turk yang menjadi sorot utama pada gelaran malam itu secara apik mengumandangkan deret karya komposer kebanggaan Tanah Air WR Soepratman seperti "Ibu Kita Kartini", "Di Timur Matahari", "Pahlawan Merdeka", "Matahari Terbit" – sebuah lagu yang membuat WR Soepratman dijebloskan ke penjara Kalisosok Surabaya, dan kombinasi lagu perjuangan partai "Mars Parindra" - "Mars Kepanduan Bangsa Indonesia" - "Mars Surya Wirawan". Putri pasangan Dario Turk dan Endang Wahyuningsih Josoprawiro itu menutup malam penuh semangat patriotik lewat lagu "Selamat Tinggal" yang menjadi karya pamungkas WR Soepratman sebelum pahlawan nasional yang lahir di Jatinegara, 9 Maret 1903 itu dipanggil Yang Maha Kuasa.
Lagu dengan nada dasar E minor tersebut terbukti mampu menghipnotis dan memberikan kesan mendalam bagi para penonton yang hadir, salah satunya Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno.
"Saya tadi benar-benar tersentuh dengan lagu terakhir, kalau tidak salah judulnya 'Selamat Tinggal'. Itu bagus sekali, lagu yang memiliki lirik mendalam dan menandakan kehebatan sosok WR Soepratman," kata Sandiaga usai konser.
Menparekraf Sandiaga menyambut baik upaya pelestarian lagu-lagu WR Soepratman lewat konser Antea Putri Turk untuk memberikan inspirasi semangat kepahlawanan bagi generasi muda saat ini. Menurut dia, konser yang diinisiasi oleh Yayasan WR Soepratman itu merupakan pencapaian luar biasa istimewa pada peringatan Hari Pahlawan kali ini.
Lebih lanjut, Menteri Sandiaga mengungkapkan bahwa pihaknya akan terus mendorong karya-karya generasi muda sekaligus berharap mereka dapat mengambil inspirasi dari sosok WR Soepratman yang berjuang untuk negeri melalui lagu-lagu patriotik dan melodi indah.
"Selain lagu Indonesia Raya versi asli 3 stanza, masih ada 14 lagu ciptaan WR Soepratman lainnya yang sangat patriotik dan indah. Saya sangat berharap agar generasi muda terinspirasi semangat kepahlawanan seorang WR Soepratman. Semoga kita mendapatkan inspirasi," papar Sandiaga.
Menyatukan kepingan kisah
Pada pergelaran "Peluncuran Album Lagu-lagu WR Soepratman" malam itu, Antea Putri Turk mendapatkan mandat untuk membawakan sebanyak lagu 12 buah peninggalan WR Soepratman, termasuk dua buah karya istimewa bertajuk "Indonesia Hai Iboekoe" dan "Indonesia Tjantik". Kedua karya tersebut mengacu pada deret syair dan lirik milik WR Soepratman dengan melodi ciptaan Antea sendiri.
Tanpa melalui proses berliku, Antea menciptakan melodi lagu “Indonesia Hai Iboekoe” yang berdurasi total sekitar 1 menit 50 detik pukul 10 malam pada 4 April 2023 silam. Adapun melodi lagu “Indonesia Tjantik” dengan nada dasar B flat, diciptakan Antea dengan mengacu pada lagu-lagu bernuansa keroncong era 1920-an.
Salah satu metode yang diterapkan oleh Antea dalam proses menciptakan melodi berbekal lirik WR Soepratman adalah dengan memandangi lekat-lekat sebuah poster besar bergambar sosok sang legenda di studio musik rumahnya. Dengan cara semacam itu, Antea mencoba membayangkan seperti apa jenis musik yang memengaruhi pemikiran seorang WR Soepratman. Selain menulis kembali lagu “Indonesia Hai Iboekoe” dan “Indonesia Tjantik”, Antea bersama Yayasan WR Soepratman juga berupaya mengenalkan kembali melodi asli lagu “Matahari Terbit” yang baru saja ditemukan dari buku koleksi keluarga.
“Melodi lagu itu ditulis oleh beliau, saya mendengarnya merasa seperti lagu Disney, lebih klasik. Lagu itu ditulis dalam bentuk not balok dan notasi bernomor. Lalu saya coba mainkan di piano agar tahu seperti apa nadanya. Ternyata, melodinya beda banget dari lagu yang asli yang selama ini semua orang tahu,” kata Antea dengan gaya berbahasa Indonesia yang sedikit kaku namun terbilang lancar.
Upaya mencari dan menggali kembali karya sang maestro yang diperkirakan berjumlah 15 lagu, bukannya tanpa aral. Sejak lima tahun lalu, pihak Yayasan WR Soepratman berupaya keras untuk menyatukan kepingan karya sang legenda yang terserak, tidak hanya di dalam negeri bahkan hingga ke Negeri Kincir Belanda.
Usaha tersebut semakin intensif dilakukan setahun belakangan ini, hingga akhirnya sebanyak 12 karya sang komposer berhasil terkumpul. Salah satunya adalah narasi panjang “Indonesia Tjantik” yang menjadi lagu berdurasi sekitar 4 menit.
“Kami coba meminta bantuan Kedutaan Besar RI di Belanda dan dua mahasiswa Indonesia yang sekarang belajar di Leiden untuk mencari lagu dan peninggalan lain WR Soepratman, namun tidak berhasil. Akhirnya, kami mencari dari buku dan koran-koran lama,” ujar Ketua Harian Yayasan WR Soepratman Dario Turk yang tak lain adalah ayah Antea.
Dario mengatakan bahwa sejak kali pertama datang ke Jakarta pada tahun 1987, dirinya melihat bahwa banyak hal yang telah mengubah kota tersebut. Dia merasa optimistis bahwa gelaran musik kali ini dapat membuat sosok WR Soepratman lebih dekat dengan masyarakat Indonesia.
“Tahun 1987 hanya ada sedikit mobil, banyak becak, Bajaj, dan bemo di Jakarta. Saya jadi dokter pertama yang jadi spesialis di bidang apa pun di Indonesia dan membuka jalan waktu itu. Semoga dengan konser kali ini, kami juga bisa membuka jalan untuk Yayasan WR Soepratman dan ahli waris agar masyarakat Indonesia lebih kenal dengan pahlawan yang terlupakan,” tegas dia. Upaya pelurusan sejarah
Tidak hanya menghadirkan lantunan lagu-lagu karya WR Soepratman nan patriotik, perhelatan konser perdana Antea Putri Turk kali ini juga menjadi momentum tepat untuk meluruskan kembali sejarah yang bertalian dengan riwayat kehidupan sang pahlawan nasional.
“Sebanyak 90 persen informasi yang beredar di internet mengenai beliau adalah salah. Tempat lahirnya salah, sudah kami betulkan. Selain itu di Jakarta, tidak ada satu pun nama jalan, taman, atau patung WR Soepratman. Ini sedih sekali, kami bilang beliau adalah pahlawan yang terlupakan,” beber Dario Turk.
Pihak Yayasan WR Soepratman telah melakukan riset bersama beberapa pihak dan memiliki catatan hidup komposer itu yang ternyata lahir di Jatinegara Jakarta Timur pada 9 Maret 1903. Adapun salah satu informasi yang beredar luas selama ini mencatat bahwa WR Soepratman lahir pada 19 Maret 1903 di Purworejo, Jawa Tengah.
Dario Turk melanjutkan bahwa sebagai sosok yang paling dekat dengan masyarakat, sudah sepantasnya WR Soepratman sebagai penulis dan pencipta lagu kebangsaan mendapatkan pengakuan yang semestinya dari semua pihak.
“Ketika lagu ‘Indonesia Raya’ dinyanyikan, semua rakyat berdiri dan lagu itu menumbuhkan rasa kebangsaan yang begitu besar,” tegas Dario. Apa yang menjadi harapan Dario Turk dan Yayasan WR Soepratman, juga diamini oleh seniman legendaris kebanggaan Tanah Air Titiek Puspa. Titiek yang hadir dalam gelaran musik tersebut mengungkapkan penghormatan tertingginya terhadap sosok WR Soepratman yang berjuang pada zaman ketika proses membuat lagu dianggap sebagai hal sepele.
"Pada masa itu, orang yang bisa bikin lagu itu kalau nggak orang gila, keturunan dewa, atau temannya setan. Jadi, saya kalau mendengar lagu 'Indonesia Raya', badan dan semua darah saya seperti mendidih. Begitulah, apa yang beliau tulis dapat memengaruhi jiwa raga lahir batin saya," tutur Titiek.
Seniman berusia 86 tahun itu bahkan mengaku bahwa dirinya sempat merasakan “kehadiran” sosok sang komposer ketika kali pertama menikmati sajian konser perdana peluncuran karya lagu WR Soepratman.
"Hormat saya kepada terhormat, terhebat, termulia Bapak Wage Rudolf Soepratman. Saya tadi seperti 'dibelai' beliau karena saya bicara dalam hati bahwa saya bangga kepada dia. Saya merasa seperti dipeluk. Bapak 'datang', saya bangga sekali, dan itu mungkin perasaan saya sendiri," ujar Titiek Puspa dengan suara tertahan.
Perempuan penyanyi bernama asli Sudarwati itu berharap langkah yang telah dirintis oleh Yayasan WR Soepratman untuk menggali kembali sekaligus mendekatkan karya-karya sang legenda kepada masyarakat akan mendapatkan hasil nan sepadan.
"Terima kasih kepada seluruh keluarga yang telah mau berbuat sesuatu sehingga lagu-lagu yang terserak dapat dikumpulkan lagi. Mudah-mudahan itu semua nanti bisa menjadi lagu kebanggaan kita semua. Tuhan selalu memberkahi, sembahlah Yang di Atas, peluklah yang di bawah," tutup Titiek. Ketika lampu demi lampu di dalam balairung kembali dinyalakan usai dua jam pertunjukan, suasana penuh haru berbalut kebanggaan mewarnai beragam bentuk percakapan. Beberapa kali terlihat sosok Titiek Puspa, Addie MS, Sandiaga Uno, dan keluarga ahli waris WR Soepratman saling berpelukan dan melepaskan senyum di antara desak para audiens yang menyemut di dekat panggung.
Antea Putri Turk yang telah berganti gaya berpakaian dengan mengenakan gaun terusan berwarna hitam dan menyambut setiap uluran tangan dari penonton, juga tak kuasa menahan rasa haru, bangga, sekaligus lega karena dirinya bisa memberikan penampilan terbaik pada malam itu.
Sebuah penampilan yang menurut Antea mungkin tidak akan pernah terlupakan sepanjang kehidupan dan membuatnya menjadi amat bangga memeluk nama besar WR Soepratman.
Pun mungkin demikian halnya dengan sang maestro yang tengah tersenyum di alam keabadian.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
Pendaran cahaya itu jatuh di setiap lekuk panggung yang dipadati beraneka ragam alat musik: deret biola lengkap dengan bow, flute berwarna keperakan, sebuah double bass, dan satu set drum sederhana. Di belakang deret alat musik tersebut, berjejer rapi 20 kursi yang nantinya akan ditempati para anggota paduan suara.
Beberapa meter menjorok ke bagian belakang dari deret kursi paduan suara, terdapat sebuah layar digital persegi berukuran sekitar 10 kali 5 meter. Layar itu menampilkan foto seorang lelaki berkacamata, berpakaian jas lengkap, serta berkopiah hitam dengan latar belakang berwarna merah menyala.
Warna merah menyala yang memberikan makna keberanian itu seolah berkelindan dengan nuansa remang di dalam ruangan yang penuh khidmat. Masih dalam kesunyian yang ditingkahi kertak suara alat komunikasi nirkabel protofon, sekitar selusin musikus segera mengambil tempat di atas panggung dan mempersiapkan alat musik yang menjadi senjata mereka malam itu. Sejurus kemudian, seorang lelaki pewara muncul ke titik lampu sorot yang telah ditentukan di bagian sudut kiri bibir panggung.
"Selamat malam Bapak dan Ibu. Selamat datang dalam konser perdana peluncuran album lagu-lagu Wage Rudolf Soepratman bersama Antea Putri Turk," buka sang pewara yang berbalas tepukan tangan dari audiens.
Wage Rudolf (WR) Soepratman dan Antea Putri Turk adalah dua nama yang memiliki garis hubungan kekeluargaan. Nama pertama dikenal sebagai seorang komposer, penyair, penulis, wartawan, sekaligus pahlawan nasional Indonesia yang masyhur karena menjadi sosok di balik lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dan banyak karya patriotik lainnya.
Sedangkan nama kedua adalah seorang gadis berusia 14 tahun dan merupakan salah seorang cicit buyut dari Ngadini Soepratini yang tak lain adalah kakak kandung WR Soepratman.
Pada malam nan syahdu itu, semangat WR Soepratman hadir menemani Antea Putri Turk yang menggelorakan jiwa patriotisme kala mengumandangkan lagu-lagu dan notasi indah dalam balutan musik orkestrasi plus paduan suara. Konser itu digelar bertepatan dengan perayaan Hari Pahlawan 10 November 2023 di Ruang Soesilo Soedarman Gedung Sapta Pesona, Jakarta.
Maka, begitu naik ke atas panggung, Antea langsung menghunjamkan semangat kebangsaan lewat ekspresi begitu menggebu kepada para audiens lewat lagu "Indonesia Raya" – sebuah tikaman tak menyakitkan dan mematikan, justru membangkitkan gairah pada kehidupan berkebangsaan. "Indonesia, tanah yang suci, tanah kita yang sakti.
Di sanalah aku berdiri, jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri, tanah yang aku sayangi.
Marilah kita berjanji, Indonesia abadi.
S'lamatlah rakyatnya, s’lamatlah putranya.
Pulaunya, lautnya, semuanya.
Slamatlah Neg'rinya, slamatlah pandunya.
Untuk Indonesia Raya."
Usai membawakan lagu "Indonesia Raya" versi asli 3 stanza berdurasi 4 menit 7 detik yang diciptakan pada tahun 1924, Antea yang mampu memainkan piano, flute, ukulele, dan gitar itu kemudian menghadirkan lagu "Dari Barat Sampai ke Timur". Lagu berdurasi dua menit itu lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai lagu "Dari Sabang Sampai Merauke".
Tampil mengenakan gaun merah yang dipadukan dengan kain bermotif batik, Antea yang mulai bermain musik pada usia 5 tahun kemudian hangat menyapa para audiens.
"Halo, assalamualaikum. Saya mengucapkan terima kasih banyak untuk semua yang sudah menghadiri konser malam ini. Dan juga yang saya hormati guru saya Ibu Aning Katamsi untuk bantu mempelajari 12 lagu konser ini. Selamat mendengarkan dan menyaksikan konser malam ini," sapa Antea dengan wajah tersipu-sipu dan senyum merekah.
Antea Putri Turk yang menjadi sorot utama pada gelaran malam itu secara apik mengumandangkan deret karya komposer kebanggaan Tanah Air WR Soepratman seperti "Ibu Kita Kartini", "Di Timur Matahari", "Pahlawan Merdeka", "Matahari Terbit" – sebuah lagu yang membuat WR Soepratman dijebloskan ke penjara Kalisosok Surabaya, dan kombinasi lagu perjuangan partai "Mars Parindra" - "Mars Kepanduan Bangsa Indonesia" - "Mars Surya Wirawan". Putri pasangan Dario Turk dan Endang Wahyuningsih Josoprawiro itu menutup malam penuh semangat patriotik lewat lagu "Selamat Tinggal" yang menjadi karya pamungkas WR Soepratman sebelum pahlawan nasional yang lahir di Jatinegara, 9 Maret 1903 itu dipanggil Yang Maha Kuasa.
Lagu dengan nada dasar E minor tersebut terbukti mampu menghipnotis dan memberikan kesan mendalam bagi para penonton yang hadir, salah satunya Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno.
"Saya tadi benar-benar tersentuh dengan lagu terakhir, kalau tidak salah judulnya 'Selamat Tinggal'. Itu bagus sekali, lagu yang memiliki lirik mendalam dan menandakan kehebatan sosok WR Soepratman," kata Sandiaga usai konser.
Menparekraf Sandiaga menyambut baik upaya pelestarian lagu-lagu WR Soepratman lewat konser Antea Putri Turk untuk memberikan inspirasi semangat kepahlawanan bagi generasi muda saat ini. Menurut dia, konser yang diinisiasi oleh Yayasan WR Soepratman itu merupakan pencapaian luar biasa istimewa pada peringatan Hari Pahlawan kali ini.
Lebih lanjut, Menteri Sandiaga mengungkapkan bahwa pihaknya akan terus mendorong karya-karya generasi muda sekaligus berharap mereka dapat mengambil inspirasi dari sosok WR Soepratman yang berjuang untuk negeri melalui lagu-lagu patriotik dan melodi indah.
"Selain lagu Indonesia Raya versi asli 3 stanza, masih ada 14 lagu ciptaan WR Soepratman lainnya yang sangat patriotik dan indah. Saya sangat berharap agar generasi muda terinspirasi semangat kepahlawanan seorang WR Soepratman. Semoga kita mendapatkan inspirasi," papar Sandiaga.
Menyatukan kepingan kisah
Pada pergelaran "Peluncuran Album Lagu-lagu WR Soepratman" malam itu, Antea Putri Turk mendapatkan mandat untuk membawakan sebanyak lagu 12 buah peninggalan WR Soepratman, termasuk dua buah karya istimewa bertajuk "Indonesia Hai Iboekoe" dan "Indonesia Tjantik". Kedua karya tersebut mengacu pada deret syair dan lirik milik WR Soepratman dengan melodi ciptaan Antea sendiri.
Tanpa melalui proses berliku, Antea menciptakan melodi lagu “Indonesia Hai Iboekoe” yang berdurasi total sekitar 1 menit 50 detik pukul 10 malam pada 4 April 2023 silam. Adapun melodi lagu “Indonesia Tjantik” dengan nada dasar B flat, diciptakan Antea dengan mengacu pada lagu-lagu bernuansa keroncong era 1920-an.
Salah satu metode yang diterapkan oleh Antea dalam proses menciptakan melodi berbekal lirik WR Soepratman adalah dengan memandangi lekat-lekat sebuah poster besar bergambar sosok sang legenda di studio musik rumahnya. Dengan cara semacam itu, Antea mencoba membayangkan seperti apa jenis musik yang memengaruhi pemikiran seorang WR Soepratman. Selain menulis kembali lagu “Indonesia Hai Iboekoe” dan “Indonesia Tjantik”, Antea bersama Yayasan WR Soepratman juga berupaya mengenalkan kembali melodi asli lagu “Matahari Terbit” yang baru saja ditemukan dari buku koleksi keluarga.
“Melodi lagu itu ditulis oleh beliau, saya mendengarnya merasa seperti lagu Disney, lebih klasik. Lagu itu ditulis dalam bentuk not balok dan notasi bernomor. Lalu saya coba mainkan di piano agar tahu seperti apa nadanya. Ternyata, melodinya beda banget dari lagu yang asli yang selama ini semua orang tahu,” kata Antea dengan gaya berbahasa Indonesia yang sedikit kaku namun terbilang lancar.
Upaya mencari dan menggali kembali karya sang maestro yang diperkirakan berjumlah 15 lagu, bukannya tanpa aral. Sejak lima tahun lalu, pihak Yayasan WR Soepratman berupaya keras untuk menyatukan kepingan karya sang legenda yang terserak, tidak hanya di dalam negeri bahkan hingga ke Negeri Kincir Belanda.
Usaha tersebut semakin intensif dilakukan setahun belakangan ini, hingga akhirnya sebanyak 12 karya sang komposer berhasil terkumpul. Salah satunya adalah narasi panjang “Indonesia Tjantik” yang menjadi lagu berdurasi sekitar 4 menit.
“Kami coba meminta bantuan Kedutaan Besar RI di Belanda dan dua mahasiswa Indonesia yang sekarang belajar di Leiden untuk mencari lagu dan peninggalan lain WR Soepratman, namun tidak berhasil. Akhirnya, kami mencari dari buku dan koran-koran lama,” ujar Ketua Harian Yayasan WR Soepratman Dario Turk yang tak lain adalah ayah Antea.
Dario mengatakan bahwa sejak kali pertama datang ke Jakarta pada tahun 1987, dirinya melihat bahwa banyak hal yang telah mengubah kota tersebut. Dia merasa optimistis bahwa gelaran musik kali ini dapat membuat sosok WR Soepratman lebih dekat dengan masyarakat Indonesia.
“Tahun 1987 hanya ada sedikit mobil, banyak becak, Bajaj, dan bemo di Jakarta. Saya jadi dokter pertama yang jadi spesialis di bidang apa pun di Indonesia dan membuka jalan waktu itu. Semoga dengan konser kali ini, kami juga bisa membuka jalan untuk Yayasan WR Soepratman dan ahli waris agar masyarakat Indonesia lebih kenal dengan pahlawan yang terlupakan,” tegas dia. Upaya pelurusan sejarah
Tidak hanya menghadirkan lantunan lagu-lagu karya WR Soepratman nan patriotik, perhelatan konser perdana Antea Putri Turk kali ini juga menjadi momentum tepat untuk meluruskan kembali sejarah yang bertalian dengan riwayat kehidupan sang pahlawan nasional.
“Sebanyak 90 persen informasi yang beredar di internet mengenai beliau adalah salah. Tempat lahirnya salah, sudah kami betulkan. Selain itu di Jakarta, tidak ada satu pun nama jalan, taman, atau patung WR Soepratman. Ini sedih sekali, kami bilang beliau adalah pahlawan yang terlupakan,” beber Dario Turk.
Pihak Yayasan WR Soepratman telah melakukan riset bersama beberapa pihak dan memiliki catatan hidup komposer itu yang ternyata lahir di Jatinegara Jakarta Timur pada 9 Maret 1903. Adapun salah satu informasi yang beredar luas selama ini mencatat bahwa WR Soepratman lahir pada 19 Maret 1903 di Purworejo, Jawa Tengah.
Dario Turk melanjutkan bahwa sebagai sosok yang paling dekat dengan masyarakat, sudah sepantasnya WR Soepratman sebagai penulis dan pencipta lagu kebangsaan mendapatkan pengakuan yang semestinya dari semua pihak.
“Ketika lagu ‘Indonesia Raya’ dinyanyikan, semua rakyat berdiri dan lagu itu menumbuhkan rasa kebangsaan yang begitu besar,” tegas Dario. Apa yang menjadi harapan Dario Turk dan Yayasan WR Soepratman, juga diamini oleh seniman legendaris kebanggaan Tanah Air Titiek Puspa. Titiek yang hadir dalam gelaran musik tersebut mengungkapkan penghormatan tertingginya terhadap sosok WR Soepratman yang berjuang pada zaman ketika proses membuat lagu dianggap sebagai hal sepele.
"Pada masa itu, orang yang bisa bikin lagu itu kalau nggak orang gila, keturunan dewa, atau temannya setan. Jadi, saya kalau mendengar lagu 'Indonesia Raya', badan dan semua darah saya seperti mendidih. Begitulah, apa yang beliau tulis dapat memengaruhi jiwa raga lahir batin saya," tutur Titiek.
Seniman berusia 86 tahun itu bahkan mengaku bahwa dirinya sempat merasakan “kehadiran” sosok sang komposer ketika kali pertama menikmati sajian konser perdana peluncuran karya lagu WR Soepratman.
"Hormat saya kepada terhormat, terhebat, termulia Bapak Wage Rudolf Soepratman. Saya tadi seperti 'dibelai' beliau karena saya bicara dalam hati bahwa saya bangga kepada dia. Saya merasa seperti dipeluk. Bapak 'datang', saya bangga sekali, dan itu mungkin perasaan saya sendiri," ujar Titiek Puspa dengan suara tertahan.
Perempuan penyanyi bernama asli Sudarwati itu berharap langkah yang telah dirintis oleh Yayasan WR Soepratman untuk menggali kembali sekaligus mendekatkan karya-karya sang legenda kepada masyarakat akan mendapatkan hasil nan sepadan.
"Terima kasih kepada seluruh keluarga yang telah mau berbuat sesuatu sehingga lagu-lagu yang terserak dapat dikumpulkan lagi. Mudah-mudahan itu semua nanti bisa menjadi lagu kebanggaan kita semua. Tuhan selalu memberkahi, sembahlah Yang di Atas, peluklah yang di bawah," tutup Titiek. Ketika lampu demi lampu di dalam balairung kembali dinyalakan usai dua jam pertunjukan, suasana penuh haru berbalut kebanggaan mewarnai beragam bentuk percakapan. Beberapa kali terlihat sosok Titiek Puspa, Addie MS, Sandiaga Uno, dan keluarga ahli waris WR Soepratman saling berpelukan dan melepaskan senyum di antara desak para audiens yang menyemut di dekat panggung.
Antea Putri Turk yang telah berganti gaya berpakaian dengan mengenakan gaun terusan berwarna hitam dan menyambut setiap uluran tangan dari penonton, juga tak kuasa menahan rasa haru, bangga, sekaligus lega karena dirinya bisa memberikan penampilan terbaik pada malam itu.
Sebuah penampilan yang menurut Antea mungkin tidak akan pernah terlupakan sepanjang kehidupan dan membuatnya menjadi amat bangga memeluk nama besar WR Soepratman.
Pun mungkin demikian halnya dengan sang maestro yang tengah tersenyum di alam keabadian.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023