Di tengah seruan global untuk perdamaian, Amerika Serikat (AS) sekali lagi justru menempatkan diri di posisi yang bertentangan dengan masyarakat internasional dengan memveto draf resolusi yang menuntut gencatan senjata kemanusiaan sesegera mungkin di Jalur Gaza.
Pada pertemuan Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai isu Israel-Palestina, resolusi yang diajukan oleh Uni Emirat Arab ke DK PBB pada Jumat (8/12) mendapat dukungan luar biasa 13 dari 15 anggota dewan tersebut, dengan Inggris memilih abstain.
Namun, AS menjadi satu-satunya anggota yang menolak resolusi itu.
Faktanya, sebagai anggota tetap DK PBB, AS sudah memveto dua resolusi PBB terkait isu Palestina-Israel.
Pada 27 Oktober lalu, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menyerukan "gencatan senjata kemanusiaan yang bersifat segera, bertahan lama, dan berkelanjutan," dan mendesak agar akses kemanusiaan ke Gaza segera dibuka, dengan 120 negara mendukung resolusi itu.
AS saat itu juga memberikan suara penolakan.
Di saat konflik terus berkecamuk, dan telah menewaskan lebih dari 17.000 warga sipil tak berdosa serta menimbulkan situasi kemanusiaan yang sangat buruk di Gaza, sikap apa pun yang bertentangan dengan perdamaian tidak dapat dibenarkan dan tidak bertanggung jawab.
Membiarkan konflik terus berlanjut sambil menyatakan keprihatinan atas keselamatan dan kebutuhan kemanusiaan warga sipil di Gaza serta mendukung perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak tetapi juga membiarkan konflik terus berlanjut hanya mengungkap "standar ganda" AS.
Saat ini, gencatan senjata yang bersifat segera menjadi prioritas utama. Tanpa adanya gencatan senjata yang komprehensif, upaya bantuan kemanusiaan akan sia-sia.
Membiarkan konflik berlarut-larut pada akhirnya hanya akan membuat bencana meluas ke seluruh kawasan tersebut dan memupus harapan untuk "solusi dua negara", yang akan menjerumuskan rakyat Palestina dan Israel ke dalam lingkaran kebencian dan konfrontasi.
Situasi saat ini telah memaksa Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres untuk menggunakan Pasal 99 Piagam PBB guna mendesak DK PBB untuk menyerukan gencatan senjata.
Ini adalah kali pertama dalam lebih dari 50 tahun terakhir pasal tersebut, yang menyatakan bahwa sekjen PBB dapat memberi tahu DK PBB tentang hal-hal yang diyakini mengancam perdamaian dan keamanan internasional, digunakan.
Sebagai negara terkuat di dunia, AS semestinya memikul tanggung jawabnya dan bergabung dengan para anggota DK PBB lainnya dalam menghimpun semua upaya demi tujuan bersama, yaitu mengakhiri konflik di Gaza guna memberikan harapan untuk bertahan hidup bagi rakyat Palestina dan harapan untuk terwujudnya perdamaian di Timur Tengah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
Pada pertemuan Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai isu Israel-Palestina, resolusi yang diajukan oleh Uni Emirat Arab ke DK PBB pada Jumat (8/12) mendapat dukungan luar biasa 13 dari 15 anggota dewan tersebut, dengan Inggris memilih abstain.
Namun, AS menjadi satu-satunya anggota yang menolak resolusi itu.
Faktanya, sebagai anggota tetap DK PBB, AS sudah memveto dua resolusi PBB terkait isu Palestina-Israel.
Pada 27 Oktober lalu, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menyerukan "gencatan senjata kemanusiaan yang bersifat segera, bertahan lama, dan berkelanjutan," dan mendesak agar akses kemanusiaan ke Gaza segera dibuka, dengan 120 negara mendukung resolusi itu.
AS saat itu juga memberikan suara penolakan.
Di saat konflik terus berkecamuk, dan telah menewaskan lebih dari 17.000 warga sipil tak berdosa serta menimbulkan situasi kemanusiaan yang sangat buruk di Gaza, sikap apa pun yang bertentangan dengan perdamaian tidak dapat dibenarkan dan tidak bertanggung jawab.
Membiarkan konflik terus berlanjut sambil menyatakan keprihatinan atas keselamatan dan kebutuhan kemanusiaan warga sipil di Gaza serta mendukung perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak tetapi juga membiarkan konflik terus berlanjut hanya mengungkap "standar ganda" AS.
Saat ini, gencatan senjata yang bersifat segera menjadi prioritas utama. Tanpa adanya gencatan senjata yang komprehensif, upaya bantuan kemanusiaan akan sia-sia.
Membiarkan konflik berlarut-larut pada akhirnya hanya akan membuat bencana meluas ke seluruh kawasan tersebut dan memupus harapan untuk "solusi dua negara", yang akan menjerumuskan rakyat Palestina dan Israel ke dalam lingkaran kebencian dan konfrontasi.
Situasi saat ini telah memaksa Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres untuk menggunakan Pasal 99 Piagam PBB guna mendesak DK PBB untuk menyerukan gencatan senjata.
Ini adalah kali pertama dalam lebih dari 50 tahun terakhir pasal tersebut, yang menyatakan bahwa sekjen PBB dapat memberi tahu DK PBB tentang hal-hal yang diyakini mengancam perdamaian dan keamanan internasional, digunakan.
Sebagai negara terkuat di dunia, AS semestinya memikul tanggung jawabnya dan bergabung dengan para anggota DK PBB lainnya dalam menghimpun semua upaya demi tujuan bersama, yaitu mengakhiri konflik di Gaza guna memberikan harapan untuk bertahan hidup bagi rakyat Palestina dan harapan untuk terwujudnya perdamaian di Timur Tengah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023