Pada Juni ini, Mohammed Adel, seorang pria Palestina yang tinggal di Jabalia, akhirnya dapat mendirikan kembali kiosnya di atas reruntuhan rumahnya yang hancur akibat serangan udara Israel dalam operasi militer yang telah berlangsung selama hampir tiga pekan.
"Sebulan yang lalu, saya biasanya membuka kios di depan rumah, tetapi hari ini saya membukanya di atas reruntuhannya," kata pemuda berusia 25 tahun itu kepada Xinhua.
Kios miliknya dapat dibuka kembali setelah tentara Israel menarik diri dari kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara pada akhir Mei lalu setelah operasi militernya, yang menewaskan puluhan orang dan menghancurkan rumah, fasilitas, serta infrastruktur.
Pada 31 Mei, Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) mengatakan bahwa selama misinya di Jabalia timur, pihaknya telah mengevakuasi tujuh mayat sandera, menghabisi ratusan "teroris", dan menghancurkan jaringan terowongan bawah tanah sepanjang 10 kilometer.
Tak butuh waktu lama bagi Adel untuk kembali memulihkan hidupnya. Pasukan Israel "mungkin telah menewaskan puluhan orang dari kami dan menghancurkan rumah-rumah kami, tetapi kami bertekad untuk tetap melanjutkan hidup dan membangun kembali rumah-rumah kami sesegera mungkin," katanya.
"Kami tidak akan pernah menyerah pada harapan kami untuk hidup." Baik Adel maupun Hassan sama-sama mengharapkan agar perang segera berakhir dan kesepakatan gencatan senjata di Gaza dapat tercapai sesegera mungkin.
Tak jauh dari tempat tinggal Adel, Sobhi Hassan (50) memasang ayunan di atas puing-puing rumahnya yang hancur agar anak-anak dapat bermain.
"Saya kembali memasang ayunan kecil di atas reruntuhan rumah saya agar anak-anak dapat bermain dan menghilangkan derita yang mereka alami selama beberapa hari ini," ujar ayah enam anak tersebut kepada Xinhua sambil berusaha keras untuk tersenyum dengan wajahnya yang terlihat sedih.
Pria paruh baya itu bahkan mendapatkan sejumlah uang dari ayunan tersebut untuk membantu keluarganya bertahan hidup di tengah situasi yang mengerikan akibat perang.
"Ketika saya melihat anak-anak tertawa, saya merasa hidup ini layak diperjuangkan, bahkan ketika kami terperosok ke dalam perang," ujar pria itu.
Baik Adel maupun Hassan sama-sama mengharapkan agar perang segera berakhir dan kesepakatan gencatan senjata di Gaza dapat tercapai sesegera mungkin
Kamp Jabalia merupakan kamp terbesar dari delapan kamp pengungsi di Gaza. Sejak awal agresi Israel di Gaza, kamp Jabalia telah menjadi saksi konfrontasi mematikan antara tentara Israel dan faksi-faksi bersenjata Palestina, yang dipimpin oleh Hamas yang berkuasa di Gaza.
Setelah operasi militer Israel terakhir, banyak sampah perang yang ditinggalkan, termasuk kotak amunisi dari kayu. Hal ini mendorong Samir Ahmed, seorang pria Palestina yang tinggal di Jabalia, untuk mengumpulkan dan menjualnya sebagai kayu bakar di pasar-pasar setempat.
"Kotak-kotak itu dahulu berisi puluhan bom yang dipakai untuk membunuh orang-orang kami, tetapi saya menggunakannya untuk membantu orang-orang menyiapkan makanan agar mereka bisa tetap bertahan hidup. Inilah perbedaan antara orang Israel dan kami. Mereka (Israel) membawa kematian dan kehancuran, sementara kami menyebarkan kehidupan dan harapan setiap saat," kata pemuda itu kepada Xinhua.
"Perang akan berakhir, tak diragukan lagi, tetapi semoga saja perang ini akan berakhir hari ini sebelum besok," imbuh pemuda itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
"Sebulan yang lalu, saya biasanya membuka kios di depan rumah, tetapi hari ini saya membukanya di atas reruntuhannya," kata pemuda berusia 25 tahun itu kepada Xinhua.
Kios miliknya dapat dibuka kembali setelah tentara Israel menarik diri dari kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara pada akhir Mei lalu setelah operasi militernya, yang menewaskan puluhan orang dan menghancurkan rumah, fasilitas, serta infrastruktur.
Pada 31 Mei, Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) mengatakan bahwa selama misinya di Jabalia timur, pihaknya telah mengevakuasi tujuh mayat sandera, menghabisi ratusan "teroris", dan menghancurkan jaringan terowongan bawah tanah sepanjang 10 kilometer.
Tak butuh waktu lama bagi Adel untuk kembali memulihkan hidupnya. Pasukan Israel "mungkin telah menewaskan puluhan orang dari kami dan menghancurkan rumah-rumah kami, tetapi kami bertekad untuk tetap melanjutkan hidup dan membangun kembali rumah-rumah kami sesegera mungkin," katanya.
"Kami tidak akan pernah menyerah pada harapan kami untuk hidup." Baik Adel maupun Hassan sama-sama mengharapkan agar perang segera berakhir dan kesepakatan gencatan senjata di Gaza dapat tercapai sesegera mungkin.
Tak jauh dari tempat tinggal Adel, Sobhi Hassan (50) memasang ayunan di atas puing-puing rumahnya yang hancur agar anak-anak dapat bermain.
"Saya kembali memasang ayunan kecil di atas reruntuhan rumah saya agar anak-anak dapat bermain dan menghilangkan derita yang mereka alami selama beberapa hari ini," ujar ayah enam anak tersebut kepada Xinhua sambil berusaha keras untuk tersenyum dengan wajahnya yang terlihat sedih.
Pria paruh baya itu bahkan mendapatkan sejumlah uang dari ayunan tersebut untuk membantu keluarganya bertahan hidup di tengah situasi yang mengerikan akibat perang.
"Ketika saya melihat anak-anak tertawa, saya merasa hidup ini layak diperjuangkan, bahkan ketika kami terperosok ke dalam perang," ujar pria itu.
Baik Adel maupun Hassan sama-sama mengharapkan agar perang segera berakhir dan kesepakatan gencatan senjata di Gaza dapat tercapai sesegera mungkin
Kamp Jabalia merupakan kamp terbesar dari delapan kamp pengungsi di Gaza. Sejak awal agresi Israel di Gaza, kamp Jabalia telah menjadi saksi konfrontasi mematikan antara tentara Israel dan faksi-faksi bersenjata Palestina, yang dipimpin oleh Hamas yang berkuasa di Gaza.
Setelah operasi militer Israel terakhir, banyak sampah perang yang ditinggalkan, termasuk kotak amunisi dari kayu. Hal ini mendorong Samir Ahmed, seorang pria Palestina yang tinggal di Jabalia, untuk mengumpulkan dan menjualnya sebagai kayu bakar di pasar-pasar setempat.
"Kotak-kotak itu dahulu berisi puluhan bom yang dipakai untuk membunuh orang-orang kami, tetapi saya menggunakannya untuk membantu orang-orang menyiapkan makanan agar mereka bisa tetap bertahan hidup. Inilah perbedaan antara orang Israel dan kami. Mereka (Israel) membawa kematian dan kehancuran, sementara kami menyebarkan kehidupan dan harapan setiap saat," kata pemuda itu kepada Xinhua.
"Perang akan berakhir, tak diragukan lagi, tetapi semoga saja perang ini akan berakhir hari ini sebelum besok," imbuh pemuda itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024