Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai penghasil bijih timah terbesar di Indonesia, namun pada kenyataan justru tidak memakmurkan masyarakat dan pemerintah daerah atas kekayaan alam yang dimiliki Negeri Serumpun Sebalai itu.

Kesenjangan taraf hidup masyarakat dengan kekayaan sumber daya alam berlimpah tentunya ada permasalahan dalam proses penambangan bijih timah ini, salah satunya adanya penegakan-penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik menggunakan instrumen Undang-Undang Minerba, Kehutanan, Lingkungan dan akhirnya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Ini mengindikasikan adanya kesalahan dalam proses tata kelola penambangan bijih timah dan inilah yang menyebabkan kesenjangan antara kekayaan alam dengan taraf hidup masyarakat maupun ekonomi daerah penghasil bijih timah nomor dua terbesar di dunia ini.

Direktur Pengamanan Pembangunan Strategis Nasional Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung Republik Indonesia Patris Yusran Jaya menyatakan kondisi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hampir sama dengan Sulawesi Tenggara penghasil nikel.

Penegakan hukum di Sulawesi Tenggara pada awalnya dilakukan sangat masif dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Minerba dan secara teori undang-undang ini adalah administrasi tetapi di dalamnya diselipkan ancaman pidana, sehingga undang-undang tidak murni mengatur tindak pidana.

Undang-Undang Minerba ini mengatur tentang tata kelola dan mekanisme perizinan proses penambangan minerba, kemudian beberapa pasal diselipkan ancaman pidana jika tambang tersebut tidak memiliki izin, penambangan di luar izin dan melakukan penambangan tanpa Amdal dan izin pinjam pakai hutan barulah diancam pidana yang rata-rata ancaman maksimal lima tahun penjara.

Ironisnya selama proses penegakan hukum, umumnya perkara-perkara penambangan nikel yang dituntut jaksa penuntut umum, barang bukti berupa alat berat yang dilakukan dalam penambangan-penambangan ilegal tersebut malah dituntut untuk dikembalikan, dengan berbagai alasan seperti rental, pemilik tidak mengetahui dan lainnya.

Tidak hanya itu, tuntutan jaksa penuntut umum rata-rata di bawah satu tahun penjara, sehingga dari sisi instrumen Undang-Undang Minerba ini tidak menimbulkan efek jera.

Patris Yusran Jaya merupakan mantan Kepala Kejati Sulawesi Tenggara telah membuat satu aturan untuk kejahatan ilegal mining dengan tuntutan pidana minimal dua tahun penjara dan semua barang bukti yang digunakan untuk kejahatan tambang ilegal ini harus dituntut untuk dirampas untuk negara dan apapun alasannya.

Tidak hanya itu dalam proses penegakan hukum ini, penegak hukum juga memasukkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di blok Mandiodo merupakan wilayah  izin usaha penambangan PT ANTAM.

Apa yang terjadi di saat itu, PT Antam melakukan kerja sama operasi (KSO) dengan salah satu perusahaan swasta yang memiliki izin usaha pertambangan. Di dalam KSO tersebut, PT Antam menyerahkan seluas 22 hektare namun yang terjadi dalam pelaksanaannya, perusahaan swasta ini merasa tidak cukup untuk menambang di lahan 22 hektare tersebut, akhirnya mengajukan penambahan lahan 150 hektare dan mengajukan lagi 600 hektare dan ini tanpa proses administrasi.

Hingga ribuan hektare lahan milik PT Antam ini ditambang perusahaan swasta tanpa hasilnya diserahkan ke PT Antam, tetapi mereka menjual ke smelter-smelter luar dan oknum dari PT Antam ini menerima royalti sebesar 3 Dolar Amerika Serikat per metrik ton dan ini sudah menjadi fakta sidang dan sebagian sudah memiliki hukum tetap.

Selanjutnya, mengapa penambangan-penambangan ini diangkut bahkan dijual dan ternyata difasilitasi dengan dokumen bernama Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM cq Direktorat Jenderal Minerba.

Perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki deposit tambang lagi dan dengan adanya program hilirisasi serta banyaknya smelter di daerah itu, akhirnya perusahaan-perusahaan nikel ini berbondong-bondong mengajukan RKAB ke Kementerian ESDM dengan tanda kutip RKAB ini kuota produksi, karena ini laku dijual untuk tambang-tambang ilegal yang tidak memiliki RKAB dan harganya berkisar antara 5 hingga 8 Dolar Amerika Serikat per metrik ton dan pihak Kementerian ESDM terjebak di dalam kondisi ini.

Sebelum 2016, urusan IUP dan administrasi pertambangan ini ada di pemerintah kabupaten, kota dan kemudian 2016 regulasi ini berubah lagi ada di pemerintah provinsi, selanjutnya 2021 semua urusan IUP dan administrasi penambangan ditarik ke Kementerian ESDM, akhirnya semua urusan tambang yang menumpuk di kementerian.

Dalam kondisi tersebut, orang-orang di Kementerian ESDM sendiri tidak memiliki SDM yang cukup untuk mengecek satu per satu permohonan yang diajukan oleh perusahaan di daerah. Yang terjadi adalah petugas Kementerian ESDM ke daerah hanya menunggu di hotel dan yang datang adalah  kepala teknik tambang untuk menunjukkan dokumen, seolah-olah di dalam dokumen ini, petugas kementerian sudah melakukan pengecekan di lapangan dan membenarkan bahwa aktivitas tambang memang berjalan, deposit memang ada berdasarkan hasil pengeboran dan laboratorium.

Akhirnya bobol dan terdapat tiga perusahaan yang diberikan RKAB atau kuota dan perusahaan-perusahaan inilah yang memfasilitasi penambangan-penambangan di lahan IUP PT Antam di luar KSO 22 hektare, sehingga dalam periode 2022 hasil jarahan di lahan PT Antam ini senilai Rp3,4 triliun.

Bayangkan dalam satu kabupaten yang memiliki beberapa blok penambangan nikel dan ini merupakan bagian kecil satu blok dalam satu tahun nilai nikel yang ditambang perusahaan ini senilai Rp3,4 triliun, sementara APBD kabupaten itu hanya Rp1,3 triliun, berarti selama satu tahun  kabupaten tersebut tidak kurang dari Rp50 triliun dikuras tetapi kembali ke daerah tidak seberapa, karena penambangan ilegal ini tidak membayar pajak.

Dari kasus penambangan nikel di Sulawesi Tenggara ini, Kejagung membuat suatu kajian untuk membenahi tata kelola penambangan bijih timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Salah satu kajian tata kelola tambang timah ini adalah RKAB atau kuota yang diterbitkan setiap tahun dan dalam setahun harus mengajukan revisi, akhirnya pelaku penambangan ini harus bolak balik dua kali dalam setahun ke Kementerian ESDM. Akhirnya kementerian mengubah regulasi RKAB dibuat tiga tahun sekali dan sangat ketat.

Kasus pertambangan nikel ini, lima orang ASN Kementerian ESDM termasuk diantaranya mantan Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung yang waktu itu kapasitasnya sebagai Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM.

Kaitan tata kelola penambangan, dari kasus tersebut banyak hal harus dibenahi walaupun banyak hal juga yang sudah diatur tetapi ternyata lubang-lubangnya sangat banyak, karena berhadapan dengan pelaku usaha penambangan ini bukan berhadapan dengan pelaku UMKM, koperasi, home industri yang tidak bisa menambang.

Bedanya dengan tambang timah, penambangan di Kepulauan Babel masih banyak penambang-penambang rakyat sehingga penegakan hukum terhadap pertambangan timah atau tata kelola timah akhirnya terdampak juga terhadap penambang rakyat, karena yang dijadikan tersangka korupsi tata niaga timah ini banyak kolektor atau pengepul timah, sehingga masyarakat penambang tidak mempunyai tempat menjual hasil tambangnya.

Apa yang terjadi dari kasus korupsi tata niaga pertimahan ini, adanya keraguan Kementerian ESDM untuk menerbitkan RKAB kepada pelaku usaha penambangan bijih timah, sehingga banyak pelaku usaha penambangan timah legal tidak bisa beraktivitas, karena belum memiliki dokumen sakti ini.

Keraguan Kementerian ESDM dalam menerbitkan RKAB ini tentunya telah memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di smelter timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Smelter ini tidak bisa beraktivitas karena belum memiliki RKAB, sehingga tenaga kerja di perusahaan tambang tersebut tidak mempunyai penghasilan atau di-PHK.

Uniknya smelter timah ini, smelter ini ada namanya tungku. Apabila tungku ini sudah padam dan untuk memanaskannya kembali memerlukan waktu lama serta biaya sangat biaya besar, sehingga efek dari penegakan hukum ini akan ada smelter-smelter yang tidak beroperasi lagi.

Tidak hanya itu, akibat dari penegakan hukum tata kelola timah ini terjadi framing dari pihak-pihak berpentingan yang memframing untuk membuat suatu narasi, seolah-olah penegakan hukum ini tidak membawa manfaat, tetapi justru membawa kesusahan, kegelisahan dan ini dihembuskan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. 

Misalnya para pihak yang smelternya disita, kebun sawitnya disita dan keluarganya jadi tersangka, akhirnya mereka ini membuat narasi melalui media bahwa penegakan hukum ini tidak diperlukan dan berharap mendapat dukungan dari masyarakat untuk mencegah penegakan hukum mega korupsi tata niaga timah yang merugikan negara mencapai Rp300 triliun ini.

Dari potensi dampak penegakan hukum tata niaga timah ini, akhirnya Kejagung mencoba merumuskan dan pembenahan tata kelola pertambangan timah ini kedepannya.

Tentunya pembenahan tata kelola penambangan ini tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, tetapi harus melibatkan semua pihak karena urusan penambangan ini sangat kompleks melibatkan Kementerian ESDM sebagai regulator, melibatkan Kementerian Kehutanan sebagai pihak yang menentukan izin pinjam pakai kawasan hutan.

Selain itu, pembenahan tata kelola penambangan ini harus juga melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pihak yang mengeluarkan Amdal, melibatkan Kementerian Perhubungan untuk mengatur lalu lintas hasil tambang di pelabuhan, Kementerian Investasi, Dirjen Pajak dan instansi terkait lainnya yang berkaitan dengan pertambangan ini.

Dengan banyaknya dalam pengurusan ini, sehingga pelaku-pelaku penambangan ini akan sangat repot dalam mengurus usaha tambangnya dari kementerian satu ke kementerian lainnya cuma untuk satu urusan.

Misalnya, pelaku usaha tambang ini sudah mendapatkan izin usaha penambangan (IUP) produksi dan dia harus melakukan produksi, tetapi dia harus ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Investasi, ESDM dan mengurus pajak dan lainnya.

Apalagi selama ini yang banyak terjadi di lapangan banyak oknum-oknum yang menamakan dirinya sebagai konsultan. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Kejagung di Kementerian ESDM banyak gerombolan orang-orang yang menamakan dirinya sebagai konsultan. Tidak akan pernah lulus permohonan itu, jika tidak melalui konsultan tersebut.

Konsultan ini membuat suatu perjanjian dengan pelaku penambangan dan perjanjiannya seperti orang selingkuh, kenapa begitu karena lucu isi perjanjian tersebut. Isi perjanjian oknum konsultan dengan pelaku penambangan itu cukup aneh.

Bahwa pihak pertama sebagai pelaku pemilik perusahaan tambang dengan ini sepakat dengan pihak kedua selaku konsultan pengurusan perizinan pertambangan bersepakat, pertama pihak pertama membayar biaya sebesar sekian miliar rupiah kepada pihak kedua dalam pengurusan tambang ini.

Selanjutnya, pihak pertama dan kedua sepakat bahwa apa yang tercantum dalam perjanjian ini tidak boleh diketahui oleh pihak lainnya, pihak pertama dan kedua sepakat apabila masih ada kekurangan biaya maka pihak pertama menyanggupi membayar kekurangan biaya tersebut.

Macam-macam isi perjanjiannya, tetapi perjanjiannya yang aneh dan itu suatu mata rantai yang terjadi di situ sehingga masing-masing konsultan ini memiliki akses tersendiri ke dalam kementerian tersebut dan ini dipelihara.  

Ini baru kondisi di Kementerian ESDM, belum lagi konsultan-konsultan di Kementerian Lingkungan, Kehutanan, Investasi dan kementerian-kementerian lainnya, sehingga pelaku-pelaku penambangan ini sudah babak belur  sebelum melakukan penambangan.

Ini sudah Juli 2024, banyak perusahaan tambang timah belum mendapatkan RKAB tahun ini, bayangkan perusahaan ini harus menutupi gaji karyawannya dari Januari hingga Juli ini namun belum bisa berproduksi. 

Ada apa dengan RKAB dan kuota yang diformalkan sebagai dokumen sakti yang bisa menghambat semuanya. Semua perizinan tidak memiliki arti jika RKAB tidak didapat, pada hal ada di beberapa negara ada mekanisme yang lebih simpel.

Misalnya, Kejagung telah mengkaji nikel, berapa kebutuhan nikel semua smelter yang ada di Indonesia dan berapa perusahaan nikel yang akan memproduksi nikel dengan masing-masing kemampuannya dan itu dibagi oleh ahli matematika dan ini selesai.

Setiap tahun tinggal evaluasi, perusahaan yang tidak memenuhi target  produksi dialihkan ke perusahaan lainnya dan membayar denda. Perusahaan yang target produksinya cukup dan harus juga dievaluasi agar tidak melebihi, karena melebihi produksi adalah pelanggaran yang akan mengakibatkan penurunan harga komoditas tersebut.

Ternyata bisa secara teori dan tidak perlu memakai RKAB. Ini sama seperti timah, kenapa timah harus memakai RKAB.

Saat ini kebutuhan bijih timah di PT Timah Tbk berapa dan boleh diekspor kuotanya dari Kementerian Perdagangan dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri berapa, sehingga dapat kebutuhan timah secara global dan nasional.

Dari kebutuhan timah global tersebut dari daerah-daerah penghasil bijih timah dilakukan pendataan, berapa perusahaan dan pelaku usaha penambangan timah dan berapa kemampuan di tiap-tiap perusahaan dan nanti disepakati. 

Setiap perusahaan mendapatkan kuota 80 persen kemampuannya dan ini sama dengan nikel. Perusahaan yang punya kemampuan 3.000 ton per tahun maka 80 persen dari 3.000 dan hanya memiliki kemampuan 1.000 ton per tahun maka 80 persen dari 1.000 dan ini dapat diselesaikan tanpa RKAB.

Akhirnya dengan teori ini, maka para penambang timah ilegal tidak bisa jual hasil tambangnya karena orang sudah bertransaksi sebelum waktu berjalan. Transaksi dalam bentuk konstruksi antara pasar dan produksi.

Dalam suatu teori, semua yang tercipta di dunia ini terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama perencanaan, pembagian kuota produksi dan tahap kedua dalam bentuk pelaksanaan yang akan dievaluasi, apakah rencana ini sesuai realisasi pelaksanaan, begitu tidak cocok dan itulah namanya koreksi.

Dalam koreksi ini, apabila ada pihak yang tidak mencapai kewajiban maka akan mendapatkan denda bukan pidana, karena ini adalah perjanjian, perjanjian untuk produksi dan RKAB ini selesai. 

Sementara itu, terkait harga timah ini Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia mendorong pemerintah untuk segera menetapkan Harga Patokan Mineral (HPM) komoditas timah, guna mencegah menyeludupan timah ke luar negeri yang merugikan negara.

Komoditas timah belum ada HPM, sehingga pelaku-pelaku usaha tambang mengetahui harga di Malaysia, Singapura dan akhirnya mereka melakukan penyeludupan karena harga lebih tinggi.

HPM ini sudah diberlakukan di komoditas nikel di Sulawesi Tenggara, sehingga tidak ada pengusaha tambang yang bermain untuk menaikkan dan menurunkan harga nikel di daerah itu. Sementara itu, timah belum ada HPM, sehingga pengusaha-pengusaha tambang di Kepulauan Babel banyak yang bermain dan lebih baik menyeludup untuk mendapatkan keuntungan dua kali lipat lebih.

Apalagi baru-baru ini ada penangkapan penyeludupan timah sebanyak 200 ribu ton dan pelaku penyelundupan menenggelamkan balok timah tersebut. Penyelundupan timah ini terjadi, karena harga timah di pasar luar negeri jauh melebihi harga di dalam negeri, karena tidak adanya harga patokan komoditas ekspor tersebut.

"Saya berbicara begini sejak bertugas di Sulawesi Tenggara pada Februari 2023, sehingga banyak orang yang tidak suka dengan saya, karena ini kepentingan besar dan uang besar," ujarnya.


Kejagung jerat 22 tersangka

Kejaksaan Agung Republik Indonesia hingga saat ini telah menjerat 22 tersangka korupsi tata niaga timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Pada Kamis (18/7) Kejaksaan Agung kembali menyerahkan tiga tersangka dan barang bukti tahap II kasus korupsi timah kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.

Pelaksanaan Tahap II terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk 2015 hingga 2022.
 
"Tiga tersangka yang dilimpahkan yakni AS, BN dan SW," kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Harli Siregars.

Tersangka AS selaku Kabid Pertambangan Mineral Logam pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode 4 Mei 2018 - 9 November 2021 telah ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat.

Lalu, tersangka BN selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode 5 Maret 2019 - 31 Desember 2019, tidak dilakukan penahanan.

Tersangka SW selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode 19 Januari 2015 - 4 Maret 2019, dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat.

Selanjutnya, tim penyidik turut menyerahkan sejumlah barang bukti berupa dokumen Persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), Surat Perintah Pelaksana Tugas Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, dan Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) serta telepon seluler (ponsel).

Adapun pasal yang disangkakan yakni Primair: Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Lalu, Subsidair: Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebanyak 30 orang Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dilibatkan dalam penyusunan berkas dakwaan dan penanganan perkara dugaan kasus korupsi timah. 

Pewarta: Aprionis

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024