Uni Emirat Arab (UEA) pada Kamis mempertimbangkan akan mengerahkan misi internasional sementara atas undangan pemerintah Palestina untuk menegakkan ketertiban dan meletakkan dasar bagi pemerintahan berkualitas yang mampu menyatukan Tepi Barat dan Gaza dalam satu otoritas Palestina yang sah.

Usulan tersebut diumumkan oleh perempuan Menteri Negara UEA untuk Kerja Sama Internasional, Reem Al Hashimy, dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Emirat.

Perwakilan UEA ini akan bertanggung jawab untuk merespons krisis kemanusiaan yang dihadapi warga di Gaza secara efisien, menegakkan hukum dan ketertiban, meletakkan dasar bagi pemerintahan, dan membuka jalan untuk menyatukan kembali Gaza dan Tepi Barat di bawah satu Otoritas Palestina yang sah, kata pernyataan itu.

Pernyataan tersebut dikeluarkan di tengah berlangsungnya pembahasan Barat dan Arab mengenai Gaza pascaperang, yang hancur akibat serbuan Israel selama 10 bulan.

UEA telah mengirimkan 39.756 ton pasokan mendesak ke Jalur Gaza melalui 8 kapal, 1.271 truk, dan 337 penerbangan, kata pernyataan itu.

Kembali ke status quo sebelum 7 Oktober 2023 tidak dapat mencapai perdamaian berkelanjutan yang diinginkan baik bagi Palestina, Israel, dan komunitas internasional yang lebih luas, tambahnya.

Pernyataan tersebut mengatakan bahwa konsolidasi perdamaian dan keamanan serta mengakhiri penderitaan kemanusiaan harus dimulai dengan penempatan misi internasional sementara di Gaza dengan undangan resmi dari pemerintah Palestina.

Pemerintahan Palestina yang baru harus memastikan operasi yang transparan selaras dengan standar global tertinggi, tambahnya.

Lanskap politik Palestina telah terpecah sejak 2007, dengan Hamas menguasai Gaza, sementara Tepi Barat diperintah oleh pemerintahan yang dibentuk oleh gerakan Fatah, yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas.

Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutal yang terus berlanjut terhadap Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober.

Hampir 39.200 warga Palestina tewas, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, dan lebih dari 90.400 terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.

Lebih dari sembilan bulan sejak serangan Israel, wilayah Gaza luluh lantak akibat blokade yang menyulitkan pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan.

Israel dituduh melakukan genosida di Pengadilan Internasional, yang memerintahkan Tel Aviv untuk segera menghentikan operasi militernya di kota Rafah di selatan, di mana lebih dari 1 juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum kota tersebut diserbu pada 6 Mei.

Sumber: Anadolu-OANA

 

Pewarta: Yoanita Hastryka Djohan

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024