Purwakarta (Antara Babel) - Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menyatakan
wacana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy terkait Sabtu
dan Minggu sebagai hari libur bagi para pelajar sudah diberlakukan di
Purwakarta sejak beberapa tahun terakhir.
"Sejak tahun 2008, falsafah kearifan lokal langsung diterjemahkan ke dalam kebijakan berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Sejak tahun itu, diterapkan kebijakan sekolah lima hari dalam sepekan," katanya, di Purwakarta, Sabtu.
Di antara alasan diberlakukannya kebijakan tersebut, pelajar harus memiliki waktu yang cukup bersama keluarga. Sehingga, pendidikan informal dalam hal ini didapat oleh pelajar melalui transformasi nilai yang dilakukan oleh para orang tua mereka di rumah.
"Kita (di Purwakarta) sejak tahun 2008 melakukan itu. Jam pelajaran di sekolah kita padatkan, masuk pukul 6.00 WIB serentak di seluruh sekolah, baik desa maupun kota," kata dia.
Sedangkan jadwal pulang, para pelajar di desa pukul 11.00 WIB dan para pelajar di wilayah perkotaan bisa pulang sekolah pukul 12.00 WIB.
Tidak hanya pengurangan jam pelajaran di sekolah yang sudah diberlakukan di Purwakarta. Bupati juga memiliki gagasan agar pelajaran di sekolah dikurangi. Alasannya, sisi aplikatif dari nilai-nilai akademik jauh lebih penting dibandingkan sekadar mempelajari teori.
"Kalau Mendikbud mengizinkan, kami di Purwakarta akan mengurangi jumlah pelajaran. Karena pelajaran saat ini sudah terlalu banyak dan tidak efektif untuk perkembangan generasi muda," kata dia.
Ia menyontohkan, pelajaran yang lebih mengarah pada sisi aplikatif adalah pendidikan kewarganegaraan. Anak-anak sekolah dapat langsung diajarkan untuk tidak membuang sampah sembarangan, tidak melakukan vandalisme dan diajak untuk membangun kebiasaan-kebiasaan positif lain yang mencerminkan karakter manusia Indonesia.
"Salat juga diajarkan sambil praktik, mengaji juga begitu. Ujiannya kan bisa menyesuaikan. Nanti bisa sejalan antara pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Keduanya dimunculkan dalam keseharian," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016
"Sejak tahun 2008, falsafah kearifan lokal langsung diterjemahkan ke dalam kebijakan berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Sejak tahun itu, diterapkan kebijakan sekolah lima hari dalam sepekan," katanya, di Purwakarta, Sabtu.
Di antara alasan diberlakukannya kebijakan tersebut, pelajar harus memiliki waktu yang cukup bersama keluarga. Sehingga, pendidikan informal dalam hal ini didapat oleh pelajar melalui transformasi nilai yang dilakukan oleh para orang tua mereka di rumah.
"Kita (di Purwakarta) sejak tahun 2008 melakukan itu. Jam pelajaran di sekolah kita padatkan, masuk pukul 6.00 WIB serentak di seluruh sekolah, baik desa maupun kota," kata dia.
Sedangkan jadwal pulang, para pelajar di desa pukul 11.00 WIB dan para pelajar di wilayah perkotaan bisa pulang sekolah pukul 12.00 WIB.
Tidak hanya pengurangan jam pelajaran di sekolah yang sudah diberlakukan di Purwakarta. Bupati juga memiliki gagasan agar pelajaran di sekolah dikurangi. Alasannya, sisi aplikatif dari nilai-nilai akademik jauh lebih penting dibandingkan sekadar mempelajari teori.
"Kalau Mendikbud mengizinkan, kami di Purwakarta akan mengurangi jumlah pelajaran. Karena pelajaran saat ini sudah terlalu banyak dan tidak efektif untuk perkembangan generasi muda," kata dia.
Ia menyontohkan, pelajaran yang lebih mengarah pada sisi aplikatif adalah pendidikan kewarganegaraan. Anak-anak sekolah dapat langsung diajarkan untuk tidak membuang sampah sembarangan, tidak melakukan vandalisme dan diajak untuk membangun kebiasaan-kebiasaan positif lain yang mencerminkan karakter manusia Indonesia.
"Salat juga diajarkan sambil praktik, mengaji juga begitu. Ujiannya kan bisa menyesuaikan. Nanti bisa sejalan antara pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Keduanya dimunculkan dalam keseharian," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016