Jakarta (Antara Babel) - "Kita masih pada tahap penyelidikan, nanti tanyakanlah ke Pak JAM Pidsus (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus)", demikian Jaksa Agung HM Prasetyo menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi eks Ketua DPR, Setya Novanto.

Kejagung terkesan masih percaya diri kendati putusan MK menyebutkan pasal yang dikenakan permufatan jahat dan penggunaan rekaman sebagai alat penyelidikan berkategori ilegal.

Bahkan Jaksa Agung mengambil contoh putusan MK bagi terpidana mati soal permohonan grasi, kendati putusan menguntungkan terpidana mati namun eksekusi tetap dijalankan. "Putusan (MK) itu tidak berlaku surut," kata eks petinggi Partai Nasdem itu.      
   
Pernyataan itu menyiratkan Kejagung tidak akan peduli dengan putusan MK sekalipun sekaligus memberikan contoh "yang baik" untuk masyarakat pembangkangan dari peraturan tidak jadi masalah demi menutupi kesalahan yang telah dilakukan.

Sedikit gambaran, kasus yang terkenal dengan sebutan 'papa minta saham' bermula saat Sudirman Said yang saat itu masih mejabat sebagai Menteri ESDM mengadu kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) adanya dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Setya Novanto.

Sudirman Said menggunakaan bukti rekaman dari Maroef Sjamsuddin, saat itu mejabat sebagai Presdir PT Freeport Indonesia, di dalamnya ada perbincangan antara dirinya dengan Setya Novanto dan pengusaha Riza Chalid, yang berujung pada Setya Novanto mundur dari jabatannya.

Kejagung dengan bangganya mengusut kasus itu bahkan berani menyatakan adanya pasal permufatakan jahat meski kasus itu masih dalam tahap penyelidikan, bahkan rekaman dari Maroef Syamsuddin dijadikan sebagai bukti juga. Penyidikan belum dimulai, namun Kejagung menciptakan penyelidikan menjadi seolah-olah penyidikan.

Bagaimana dengan media? Media hampir setiap hari melaporkan kasus itu baik dari MKD maupun dari fersi Kejagung. Ironisnya semakin lama pemberitaan itu pun semakin meredup bahkan putusan MK pun sedikit yang memberitakan atau tidak segarang awal kasus itu bergulir. Politiskah?.

Memang wajar opini publik dalam kasus itu terkesan politis namun para LSM dan orang-orang pintar di Republik Indonesia ini terhanyut dalam pusaran Setnov bersalah. Yang ujung-ujungnya dalam putusan MK, mereka pun hanya diam. Ketika Setnov mengundurkan diri, mereka pun bertepuk tangan.

Di masyarakat timbul pertanyaan, mungkinkah Kejagung terseret arus bermain politis dalam kasus ini?.

Koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman di Jakarta, Rabu (7/9) menyayangkan kinerja Kejaksaan Agung yang saat ini cenderung bermain politis, di antaranya dalam kasus Setya Novanto.

"Kan sudah jelas, dulu Kejagung sangat percaya diri menyatakan sudah memiliki bukti-bukti adanya 'papa minta saham' itu, sampai kasus yang masih tahap penyelidikan seolah-olah diciptakan seperti penyidikan. Padahal kasus penyelidikan itu tidak boleh diumbar-umbar. Nah sekarang bagaimana perkembangan kasus itu," tanya Boyamin.

Ia menambahkan tentunya saat Kejagung dengan percaya diri untuk menangani kasus itu, dipastikan sudah memiliki bukti-buktinya termasuk ada rekamannya. Bahkan Kejagung berani menyatakan pasal yang dikenakan adalah permufakatan jahat.

Yang menjadi pertanyaannya, kata dia, kenapa saat ini kasus tenggelam begitu saja berbeda halnya saat kasus ditangani oleh MKD yang kemudian penyelidikan dilakukan oleh Kejagung.

"Setiap hari selalu saja ada komentar dalam penanganan kasus itu, tapi sekarang tidak ada," katanya.

Karena itu, ia menduga penanganan kasus-kasus di Kejagung saat ini lebih banyak unsur politisnya ketimbang murni untuk penegakan hukum.

Saat ditanya apakah penyelidikan kasus itu tidak lain bagian untuk mendongkel jabatan Setya Novanto sebagai Ketua DPR karena penyelidikannya oleh Kejagung dilakukan sebelum Setnov menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya, Boyamin enggan menjawabnya.

Sebaliknya, penyelidikan dugaan korupsi seperti perjanjian Grand Indonesia antara PT Hotel Indonesia Natour (Persero) dengan PT Cipta Karya Bumi Indah yang sekitar dua pekan dilaporkan sudah ditingkatkan ke penyidikan.

"Kasus Grand Indonesia saja sampai sekarang belum ada tersangkanya," tegasnya.

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Choirul Huda menyarankan jaksa agung tidak perlu mempublikasikan penghentian kasus pemufakatan jahat yang dilakukan oleh Setya Novanto.

"Gak perlu, dengan ini sudah selesai, sudah 'clear'. Cukup internal mereka saja. Nanti malah buat Jaksa Agung tambah malu," katanya.

Pengamat politik Indobarometer M Qodari menilai Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa memulihkan nama baik mantan Ketua DPR RI Setya Novanto menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi Novanto atas UU ITE dan UU Tipikor.

"Menurut saya sih bisa (nama baik dipulihkan). Putusan MK itu artinya sebuah proses hukum yang sudah ada," kata Qodari.

Menurut Qodari putusan MK itu membuat Novanto yang kini menjabat Ketua Umum Golkar, bisa bernafas lega sebab kasus yang menimpa dirinya dapat diartikan gugur secara hukum.

Dengan demikian, kata dia, segala hal yang digunakan untuk mempermasalahkan Novanto secara hukum juga dianggap tidak sah oleh MK.

"Tapi apakah itu berlaku surut atau tidak, coba diminta pendapat ahli hukum," ujar Qodari.

    
                              Putusan MK    
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menjadikan rekaman penyadapan atas Setya Novanto oleh Maroef Sjamsoeddin menjadi ilegal dan tidak bisa dijadikan sebagai barang bukti di persidangan.

"Ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta.

Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi Manahan ketika membacakan pertimbangan Mahkamah.

Mahkamah juga berpendapat bahwa penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus dilakukan secara sah, atau dilakukan atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi penegak hukum lainnya.

"Penyadapan harus dilakukan dengan izin pengadilan agar ada lembaga yang mengontrol dan mengawasi sehingga penyadapan tidak dilakukan sewenang-wenang," ujar Hakim Konstitusi Manahan.

Atas dasar itulah Mahkamah kemudian menilai bahwa permohonan Setya Novanto beralasan menurut hukum mengingat Kejaksaan Agung melampirkan alat bukti terhadap dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia dari rekaman pembicaraan yang direkam oleh Maroef Sjamsoeddin.

Selain itu Mahkamah juga mengabulkan permohonan Setya Novanto atas uji materi ketentuan Pasal Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor.

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Sebelumnya Setya Novanto merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan dalam UU ITE dan UU Tipikor terkait alat bukti elektronik yang suaranya diperdengarkan dalam sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD).

Dia menilai bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan perekaman.

Pewarta: Riza Fahriza

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016