Jakarta (Antara Babel) - Dalam satu kisah diceritakan, pada suatu hari Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad SAW, khalifah kedua yang di masa pemerintahannya Islam berkembang sangat pesat, bermuram durja ketika seorang sahabat bernama Khudzaifah bin Al Yaman mendatanginya.

Kepada Khudzaifah yang bertanya, Khalifah gagah perkasa yang mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia itu menuturkan kegundahan hatinya. Ia mengaku sangat takut tidak akan ada orang yang berani mengingatkan apabila dirinya melakukan kemungkaran karena segan dan rasa hormat kepadanya.

Ketika akhirnya Khudzaifah berjanji akan mencegahnya melakukan kemungkaran, maka sosok yang oleh Nabi Muhammad SAW digelari "Al Faruq", yang berarti orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, itu pun seketika ceria wajahnya.

Tanggal 22 Oktober 2016 tepat dua tahun sudah pemerintahan Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla, sejak keduanya dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2014.

Ada sebagian kalangan yang  menilai duet pemimpin ini berhasil melakukan perbaikan selama dua tahun pemerintahannya, tapi ada juga yang menilai sebaliknya. Tergantung dari sisi mana penilaian itu diberikan.

Pihak yang menilai positif menyebut stabilitas politik cukup baik dua tahun belakangan ini, tingkat pengangguran terbuka turun dari 5,81 persen pada Februari 2015 menjadi 5,5 persen pada Februari 2016, orientasi pembangunan tidak lagi Jawa sentries, dan lain-lain.

Pendeknya, mengutip pernyataan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-JK tingkat kepuasan publik senantiasa relatif cukup tinggi.

Sementara itu, di sisi lain, para pengkritik menilai pemerintahan Jokowi-JK sama sekali belum merealisasikan janji politiknya ketika masa kampanye dulu yang dituangkan dalam Nawacita.

Baik mereka yang menyebut pemerintahan Jokowi-JK sukses dalam dua tahun ini maupun mereka yang menyebut sebaliknya adalah wajar-wajar saja, sah-sah saja di Negara yang demokratis seperti Indonesia ini.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.

Kritik terhadap penguasa Negara ini bukan khas milik pemerintahan Jokowi-JK. Hampir seluruh pemimpin Negara ini sejak era Bung Karno menerima kritik. Jusuf Kalla tentu juga masih ingat sejumlah kritik yang dialamatkan kepada pemerintah ketika ia mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono memimpin Negara ini.

Kalaupun kritik yang diterima pemerintah sekarang dirasa "lebih pedas" mungkin itu tidak terlepas dari ketatnya persaingan dan tajamnya polaritas dukungan semasa pemilihan presiden dua tahun silam.

"Ekses polarisasi ekstrem Pilpres 2014 masih kita rasakan sampai hari ini, padahal sudah dua tahun berlalu," kata pengamat politik dari Universitas Nasional MA Hailuki.

Kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK pun datang dari kalangan pers, lembaga yang disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Akan tetapi, lunak ataupun keras suatu kritik tetap diperlukan  agar pemegang mandat rakyat tetap berjalan ¿meminjam istilah agama-- di jalan yang lurus.

Guru besar sejarah modern Universitas Cambridge yang hidup di abad 19, Sir John Dalberd-Acton atau dikenal sebagai Lord Acton, mewanti-wanti melalui adagiumnya yang terkenal bahwa kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.

Gerakan masyarakat yang dipelopori mahasiswa pada tahun 1998 yang kemudian melahirkan reformasi adalah untuk mengoreksi kekuasaan saat itu yang dinilai sudah menjadi contoh nyata dari adagium yang dicetuskan Lord Acton itu.

Khusus kritik dari kalangan pers, memang itulah salah satu tugasnya. Salah seorang pendiri surat kabar "Kompas" PK Ojong mengatakan bahwa  fungsi kontrol pers menjadi semacam "pentungan" bagi pejabat pemerintah. Mereka harus bekerja dengan pikiran bahwa selalu ada pentungan yang siap sedia memukul mereka bila menyeleweng dan korup.

Salah satu organisasi kemasyarakatan yang tidak segan-segan mengkritik pemerintah adalah Nahdlatul Ulama (NU).  Bahkan,  sehari setelah KPU mengumumkan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres 2014, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj sudah menyatakan pihaknya akan mengkritik pemerintah apabila dinilai tidak benar.

Namun, menurut Said Aqil, kritik NU untuk pemerintah demi kebaikan, konstruktif, dan bukan untuk menjatuhkan. Kritik pun disampaikan dalam bentuk nasihat yang baik, bukan dengan kata-kata yang tidak sopan dan tidak berakhlak.

Kritik yang kerap dilontarkan PBNU terutama menyangkut pemerataan ekonomi. Pemerintah diminta tidak hanya fokus mengejar pertumbuhan, tetapi juga menekankan pada aspek pemerataan.

Untunglah, kesadaran akan kritik ini dimiliki oleh pemerintah saat ini. Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan bahwa pemerintah tidak antikritik. Bahkan, Pramono juga menganggap bahwa kritik lebih baik disampaikan melalui ruang publik agar ada diskursus yang muncul.

"Ya, kritik itu adalah menjadi 'obat kuat'. Semua pemerintahan itu menjadi kuat kalau ada yang mengkritik sehingga dengan demikian kritik adalah merupakan obat kuat bagi pemerintahan ini," kata Pramono ketika menanggapi kritik dari Ketua Umum Partai Demokrat yang juga Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Sikap atas kritik sebagaimana yang diutarakan Pramono Anung itu tentu diharapkan tetap dipegang Jokowi-JK selama sisa masa pemerintahannya, lebih-lebih jika kesadaran akan pentingnya kritik itu bisa meningkat menjadi rasa takut apabila tidak ada pihak yang mengkritik sebagaimana yang ditunjukkan Khalifah Umar bin Khattab.

Sebaliknya, bagi pengkritik, apabila kritik yang disampaikan benar-benar diniatkan untuk membuat pemerintah lebih baik dalam menjalankan tugas, lebih baik dalam menyejahterakan rakyat, tentu juga tidak asal kritik, apalagi sekadar mencela.

Agama mengajarkan belum tentu orang yang mencela lebih baik dari orang yang dicela. Kalaupun tidak bisa mengkritik dengan nasihat yang baik dan santun sebagaimana yang disebutkan Kiai Said Aqil Siroj, setidaknya mengkritik dengan berlandaskan data, bukan perasaan, sebagaimana yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.

Pewarta: Sigit Pinardi

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016