Jakarta (Antara Babel) - Jaksa Agung HM Prasetyo menyebutkan akan menemui mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dokumen kasus kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir.
"Kalau perlu nanti saya akan menjumpai beliau (SBY), siapa tahu beliau mengetahui keberadaan dokumen aslinya," katanya di Jakarta, Rabu.
Tentunya, kata dia, jika dokumen itu sudah ditemukan maka pihaknya akan meneliti rekomendasi tim pencari fakta (TPF) kasus kematian Munir tersebut, kemudian pihaknya akan menentukan sikap.
Sebaliknya jika dokumen itu telah dipenuhi dengan menghukum pelakunya, maka belum tentunya akan menindaklanjutinya kembali. "Karena itu, kita telah menugaskan JAM Intel (Jaksa Agung Muda Intelijen), untuk menelusuri dokumen aslinya," tegasnya.
Kendati demikian, ia memberikan apresiasi atas mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkenan memberikan penjelasan dan statemen terbuka kepada media seputar dokumen Munir.
"Dapat kita berikan apresiasi bagaimanapun beliau bertanggung jawab karena pada pemerintahannya, terbentuk TPF," ujarnya.
Jaksa agung juga mengaku saat dirinya masih mejabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) mengendalikan penanganan kasus itu sehingga pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto atau akrab dipanggil Poly divonis 14 tahun penjara oleh pengadilan tingkat pertama.
Kemudian pada Peninjauan Kembali pada 2008, hukuman Poly diperberat menjadi 20 tahun penjara meski di tingkat kasasi hanya dijatuhi dua tahun penjara karena terbukti menggunakan surat palsu.
Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempersilakan Presiden Indonesia Joko Widodo melanjutkan kasus tokoh hak asasi manusia Munir jika diperlukan.
"Selalu ada pintu untuk mencari kebenaran yang sejati, jika memang ada kebenaran yang belum terkuak, oleh karena itu saya mendukung langkah Presiden Jokowi jika akan melanjutkan kasus hukum ini jika memang ada yang belum selesai," katanya saat memberikan keterangan pers di Pendopo Puri Cikeas Bogor, Jawa Barat, Selasa (25/10).
Menurut SBY, pemerintah dan jajarannya sudah melakukan yang terbaik sesuai mekanisme yang seharusnya dilakukan pemerintah sesuai rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF) Munir saat itu.
Pemerintah di bawah pimpinannya saat itu segera membentuk TPF Munir setelah melakukan serangkaian langkah penyelesaian kasus tersebut melalui instansi yang ditugaskan.
Jabatan presiden yang baru diembannya selama tiga minggu usai kejadian tersebut berlangsung SBY mengaku segera memerintahkan pengusutan kasus tersebut.
Ia menyatakan pemerintah menganggap kasus tersebut adalah kasus yang serius dan mencoreng demokrasi Indonesia saat itu sehingga pemerintah secara serius pula memerintahkan pengusutan kasus tersebut secara tuntas.
SBY sengaja menahan diri untuk merespon terhadap isu yang berkembang di media massa karena ingin memberikan komentar yang tidak asal-asalan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016
"Kalau perlu nanti saya akan menjumpai beliau (SBY), siapa tahu beliau mengetahui keberadaan dokumen aslinya," katanya di Jakarta, Rabu.
Tentunya, kata dia, jika dokumen itu sudah ditemukan maka pihaknya akan meneliti rekomendasi tim pencari fakta (TPF) kasus kematian Munir tersebut, kemudian pihaknya akan menentukan sikap.
Sebaliknya jika dokumen itu telah dipenuhi dengan menghukum pelakunya, maka belum tentunya akan menindaklanjutinya kembali. "Karena itu, kita telah menugaskan JAM Intel (Jaksa Agung Muda Intelijen), untuk menelusuri dokumen aslinya," tegasnya.
Kendati demikian, ia memberikan apresiasi atas mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkenan memberikan penjelasan dan statemen terbuka kepada media seputar dokumen Munir.
"Dapat kita berikan apresiasi bagaimanapun beliau bertanggung jawab karena pada pemerintahannya, terbentuk TPF," ujarnya.
Jaksa agung juga mengaku saat dirinya masih mejabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) mengendalikan penanganan kasus itu sehingga pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto atau akrab dipanggil Poly divonis 14 tahun penjara oleh pengadilan tingkat pertama.
Kemudian pada Peninjauan Kembali pada 2008, hukuman Poly diperberat menjadi 20 tahun penjara meski di tingkat kasasi hanya dijatuhi dua tahun penjara karena terbukti menggunakan surat palsu.
Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempersilakan Presiden Indonesia Joko Widodo melanjutkan kasus tokoh hak asasi manusia Munir jika diperlukan.
"Selalu ada pintu untuk mencari kebenaran yang sejati, jika memang ada kebenaran yang belum terkuak, oleh karena itu saya mendukung langkah Presiden Jokowi jika akan melanjutkan kasus hukum ini jika memang ada yang belum selesai," katanya saat memberikan keterangan pers di Pendopo Puri Cikeas Bogor, Jawa Barat, Selasa (25/10).
Menurut SBY, pemerintah dan jajarannya sudah melakukan yang terbaik sesuai mekanisme yang seharusnya dilakukan pemerintah sesuai rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF) Munir saat itu.
Pemerintah di bawah pimpinannya saat itu segera membentuk TPF Munir setelah melakukan serangkaian langkah penyelesaian kasus tersebut melalui instansi yang ditugaskan.
Jabatan presiden yang baru diembannya selama tiga minggu usai kejadian tersebut berlangsung SBY mengaku segera memerintahkan pengusutan kasus tersebut.
Ia menyatakan pemerintah menganggap kasus tersebut adalah kasus yang serius dan mencoreng demokrasi Indonesia saat itu sehingga pemerintah secara serius pula memerintahkan pengusutan kasus tersebut secara tuntas.
SBY sengaja menahan diri untuk merespon terhadap isu yang berkembang di media massa karena ingin memberikan komentar yang tidak asal-asalan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016