Jakarta (Antara Babel) - Banyak hal telah dialami empat WNI anak buah kapal (ABK) Naham 3 selama hampir empat tahun disandera perompak Somalia sejak 26 Maret 2012 hingga akhirnya dibebaskan pada 23 Oktober 2016, salah satunya melakukan aksi mogok makan.

"Kami pernah mogok makan untuk membela satu (orang) Kamboja yang kakinya ditembak hanya karena mau buang air kecil," kata salah satu WNI ABK Naham 3, Sudirman (32), di Ruang Palapa Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Senin.

Lebih lanjut, Sudirman yang ditunjuk sebagai juru bicara ketiga rekan WNI lainnya, Supardi, Adi Manurung, dan Elson Pesireron, menceritakan awal mula aksi mogok makan yang dilakukan 26 sandera di Somalia untuk membela warga Kamboja tersebut.

Akhir September 2016, upaya pembebasan terpadu yang dilakukan pemerintah Indonesia, China, Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Taiwan, beserta beberapa organisasi internasional semakin gencar dan kabar tersebut samar-samar terdengar oleh para sandera.

Kemudian, suatu hari, seorang warga Kamboja minta izin untuk buang air kecil kepada penjaganya, namun alih-alih membiarkannya membuang hajat, malahan si perompak malah memakinya dengan kata-kata kotor dalam bahasa Somalia.

"Tiga tahun lebih kami di sana, jadi kami mengerti apa yang mereka (perompak) katakan, dan si Kamboja ini membalas makian itu, lalu kakinya ditembak tiga kali," kata Sudirman.

Beruntung, tiga tembakan tersebut tidak mengenai tulang warga Kamboja itu sehingga akibatnya tidak terlalu fatal, meskipun menurut Sudirman, dia masih pincang saat diselamatkan pada 23 Oktober 2016.

Para sandera dari berbagai negara itu pun sepakat untuk mogok makan yang berlangsung hingga hampir lima hari untuk memprotes penembakan warga Kamboja tersebut.

"Kita bagaikan keluarga, sama-sama disandera, sama-sama awak Naham 3, kami katakan kepada mereka kenapa tidak langsung ditembak saja, kenapa kaki? Mending langsung bunuh saja," kata pria asal Batam, Kepulauan Riau itu.

"Mogok makan ini mungkin juga bentuk penekanan kami kepada mereka, kami katakan, 'bunuh saja langsung, kamu tidak dapat uang, kami tidak bisa pulang," kata Sudirman.

    
Kekerasan fisik
    
Menurut Sudirman, kekerasan fisik dan piskis sering sekali mereka alami, setiap tindakan yang dilakukan sandera yang dianggap menentang akan diberi ganjaran, misalnya tangan dan kaki diikat ke belakang badan kemudian dipukuli, lalu digelindingkan dalam keadaan terikat.

"Itu hukuman kalau ketahuan menangkap tikus, kucing, atau burung liar untuk makan," kata dia.

Setelah 26 sandera tersebut dibebaskan dan dievakuasi ke Nairobi, Kenya, pada 23 Oktober 2016, pemerintah Indonesia yang diwakili Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) meminta pemeriksaan fisik dan psikis bagi keempat WNI tersebut.

Kemudian, setelah kembali ke Indonesia pada 28 Oktober 2016, keempatnya langsung menjalani pemeriksaan menyeluruh di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta, sebeum diserahterimakan kepada keluarga pada Senin, 31 Oktober 2016.

Pewarta: Azizah Fitriyanti

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016