Jakarta (Antara Babel) - Pembentukan karakter bangsa versi pemerintahan Presiden RI Joko Widodo adalah "Gerakan Nasional Revolusi Mental" berbasis konsep Trisakti yang pernah diungkapkan Bung Karno dalam pidato pada tahun 1963.

Penggunaan tiga pilar konsep Trisakti dalam revolusi mental tersebut membuktikan bahwa sejarah, yang memberikan gambaran peristiwa dan kejadian dalam perjalanan waktu, bukanlah sesuatu yang sudah mati, melainkan masih hidup dan memiliki relevansinya sendiri pada masa sekarang dan masa mendatang.

Oleh karena itu, pendidikan sejarah di sekolah-sekolah sudah seharusnya diarahkan tidak sekadar untuk mengetahui tanggal peristiwa yang telah selesai dan tokoh-tokoh penting saja, tetapi lebih untuk tujuan pembentukan karakter bangsa.

Sebuah negara tidak pernah bisa mendidik karakter bangsanya tanpa memberikan pelajaran sejarah mengingat salah satu sumber penting untuk melihat bagaimana seharusnya karakter bangsa adalah melalui sejarah.

Sejarawan Anhar Gonggong mengemukakan pentingnya belajar sejarah adalah agar sebuah bangsa mengetahui proses lahirnya karakter pejuang. Indonesia sendiri, kata dia, dibangun, diciptakan, dan dipertahankan oleh orang-orang yang berkarakter.

"Sukarno berkarakter, Hatta berkarakter, semua pejuang kita berkarakter, dan itu perlu diberi tahu kepada anak-anak didik. Namun, justru pendidikan karakter ini yang tidak pernah diberikan," kata Anhar.

Doktor ilmu sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu membenarkan bahwa pembelajaran sejarah di sekolah hanya menekankan pada hafalan yang bersifat nama tokoh dan angka tahun peristiwa.

Padahal, peserta didik juga perlu mengetahui karakter dari tokoh penting dan lingkungan sekitar yang membentuknya. Misalnya, yang diajarkan kepada peserta didik mengenai Perang Diponegoro hanya menyangkut tahun terjadinya perang, yaitu 1825 hingga 1830, dan juga nama tokoh-tokoh penting yang melibatkan diri dalam perang tersebut.

"Kalau hanya tahun dan nama, tidak memberikan apa-apa selain pengetahuan dasar. Akan tetapi, bisa diperkaya dengan melihat bagaimana karakter orang-orang yang terlibat dalam perang itu. Bahkan, kalau bisa memahami lingkungan pendidikannya dan bagaimana mereka membangun dirinya," ucap Anhar.

Dari pemahaman karakter para pejuang itulah terjadi pula pembentukan karakter bangsa melalui pelajaran sejarah. Peserta didik diharapkan mengetahui bahwa pejuang atau pahlawan dalam sejarah adalah orang yang bersedia melampaui dirinya.

Orang-orang yang mau menjadi pahlawan adalah orang yang menyimpang dari pola umum pada zamannya. Namun, kemudian mengubah dunia.

Anhar mencontohkan Mohammad Hatta yang merupakan doktorandus ekonomi pertama dari (Universitas) Rotterdam dan memiliki latar belakang keluarga relatif cukup kaya.

"Kalau Hatta mau hidup enak, bisa saja bekerja dengan pemerintah kolonial. Akan tetapi, dia menyimpang dari pola umum, artinya dia melampaui dirinya karena berpandangan bahwa ilmu yang dimiliki bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga orang lain dan visi ke depan," katanya.

Para pendiri Indonesia adalah orang-orang yang bermental dan berkarakter semacam Bung Hatta, yaitu mereka yang merevolusi mental dirinya sendiri. Baru kemudian setelah merasa diri mampu berubah, mereka meminta orang lain untuk berubah.

Namun, pada era sekarang justru jarang ditemui karakter semacam itu.

"Buktinya kondisi Indonesia seperti saat ini, hanya pemilihan gubernur saja harus ribut, menghilangkan banyak energi untuk saling menghujat," ucap Anhar.

Sejarawan Taufik Abdullah menilai kondisi masyarakat yang kurang memahami kehidupan berbangsa merupakan akibat dari adanya krisis saling percaya.

Untuk mengatasinya, menurut dia, perlu ada upaya pembentukan karakter bangsa yang harus dilandasi dengan fondasi berupa impian pendirian sebuah bangsa yang mewakili cita-cita dan seluruh harapan masyarakat.

"Setelah waktu berjalan, simbol kepahlawanan juga mengalami perubahan. Cita-cita murni pendirian bangsa dipertahankan bukan dengan nyawa lagi, melainkan dengan sikap," ucapnya.

Taufik beranggapan Indonesia sebagai sebuah bangsa belum mampu merumuskan impian konkret sebagai bangsa, yang sebenarnya dapat ditemukan benang merahnya melalui pemahaman sejarah.

    
Nilai Lokal
   
Untuk mengetahui kaitan antara pembentukan karakter bangsa dan sejarah, aspek pendidikannnya harus diubah dari cara pandang pencapaian hasil menjadi pembangunan karakter melalui pelibatan peserta didik.

Anhar berpendapat bahwa para pendidik sejarah di sekolah sudah seharusnya gemar membaca sejarah sehingga memiliki pengetahuan luas dan mendalam terkait dengan peristiwa sejarah.

Mereka juga perlu didorong untuk membuat rumusan pengetahuan sejarah lokal sesuai dengan lokasi lingkungan para peserta didik.

Pengetahuan sejarah lokal tersebut sebagai bahan ajar sejarah bagi peserta didik yang kemudian dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah Indonesia.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan bahwa unsur pengetahuan sejarah lokal mampu memberi gambaran konkret mengenai bagaimana mengembangkan pendidikan karakter yang tidak mengabaikan pendekatan geografis.

"Saat ini kita ketahui siswa di daerah pesisir dan pedalaman sama belajar sejarahnya, dari sini ada penglihatan berbeda bahwa kalau dibuat spesifik tergantung geografis, akan menjadikannya relevan," ucap Hilmar yang juga dikenal sebagai sejarawan tersebut.

Ia berharap unsur-unsur sejarah lokal dapat dimunculkan dan diperkuat melengkapi pendidikan sejarah di sekolah-sekolah sehingga menjadi lebih spesifik secara geografis.

Cara memperkuat elemen lokal dalam pendidikan sejarah adalah melalui konferensi-konferensi sejarah di tingkat regional untuk membahas mengenai temuan-temuan lokal di daerah.

Temuan-temuan di tingkat regional tersebut dapat membantu perumusan kawasan-kawasan historis secara cermat sekaligus mewujudkan pendidikan sejarah yang spesifik secara geografis.

Misalnya, pengetahuan mengenai Kepulauan Nusa Utara, kawasan pulau-pulau di wilayah Sulawesi Utara dan Maluku Utara yang sebenarnya merupakan satu kawasan secara historis.

Mengenai sejarah awal mula perdagangan rempah Nusantara yang dimulai di Pulau Run, Banda, Maluku Tengah.

Pengetahuan-pengetahuan tersebut, menurut Hilmar, kurang muncul sebagai studi kasus untuk penelitian maupun bahan makalah sejarah tingkat nasional.

Kesadaran sejarah lokal menurut geografis semacam itu perlu diterapkan sehingga peserta didik bisa mengenal sejarah lokalnya secara lebih baik dan tidak terasing serta tercerabut dari lingkungan sosial-budaya pembentuk identitas bangsa Indonesia yang beradab.

Pewarta: Calvin Basuki

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016