Jakarta (Antara Babel) - Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar meyakinkan bahwa skema bagi hasil produksi migas dengan "gross split" tidak akan merugikan negara.

Arcandra dalam seminar tentang "gross split" di Jakarta, Kamis, menjelaskan skema tersebut tidak akan merugikan negara lantaran kendali tetap dipegang negara, termasuk penentuan bagi hasil dari produksi bruto (gross) migas.

Ia juga memastikan besaran bagi hasil untuk pemerintah dan kontraktor telah dihitung berdasarkan kalibrasi terhadap 10 Wilayah Kerja (WK) migas yang bisa dianggap mewakili sistem PSC di Indonesia yang rata-rata sebesar 40 persen hingga 70 persen menjadi bagian pemerintah.

Besaran bagi hasil minyak yang didapat pemerintah adalah 57 persen dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sebesar 43 persen. Sedangkan bagi hasil gas untuk pemerintah 52 persen dan KKKS 48 persen.

"Ini 'gross' lho, biaya operasi kontraktor yang tanggung. Kalau menggunakan PSC (kontrak bagi hasil cost recovery) biayanya ditanggung negara," tegasnya.

Dalam skema "cost recovery" (pengembalian biaya operasi migas), pemerintah memang mendapatkan bagi hasil yang lebih besar, yakni 85 persen untuk minyak dan 70 persen untuk gas.

Namun, pemerintah masih harus membayar biaya pengembalian operasi kepada kontraktor yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tiap tahunnya.

Penerapan skema "gross split" diyakinkan Arcandra tidak akan mengganggu penerimaan negara lantaran bagi hasil dilakukan di atas di mana biaya produksi ditanggung sepenuhnya oleh KKKS.

"Kita baginya di atas, 'cost' mereka yang tanggung. Mau seribu, seratus itu enggak ada hubungannya dengan APBN. Jadi kami mau 'production split' di awal sehingga negara tidak rugi," ujarnya.

Arcandra memaparkan sejumlah manfaat penerapan skema "gross split", yakni membagi upaya dan hasil yang setara untuk mewujudkan cita-cita efisiensi bagi kedua pihak.

Risiko bisnis dalam skema baru itu pun dapat dimitigasi dengan insentif bagi hasil. Termasuk di dalamnya adalah komponen tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang sempat jadi sorotan.

Skema "gross split" juga diyakini dapat mempersingkat bisnis proses hingga 2-3 tahun sehingga produksi dini dapat terjadi.

"Yang jelas, paling tidak bisa hemat 2-3 tahun untuk 'time to production' (waktu hingga produksi)," tuturnya.

Skema itu diharapkan menjamin pendapatan negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

"Serta penguatan fungsi SKK Migas sehingga lebih fokus menjalankan fungsi sebagai badan pengawas dan pelaksana," tegas Arcandra.

Pewarta: Ade Irma Junida

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017