Jakarta (Antara Babel) - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan keuntungan negara lebih besar dalam menggunakan skema kontrak migas bagi hasil "gross split", lebih besar dengan dasar pembagian 50:50 dibandingkan menggunakan "cost recovery".
Arcandra memaparkan bahwa sistem "product sharing contract (PSC) cost recovery" (biaya ganti rugi) dengan porsi negara 85:15 dengan kontraktor memang terlihat lebih besar keuntungannya, namun negara juga harus menanggung biaya ganti rugi produksi yang akan mengurangi hasil.
"Dilihat dari persentasenya, kelihatannya lebih besar 85, tapi besarnya dari nett, sedangkan gross split kelihatannya kecil hanya 50, tapi dari gross," kata Arcandra pada acara "Learning Session" tentang Gross Split di Kementerian ESDM Jakarta, Jumat.
Arcandra mencontohkan pada sistem cost recovery, jika produksi minyak 100 persen, kemudian biaya ganti rugi yang ditentukan oleh kontraktor mencapai 90 persen, negara hanya mendapat bagi hasil minyak 8,5 persen, sedangkan kontraktor meraup hasil 1,5 persen ditambah dana ganti rugi atas segala aktivitas produksi.
Sementara dalam skema gross split, negara tidak menanggung biaya produksi, termasuk penggunaan teknologi yang dipilih kontraktor kontrak kerja sama (K3S). Dasar bagi hasil hanya mengacu pada base split 50:50.
Menurut Arcandra, biaya produksi akan menjadi lebih efisien karena proses pengadaan dilakukan mandiri dari kontraktor. Selain itu, biaya ganti rugi produksi tidak lagi masuk dalam APBN.
"Kalau cost ditanggung sendiri, dia akan cari yang paling murah. Secara behaviour, kecenderungan orang akan berusaha sehemat mungkin dibanding kalau costnya negara yang tanggung," kata Arcandra.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Migas I Gusti Wiratmadja mengatakan pemerintah juga akan mendapat tambahan dari pajak yang dibayarkan korporasi, berbeda dengan sistem lama dengan 85 persen termasuk pajak.
Wirat menjelaskan dengan skema gross split, pemerintah mendapat bagian hasil minyak 57 persen, sedangkan kontraktor 43 persen mengacu pada aturan base split yang tercantum dalam Permen 08 Tahun 2016 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Lebih lanjut lagi, Wirat menjelaskan ada tiga komponen bagi hasil yang diaplikasikan, yakni base split yang ditentukan pemerintah, variabel split dan progresif split. Kementerian ESDM pun menyederhanakan 10 faktor dalam variabel split yang akan memengaruhi intensif kontraktor, yakni status blok, kondisi lapangan, kedalaman sumur (reservoir) dan infrastruktur yang ada serta Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
"Dengan gross split, kalau TKDN tinggi, langsung dapat insentif. Insentifnya sudah jelas di awal, sedangkan di PSC lama banyak debatnya, jadi sifatnya kami tidak memaksa," kata Wirat.
Progresive split ditentukan berdasarkan harga minyak dunia saat itu dan fluktuasi produksi minyak. Dengan demikian, negara juga akan mendapat porsi jika harga minyak sedang tinggi.
Kementerian ESDM menyatakan skema gross split digunakan pada kontrak migas baru dan determinasi, sementara kontrak perpanjangan dapat memilih memakai skema baru atau cost recovery.