Jakarta (Antara Babel) - Langkah menunggu dan mengantisipasi kini sedang dilakukan pemerintah Indonesia berkaitan dengan terbitnya perintah eksekutif Presiden AS Donald Trump.

Trump beberapa waktu lalu mengeluarkan perintah eksekutif untuk melakukan investigasi terhadap negara-negara yang menyumbang terjadinya defisit neraca perdagangan negara adidaya itu.

Indonesia pantas mengambil langkah-langkah tersebut karena menjadi salah satu negara yang disebut oleh Trump sebagai negara yang merugikan kepentingan AS.

Perintah eksekutif itu sendiri bertujuan melindungi perekonomian AS dari politik dumping yang dilakukan negara mitra dagang dan manipulasi kurs yang membuat harga barang impor lebih murah.

Dalam perintah eksekutif tersebut Indonesia menempati peringkat negara ke-15 yang memiliki surplus perdagangan dengan AS.

Posisi pertama ditempati oleh Tiongkok dengan surplus 347 miliar dolar AS, disusul Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia, Korea Selatan, Malaysia, India, Thailand, Prancis, Swiss, dan termasuk Taiwan.

Saat ini, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS mencapai 8,8 miliar dolar AS pada 2016, meski AS mengklaim mengalami defisit neraca perdagangan dengan Indonesia hingga 13 miliar dolar AS.

Trump memang belum merinci kemungkinan pemberian sanksi kepada negara-negara dimaksud. Namun, bagi Indonesia bisa jadi kebijakan Trump itu menjadi ancaman karena AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.

Kenapa Indonesia?

Sembari menunggu hasil investigasi tersebut, menarik dicatat tentang mengapa Indonesia masuk di dalam daftar sebagai negara yang merugikan AS dalam perdagangan.

Sejumlah kalangan mempertanyakan kebijakan Trump itu. Bahkan bisa saja ada anggapan bahwa Trump "salah alamat" dengan menaruh Indonesia dalam daftar tersebut.

Menko Perekonomian Darmin Nasution misalnya. Ia mempertanyakan kebijakan tersebut. Indonesia memang mengalami surplus neraca perdagangan dengan AS sebesar 8,8 miliar dolar AS pada 2016.

Namun, hal itu belum tentu membuat AS mengalami kerugian, karena negara adidaya itu bisa saja memiliki surplus dengan Indonesia di neraca jasa dan lainnya.

Hal ini dimungkinkan karena hubungan Indonesia dengan AS tidak hanya dalam perdagangan barang, tapi ada juga perdagangan jasa, dan investasi. Bisa saja kalau ditotal hasilnya berbeda.

Karena itu, menurut Darmin, pemerintah Indonesia masih menunggu hasil analisis perintah eksekutif yang dikeluarkan Presiden Donald Trump tersebut.

Dengan demikian, belum ada langkah yang diambil pemerintah, namun pendekatan melalui komunikasi secara intens dengan pihak AS terus diupayakan serta menyiapkan berbagai antisipasi apabila diperlukan.

Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menilai Indonesia tidak merugikan nilai perdagangan AS.

Menurut dia, ada tiga kriteria suatu negara yang bisa dianggap merugikan AS dalam sektor perdagangan, yaitu negara tersebut mempunyai surplus neraca perdagangan lebih dari 20 miliar dolar AS dengan negara adidaya itu. Indonesia hanya surplus sekitar 13 miliar dolar AS, berdasarkan klaim AS.

Kemudian, negara tersebut mempunyai surplus neraca transaksi berjalan secara total dari segi ekspor maupun impor barang dan jasa. ¿Current account¿ Indonesia saat ini defisit 1,8 persen-2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Terakhir, negara tersebut melakukan intervensi nilai tukar mata uang secara terus-menerus selama satu tahun dengan tujuan melemahkan kurs agar nilai ekspor ke AS menjadi lebih murah.

Indonesia, menurut Mirza, tidak pernah sengaja melakukan pelemahan mata uang rupiah untuk mendorong ekspor ke AS.

Selama ini, kalau ada gejolak mata uang, BI masuk ke pasar untuk pengendalian guna mencegah rupiah menjadi terlalu lemah.

Introspeksi

Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan mengirim pesan yang sangat jelas.

Wapres minta sebaiknya AS melakukan mawas diri atau introspeksi diri dalam praktik perdagangannya. Banyak negara kini mengalami defisit dalam perdagangan internasionalnya.

"Trump mengatakan kita curang karena menyebabkan defisit, banyak negara yang defisit, tapi namanya perdagangan itu 'fair', kalau terjadi begitu Amerika harus introspeksi, kenapa kita kurang mengimpor barang dari Amerika, karena mereka mahal," kata Wapres.

Karena itu, Wapres menilai perdagangan bilateral Indonesia dengan AS terbuka dan tidak ada kecurangan, karena mereka juga defisit juga terhadap negara-negara lain.

Indonesia tidak bisa dikatakan melakukan kecurangan dalam perdagangan bilateral itu. Alasannya, Indonesia tidak pernah memaksakan AS untuk beli barang Indonesia, tapi karena barang Indonesia baik dan murah, jadi mereka beli.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menambahkan bahwa dalam perdagangan internasional, Indonesia selalu memperhatikan azas saling menguntungkan dengan mitra dagang dan tunduk terhadap peraturan perdagangan global.

Salah satunya dengan mematuhi aturan yang tercantum dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya.

Karena itu, katanya, Indonesia harus melihat masalah perintah eksekutif itu secara komprehensif. Artinya, bisa saja di satu sisi Indonesia surplus dalam perdagangan barang, namun bagaimana dengan perdagangan jasa dan lainnya.

Agar mencapat pemahaman secara komprehensif, Menlu Retno juga telah memanggil Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph Donovan untuk mendiskusikan masalah perdagangan bilateral itu.

Pewarta: Ahmad Buchori

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017