Jakarta (Antara Babel) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Loade M Syarif menyatakan pihaknya tidak bermaksud untuk melecehkan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI karena menolak menghadirkan Miryam S Haryani dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket.

"KPK tidak pernah bermaksud untuk melecehan lembaga DPR yang terhormat, KPK hanya mengutip beberapa pasal di Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang KPK," kata Syarif di Jakarta, Selasa.

Selain itu, kata dia, KPK mengingatkan bahwa tindakan memanggil tersangka atau tahanan yang sedang diperiksa KPK dapat diartikan "obstruction of justice".

"Karena proses hukum tidak boleh dicampuradukkan dengan proses politik yang proses dan substansinya dinilai oleh mayoritas pakar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara sebagai cacat hukum," ucap Syarif.

Sebelumnya, KPK menegaskan tidak akan menghadirkan tersangka pemberian keterangan palsu dalam sidang KTP Elektronik Miryam S Haryani meskipun sudah menerima surat dari Pansus Angket KPK DPR RI terkait pemanggilan Miryam.

Surat tersebut diterima pada tanggal 15 Juni 2017 yang ditujukan kepada Ketua KPK Agus Rahardjo.

KPK sendiri sudah menandatangani surat itu sebagai respons terhadap surat yang ditandatangani oleh Wakil Ketua DPR RI terkait dengan permintaan menghadirkan Miryam.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (19/6) menyatakan pihaknya tidak memberikan kehadiran Miryam karena masih dalam proses penahanan di KPK dan sedang dalam proses hukum juga di penyidikan serta akan segara dilimpahkan ke pengadilan.

Menurut Febri, KPK juga menjelaskan kalau itu terkait penanganan perkara, maka ada klausul yang sangat tegas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang perlu kami wajib patuhi, yaitu sifat KPK sebagai lembaga yang independen sehingga pengaruh dari kekuasan manapun terkait dengan penanganan perkara tidak dilakukan.

"Karena kalau kita menengok kasus penanganan perkara itu adalah bagian turunan dari kewenangan di konstitusi yang diatur terkait Badan-Badan Kehakiman dan kami harus mematuhi hal tersebut," tuturnya.

Ia juga menyatakan bahwa surat yang diterima KPK dari DPR RI tersebut tidak dicantumkan adanya keputusan DPR RI tentang pembentukan Pansus Hak Angket.

"Yang dihadirkan adalah surat permintaan untuk menghadirkan Miryam, jadi kami belum merasa cukup jelas dengan Pansus Hak Angket DPR tersebut," ucap Febri.

Sementara itu atas ditolaknya permintaan untuk menghadirkan Miryam oleh KPK, Pansus Hak Angket KPK akan mengirimkan surat panggilan kedua terhadap Miryam.

Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.

Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.

Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel nyatakan lupa.

KPK telah menetapkan mantan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani sebagai tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP Elektronik (KTP-E) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017