Dalam praktik demokrasi yang lazim, setidaknya yang diperagakan oleh sistem politik yang telah matang dan berusia ratusan tahun, pertarungan politik nasional mengenai isu-isu strategis cukup diwadahi oleh partai politik yang berkuasa melawan partai politik yang memosisikan diri sebagai oposan.

Partai oposisi menyerap aspirasi publik yang tak tertampung dalam kebijakan pemerintah. Masyarakat yang terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah pada gilirannya sangat mungkin akan memberikan dukungan politik pada partai oposisi tersebut.

Namun kelaziman itu tak selamanya berlangsung dalam percaturan politik. Apa yang berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat saat ini dengan terbentuknya Panitia Angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi memperlihatkan fenomena lain dari kelaziman praktik demokrasi.

Dapat diformulasikan di sini bahwa gejala politik di Tanah Air saat ini mengindikasikan berlangsungnya pertarungan kepentingan kelompok oligarkhis sejumlah politisi berhadapan dengan kepentingan publik.

Artinya, kepentingan oligarkhis itu direpresentasikan oleh sekumpulan para politisi, baik dari partai politik yang mengendalikan pemerintahan dan parpol pendukungnya serta parpol yang sejatinya tak masuk dalam bagian pendukung pemerintahan, yang kesemuanya tergabung dalam panitia angket DPR terhadap KPK.

Fenomena pertarungan kepentingan kelompok oligarkhis berhadapan dengan publik itu kian mencolok dengan terbentuknya aliansi lebih dari 300 guru besar di sejumlah perguruan tinggi di Tanah Air yang menolak proses angket terhadap KPK dan mendukung eksistensi lembaga antirasuah itu.

Tampaknya, nalar publik sederhana saja dalam menolak proses angket DPR terhadap KPK itu. Mereka respek dan memberikan apresisasi terhadap kinerja KPK selama ini, yang sukses dalam mengamankan uang negara dan melakukan operasi tangkap tangan terhadap para koruptor, baik di pusat pemerintahan maupun di daerah-daerah.

Perlawanan publik terhadap proses angket juga dilakukan lewat upaya legal dengan permohonan uji materi Pasal 79 Ayat (3) Undang-undang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) ke Mahkamah Konstitusi, yang dilakukan oleh para mahasiswa dan dosen.

Sebelumnya, suara-suara dari kalangan pakar politik dan hukum yang menentang pembentukan panitia angket terhadap KPK juga cukup marak digaungkan.

Publik menengarai bahwa pembentukan angket terhadap KPK itu adalah upaya politik dari kalangan politisi sejumlah parpol yang sebagian di antara mereka terancam oleh langkah KPK dalam menuntaskan dugaan korupsi senilai lebih dari Rp2 triliun, yang berhubungan dengan anggaran proyek KTP elektronik.

Meratanya politisi di hampir semua parpol yang diduga tersangkut dengan kasus yang merugikan uang rakyat itu bermuara pada terbentuknya kepentingan oligarkhis, yang tak lagi membuat pemisahan siapa politisi pendukung pemerintah dan siapa yang berada di luarnya.

Tak bisa disangkal bahwa meruyaknya aliran dana korupsi yang sampai ke totkoh politisi senior pun makin mengkristalkan kelompok oligarkhis politisi Senayan, yang membuat panitia angket terhadap KPK kian sulit dibendung.

Bersamaan dengan bergulirnya kerja panitia angket terhadap KPK, publik pun tak tinggal diam. Dukungan penolakan terhadap proses angket kian menguat.

Merasa tak mendapat sambutan yang sesuai dengan aspirasinya, salah seorang politisi Partai Golkar yang juga anggota panitia angket mengeluarkan gertakan politik, baik kepada KPK maupun Polri, bahwa DPR tak akan memberikan anggaran untuk tahun 2018 kepada dua institusi penegak hukum itu.

Gertakan politik itu muncul karena KPK tak memenuhi permintaan panitia angket untuk menghadirkan Miryam S Haryani, politisi Partai Hanura, yang ditahan KPK, untuk didengar keterangannya dalam rapat angket. Sedangkan gertakan kepada Polri muncul setelah Kapolri Tito Karnavian mengisyaratkan tak akan menuruti panitia angket untuk mengambil paksa Miryam S Haryani dari tahanan KPK.

Tampaknya, dalam menghadapi kelompok oligarkhis yang mengkristal di kubu panita angket DPR, publik pada penghujung perjuangan mereka untuk mendukung KPK dari ikhtiar pelemahan wewenangnya dapat menggantungkan harapan pada Presiden Joko Widodo.

Di tangan Jokowi lah publik, yang sangat berkepentingan dengan kesintasan KPK dalam menjalankan tugas vitalnya menyelamatkan uang rakyat, menaruh kepercayaan.

Sebagai presiden yang menjadi bagian dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang tak sepenuhnya dalam kendalinya, Jokowi tentu akan berhadapan dengan politisi senior di internal partai.

KPK yang beberapa kali dicoba untuk dilemahkan wewenangnya sejak pemerintahan SBY lewat manuver politisi di Senayan berhasil untuk sintas berkat manuver politik Presiden SBY.

Publik kini tentu akan berharap bahwa Jokowi juga mengikuti jejak langkah positif SBY selama menjadi Presiden dalam mengamankan eksistensi KPK dalam memberantas kejahatan kerah putih yang berdampak pada kesejahteraan publik itu.

Sebagai pemilik suara yang bagaikan sang raja di hari pencoblosan dalam pemilu legislatif, publik pun perlu mencatat politisi mana saja yang sepak terjangnya selama ini sangat berambisi untuk mengebiri KPK.  Di saat itulah, catatan itu perlu disimak kembali dan digunakan sebagai alasan untuk menghukum politisi tersebut dengan tidak memilihnya sebagai wakil rakyat.

Pengebirian wewenang KPK di saat korupsi masih menggejala seperti sekarang ini sama saja dengan membuka gembok penjara dan membiarkan penjahat bebas menjarah merajalela.

Pewarta: M Sunyoto

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017