Jakarta (Antara Babel) -Sebagai bangsa yang terdiri atas berbagai suku, bahasa, budaya, agama dan kepercayaan, bangsa Indonesia telah bersepakat untuk hidup bernegara menjadi satu kesatuan dalam sebuah "rumah besar".

Namun, Bhinneka Tunggal Ika dalam sebuah "rumah besar" tampaknya mendapat tantangan dari isu intoleransi dan konflik horizontal yang terjadi di masyarakat. Karena itu, Indonesia sebagai sebuah "rumah besar" pun dipertanyakan.

Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Makmuri Sukarno menilai Indonesia saat ini masih sekadar menjadi "hotel besar" bagi rakyat Indonesia yang bhinneka karena masih banyak interaksi berdasarkan kesamaan latar belakang suku, agama, ras dan antargolongan.

"Masih banyak yang berkumpul-kumpul berdasarkan kesamaan etnis, agama atau kelas. Indonesia harus bisa menjadi 'rumah besar' dengan membuat ruang-ruang perjumpaan antaretnis, antarkelas dan antargolongan," kata Makmuri.

Makmuri mengatakan pendidikan di sekolah-sekolah sebenarnya memiliki banyak hal positif untuk membangun kebangsaan. Namun, yang jadi masalah adalah saat pemuda Indonesia selesai bersekolah.

Pasalnya, yang ditemui para lulusan sekolah itu adalah ketidakadilan, sikap primordial, menyuap atau menyogok untuk mendapatkan pekerjaan dan lain-lain. Hal indah yang dibangun semasa di sekolah tidak ditemukan di dunia nyata.

Makmuri mencontohkan permukiman yang khusus dihuni kelompok etnis, agama atau kelas tertentu yang tidak menciptakan interaksi antarkultur, antaragama dan antarkelas mengakibatkan nilai-nilai Pancasila yang dipelajari di sekolah tidak ditemui di dunia nyata.

Karena itu, Makmuri mendesak pemerintah agar berupaya menghilangkan sekat-sekat antaretnis, antaragama dan antarkelas dengan membuat ruang-ruang perjumpaan.

"Itu tugas semua kementerian, bukan hanya kementerian tertentu," ujarnya.

Perilaku primordial

Celakanya, perilaku primordial tidak hanya terjadi di antara masyarakat, tetapi juga merambah di antara para pejabat negara.

Deputi Bidang Advokasi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP) Prof Dr Hariyono  mengatakan Pancasila sebagai dasar negara belum dilaksanakan sepenuhnya karena masih ada penyelenggara negara di daerah yang berperilaku primordial.

"Masih ada kebijakan atau peraturan yang sifatnya masih primordial. Misalnya, pejabat tertentu di wilayah tertentu harus dijabat oleh putra daerah," katanya.

Menurut Hariyono, kebijakan tidak kondusif yang tidak sesuai dengan Pancasila itu masih banyak ditemukan, terutama di pemerintah daerah.

Bahkan, seringkali seorang kepala dinas dipilih hanya karena merupakan putra daerah, tanpa mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan kemampuan yang sesuai dengan dinas yang akan dipimpinnya.

Hariyono mengatakan melaksanakan nilai-nilai Pancasila bukan sekadar dengan menghafalkan kelima sila, melainkan yang paling pokok adalah upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Masalahnya, generasi muda saat ini mengalami disorientasi karena kehidupan masyarakat seringkali berbeda dengan nilai-nilai Pancasila.

"Karena itu, perlu strategi pembelajaran yang manusiawi. Pendidikan pembelajaran saat ini seringkali tidak kontekstual dengan kehidupan bermasyarakat," tuturnya.

Hariyono mengatakan keberadaan UKPPIP merupakan upaya pemerintah agar anak-anak Indonesia tidak jauh dari nilai-nilai kebajikan. Apalagi, hubungan orang tua dengan anak di masa modern saat ini semakin renggang.

"Saat orang tua tidak bisa menjadi panutan, anak akan mencari panutan yang lain. Di era media sosial saat ini, anak mudah mendapatkan panutan, yang tidak selalu positif. Dunia pendidikan Indonesia harus menyikapi hal ini," katanya.

    
Sangat cair

Padahal, mantan Rektor UIN Jakarta Azyumardi Azra menilai masyarakat Indonesia merupakan bangsa yang sangat cair dan tidak mudah terpecah-pecah.

Dia mencontohkan meskipun menjadi negara dengan umat Muslim terbesar, tidak semua forum yang diselenggarakan memisahkan antara laki-laki dan perempuan.

Menurut Azyumardi, perbedaan yang ada pada bangsa Indonesia telah melebur. Meskipun masih ada nama-nama kampung berdasarkan etnis tertentu, penghuninya saat ini sudah multietnis dari berbagai kalangan dan agama.

"Bandingkan dengan kawasan Harleem di New York yang hanya dihuni kalangan kulit hitam, atau bagaimana di Malaysia dan Singapura. Bangsa Indonesia lebih terintegrasi. Saya lebih optimis dengan bangsa Indonesia," katanya.

Namun, Azyumardi menilai pembangunan perumahan-perumahan eksklusif perlu diwaspadai karena bisa menimbulkan kecemburuan sosial dan akan menjadi sasaran bila kecemburuan tersebut meledak.

"Ruang dan wilayah kita perlu ditata ulang. Tidak hanya fisiknya, tetapi juga harus mempertimbangkan sosial, budaya dan keagamaan," katanya.

Menurut Azyumardi, penataan ruang dan wilayah yang tidak hanya fisik tetapi juga sosial, budaya dan keagamaan lebih banyak menjadi peran pemerintah daerah. Karena itu, pemerintah daerah tidak boleh membiarkan pembangunan perumahan-perumahan eksklusif hanya dengan alasan investasi semata.

Azyumardi mengatakan ketika perumahan-perumahan eksklusif dibangun, yang berubah di wilayah tersebut bukan hanya lanskap fisik tetapi juga lanskap sosial, budaya dan keagamaan.

"Bisa jadi di wilayah itu sebelumnya perkampungan, ada banyak masjid, setiap hari terdengar suara adzan. Setelah perumahan-perumahan modern dibangun, tidak ada lagi masjid dan suara adzan. Perubahan lanskap sosial, budaya dan keagamaan itu bisa menjadi awal dari konflik dan intoleransi," tuturnya.

Pewarta: Dewanto Samodro

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017