Ketika Presiden Joko Widodo meminta Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) untuk membantu masyarakat menghargai perbedaan, di situ ada sebentuk keugaharian(kepolosan, keluguan) dalam politik.

Artinya, mereka yang ditugasi menggerakkan UKP-PIP itu tak diberi target yang terlalu tinggi seperti meningkatkan kesadaran penyelenggara negara dan warga masyarakat untuk semakin menjiwai nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila.

Presiden agaknya menyadari bahwa target yang terlalu tinggi itu pastilah sebuah utopia, ilusi yang hanya melahirkan kekecewaan di ujung atau akhir pemerintahannya.

Meski tampak bersahaja, tugas yang berupa membantu masyarakat menghargai perbedaan bukan tugas yang ringan mengingat tantangan berupa kecenderungan sektarian yang kian menguat belakangan ini.

Yudi Latif, yang mengepalai UKP-PIP, dituntut untuk menjabarkan permintaan Kepala Negara itu dalam bentuk kegiatan strategis agar target yang ditetapkan itu bisa terealisasi dan bisa diukur hasilnya.

Untuk merealisasikan keinginan Presiden, UKP-PIP yang tak punya organ institusional yang menjangkau hingga pelosok-pelosok daerah, perlu memanfaatkan atau sedikitnya bekerja sama dengan kementerian teknis, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Lewat institusi inilah berbagai gagasan tentang pembinaan ideologi Pancasila yang antara lain mendorong peserta didik untuk menghargai perbedaan dalam segala aspek kehidupan diajarkan.

Itu dilakukan untuk tataran peserta didik sementara untuk tataran masyarakat di luar lembaga pendidikan, pelibatan organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam bentuk diskusi terfokus bisa dilakukan secara intensif.

    
Libatkan kelompok

Segera setelah dilantik menjadi Kepala UKP-PIP, Yudi Latif sudah berancang-ancang untuk melibatkan kelompok atau komunitas dalam masyarakat untuk membantu menerapkan nilai-nilai Pancasila secara nyata.

Namun, langkah konkret ke arah pelibatan komunitas warga itu masih belum dimulai. Yang dilakukan Yudi Latif adalah  mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pernyataannya, Kepala UKP-PIP itu kepada pers memperlihatkan paralelisme antara lembaga yang dipimpinnya dan lembaga antirasuah yang sama-sama mempunyai visi dan misi untuk mencegah korupsi.

Keteladanan penyelenggara negara untuk tidak korupsi adalah bentuk pengejahwantaan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Menurut Yudi Latif, omong kosong untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila tanpa keteladanan dari penyelenggara negara.

Nah, di sinilah  yang akan menjadi inti problematik tugas yang akan diemban oleh Yudi Latif dan para staf di UKP-PIP. Mereka jelas tak mau mengulang apa yang pernah dilakukan para penatar di Badan Pembina Pendidikan, Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang berbusa-busa menguraikan 36 butir-butir Pancasila.

Di era ketika Orde Baru menguasai perpolitikan di Tanah Air, indoktrinasi Pancasila dalam bentuk penataran dijadikan instrumen untuk mengukur kesetiaan warga, pegawai dan pejabat terhadap Pancasila.

Yudi Latif sadar betul bahwa publik pasti mewaspadai apa yang akan dilakukan oleh institusi yang dikepalainya. Itu sebabnya dia tak akan berpretensi untuk menjadikan UKP-PIP sebagai lembaga indoktrinasi nilai-nilai Pancasila.

Yang paling realistis untuk mencegah terulangnya kekeliruan yang pernah dilakukan oleh lembaga BP7 adalah meminimalisasi program pembinaan dalam bentuk ceramah.

Lebih aman jika UKP-PIP bekerja dalam bentuk pengumpulan masukan gagasan segar dan membumi bagaimana publik di seantero negeri telah menjalankan atau mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan menerbitkannya dalam bentuk buku atau jurnal yang bisa disebarkan ke publik maupun lembaga atau instansi pemerintah.

Sebagai contoh, praktik menghormati perbedaan yang merupakan jiwa dari sila pertama Pancasila sesungguhnya telah secara turun-temurun dipraktikkan warga Sumba Timur hingga saat ini.

Para pimpinan dan staf UKP-PIP bisa menggali nilai-nilai itu dengan mengajak diskusi terfokus dengan para tokoh masyarakat Sumba Timur dan jika perlu menayangkan diskusi itu dalam bentuk program televisi yang bisa disaksikan warga di Tanah Air.

Di komunitas Sumba Timur, satu keluarga bisa memiliki anggota-anggotanya yang berbeda aliran kepercayaan atau religi tanpa terjadi gesekan yang merisaukan. Kedamaian dalam perbedaan iman itu terefleksi dalam kehidupan komunitas yang punya akar kultur Marapu, agama tradisi suku di pulau yang sebagian besar berbentuk padang rumput dan ilalang itu.

Itu contoh nyata realisasi nilai-nilai yang terkandung pada sila pertama Pancasila. Untuk menemukan wujud nyata nilai-nilai kerja keras dan keadilan sosial yang terkandung dalam sila kelima Pancasila, UKP-PIP bisa menimbanya dari komunitas warga Wonogiri yang tinggal di perantauan, entah di Jakarta atau di Papua.

Mereka inilah para perantau yang bekerja keras dan menyisakan hasilnya untuk dikirim ke kampung halaman untuk membangun desa mereka yang umumnya kurang subur untuk menghasilkan panen yang melimpah.

Begitu juga untuk menimba nilai-nilai persatuan kebangsaan, UKP-PIP bisa melakukan interaksi dengan warga yang berjiwa kosmopolitan di kompleks-kompleks di Jakarta atau di mana pun yang memperlihatkan interaksi yang harmonis di antara berbagai etnis dan ras yang berbeda tapi tetap bersatu.

Contoh pengamalan nilai kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam sila kedua atau sikap musyawarah sebagaimana terkandung dalam sila keempat dalam Pancasil juga bisa ditemukan di bernagai ranah kehidupan sosial di Tanah Air.

Dengan menimba semua nilai-nilai yang dihayati dan diamalkan dan direkam dalam bentuk multimedia, UKP-PIP tak akan menjadi corong indoktrinasi sebagaimana dilakukan oleh BP7 di masa silam.

Pewarta: M Sunyoto

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017