Astana, Kazakhstan (Antara Babel) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan perlu ada keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait status tersangka Ketua DPR Setya Novanto agar lembaga tersebut efektif.

"DPR menganut sistem praduga tidak bersalah sehingga baru bisa apabila terjadi keputusan hukum tetap, tapi dibutuhkan juga keputusan DPR Kalau begini terus tentu efektivitas pimpinan DPR tidak efektif," kata Wapres di Astana, Senin.

Hal itu disampaikan Wapres menanggapi status tersangka Setya Novanto, tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek KTP-elektronik (KTP-e) pada 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.

Setya Novanto dijadwalkan untuk diperiksa, namun ia tidak memenuhi panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin, karena sakit.

Menurut Wapres, tentu ada alasan-alasan tertentu terkait ketidakhadiran Novanto dan tentu KPK menghargai alasan tersebut.

"Tapi tentu ada batasnya juga, tidak boleh terus begitu, ya kita tunggu saja proses hukumnya," tambah Wapres Kalla.

Dia juga mengatakan kinerja DPR tentu tidak efektif karena status tersangka tersebut, namun DPR tentunya tidak diukur perorangan tapi lembaga, di samping ada ketua juga ada empat wakil ketua sehingga jika ada masalah dengan ketuanya tentu harus dipilih lagi.

Menanggapi perlu tidaknya Ketua DPR segera diganti, menurut Wapres, DPR menganut sistem praduga tidak bersalah sehingga baru bisa apabila terjadi keputusan hukum tetap, tapi dibutuhkan juga keputusan DPR.

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-e) pada 2011-2012 di Kemendagri, Senin (17/7).

"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR RI periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (17/7).

Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Setya Novanto juga telah mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang perdana praperadilan Novanto dijadwalkan pada Selasa (12/9).

Pewarta: Desi Purnamawati

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017