Hoaks (hoax) sedang jadi "trending" di awal tahun 2017 saat pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar di 101 daerah, bahkan berlanjut menjalang akhir tahun ini.

Pemerintah dan Dewan Pers sedang memerangi hoaks, antara lain, dengan menekan media nonpers yang disebut sebagai media abal-abal.

Dewan Pers bahkan akan memasang "barcode" bagi media yang terdaftar di Dewan Pers untuk membedakannya dengan media nonpers.

Namun, Dewan Pers juga mestinya sadar bahwa muncul dan menggejalanya hoaks dan media abal-abal karena media "mainstream" hampir semuanya "tidak berimbang" dalam pemberitaan. Hal ini menjadi lahan subur bagi para pengelola media hoaks untuk berbagai kepentingan.

Terbongkarnya sindikat Saracen yang diduga aktif menyebarkan berita bohong merupakan keberhasilan polisi ini cukup besar dampaknya pada masyarakat, khususnya bagi mereka yang selama ini belum percaya bahwa penyebaran hoaks itu ada yang mengorganisasi.

Polri mengungkapkan penangkapan tiga pimpinan sindikat Saracen yang diduga berada di balik sejumlah berita bohong dan provokatif bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial. Penyebaran hoaks itu, antara lain, berisi berita yang  memojokkan pemerintah, agama Islam, Kristen, dan kelompok lain yang dapat memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa.

Dari hasil penyelidikan forensik digital, terungkap sindikat ini menggunakan grup Facebook, di antaranya Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracennews.com, untuk menggalang lebih dari 800.000 akun palsu.

Selanjutnya, pelaku mengunggah konten provokatif bernuansa SARA dengan mengikuti perkembangan tren di media sosial. Unggahan tersebut berupa kata-kata, narasi, maupun meme yang tampilannya mengarahkan opini pembaca untuk berpandangan negatif terhadap kelompok masyarakat lain.

Pengungkapan sindikat ini menunjukkan bahwa banjir hoaks, berita palsu, serta berbagai provokasi bernada kebencian dan prasangka SARA, tidak semata merupakan tindakan dan prakarsa individu, tetapi sudah terorganisasi rapi dan beraspek komersial, bahkan dibuat  berdasarkan pesanan. Kelompok ini biasanya hadir karena ada kepentingan kelompok tertentu. Mereka disewa berdasarkan pesanan untuk menyebarkan kebencian.

Modusnya, sindikat yang beraksi sejak November 2015 itu mengirimkan proposal kepada sejumlah pihak, kemudian menawarkan jasa penyebaran ujaran kebencian bernuansa SARA di media sosial. Dalam satu proposal, kurang lebih setiap proposal nilainya puluhan juta.

Pemerintahan Joko Widodo berkomitmen menindak tegas penyebar informasi palsu di dunia maya yang memprovokasi, menyebar kebencian, dan memupuk paham radikal. Di antara puluhan ribu situs yang menamakan dirinya media massa, siapa yang bisa kita percaya? Ada 40.000-an website yang mengaku media "online" tetapi tidak terdaftar.

Merujuk pada masifnya potensi berita bohong yang muncul di dunia maya, padahal untuk menjadi media itu ada aturan yang harus diikuti, ada kaidah jurnalistik yang harus dipenuhi dalam produknya, ada syarat administratifnya misalnya harus berbadan hukum, ada alamat, dan ada nama redakturnya.

    
Penyebaran Hoaks

Kabar bohong atau hoaks beredar di dunia maya, disebar dari satu akun ke akun lain, berpindah dari Facebook ke Twitter, Twitter ke WhatsApp, dan dalam beberapa jam tanpa diketahui siapa yang pertama menyebarnya, pesan itu telah mengundang kekhawatiran, amarah, atau rasa takut pengguna.

Ini adalah kekhawatiran yang muncul belakangan, terutama setelah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (ketika masih sebagai Gubernur DKI Jakarta) dituding melakukan penistaan agama. Bukan hanya  Ahok, para politikus atau elite politik lain, tokoh agama atau bahkan para pesohor juga sangat rentan terhadap kabar bohong (hoaks) yang memang sengaja diciptakan untuk kepentingan tertentu.

Hoaks awalnya memang sesuatu yang mestinya tidak  harus dikhawatirkan. Akan tetapi, belakangan ternyata dapat menciptakan perpecahan. Makanya, pemerintah  harus bertindak karena tetap saja masih bisa ada yang bisa termakan.

Bermunculanlah hoaks dan media-media nonpers berupa situs-situs yang dibuat dengan mudah dengan platform blogger dan WordPress atau Joomla. Publik yang haus berita berimbang, setidaknya mencari "second opinion". Mereka pun tergiring untuk membuka situs-situs nonmedia atau media "online" nonpers itu.

Media-media "mainstream" tidak melaksanakan "watchdog journalism". Akibatnya, fungsi ini dilakukan media nonpers atau media-media yang disebut "abal-abal" oleh Dewan Pers. Fakta, pada era rezim sekarang, media-media mainstream tidak berpihak kepada publik, mengabaikan elemen jurnalisme "first loyalty to the citizen".

Pers bawah tanah adalah opsi lain untuk memublikasikan berita atau gagasan yang tidak dipublikasikan media konvensional. (William L. Rivers dkk. dalam Media Massa dan Masyarakat Modern, 2003). Rivers menyebutnya sebagai "jurnalisme militan".

Menurut Rocky Gerung dari Universitas Indonesia,  reaksi pemerintah menghadapi informasi palsu malah tidak sama sekali menyentuh akar masalah. Hoaks dalam pandangannya adalah sebuah gejala. Bahwa ada sesuatu yang bergejolak dalam opini publik yang tidak sanggup dikedalikan oleh Pemerintah.

Kalau legitimasi pemerintah kuat, orang tidak akan sebar berita palsu. Begitu legitimasi melemah, oposisi akan mengekspoitasi kerentanan itu dengan memproduksi hoaks. Berarti sinyal hoaks adalah krisis legitimasi di otoritas. Itu yang harusnya diperbaiki, katanya dikutip BBC Indonesia.

Sebaliknya, melawan hoaks dengan mengontrol informasi memberi kesan bahwa negara menjadi totaliter dalam urusan opini publik. Hal itu buruk bahwa negara menjadi penjamin kebenaran. Mengapa? Karena secara teoritis, pemerintah di banyak negara tetap masih melakukan rekayasa informasi untuk menjaga legitimasinya.

    
Terbesar Sepanjang Masa

Kasus hoaks bukan hanya terjadi di abad modern ini, melainkan sejak ratusan tahun lalu sudah banyak bermunculan para pemalsu yang membuat seolah-olah apa yang mereka miliki atau mereka ciptakan adalah sebuah kenyataan untuk memengaruhi atau mendapat keuntungan. Berikut adalah beberapa  kasus hoaks terbesar sepanjang masa.

Pada tahun 1869, misalnya, seorang petani tembakau bernama George Hull merangkai sebuah cerita yang kemudian menjadi salah satu hoaks terbesar dalam sejarah Amerika, yakni raksasa dari Cardiff. Setelah membayar tukang batu untuk membuat patung raksasa setinggi 10 kaki terbuat dari gypsum lalu oleh Hull patung raksasa itu dia kuburkan di kebun sepupunya di Cardiff, New York.

Setahun kemudian, dia menyewa orang-orang untuk menggali sumur di tempat dia menguburkan patung tersebut dengan maksud bahwa nantinya mereka akan menemukan fosil dari raksasa yang telah membatu.

Selanjutnya, terkait dengan piltdown man. Mungkin ini adalah kasus hoaks paling besar dalam dunia sains. Piltdown man adalah rangka humanoid primitif yang ditemukan di Piltdown, Inggris pada tahun 1912. Bentuk tengkorak dari mahluk ini berbeda dari tengkorak manusia purba yang pernah ditemukan sebelumnya.

Dua pria yang menemukan tengkorak tersebut, yakni Charles Dowson dan Arthur Smith Woodward segera memopulerkan temuan mereka dengan cepat mengatakan bahwa temuan mereka ini adalah sebagai "missing link" antara manusia dan kera. Skeptisme akhirnya muncul dari kalangan ilmiah, terlebih lagi setelah para ahli paleontologi dan antropologi menemukan bahwa tengkorak tersebut adalah palsu.

Piltdown Man ini sempat diterima sebagai bagian dari sejarah dan ilmu pengetahuan selama 40 tahun setelah penemuannya. Pada tahun 1953, sekelompok ahli membongkar pemalsuan ini. Tengkorak tersebut adalah kombinasi dari tulang manusia, simpanse, dan orang utan, serta giginya yang disiram dengan asam kromat agar terlihat seperti kuno.

Sikap kritis dan skeptis akan membawa kita untuk selalu ingin tahu. Sifat selalu ingin tahu akan membangkitkan semangat belajar sehingga pengetahuan juga makin bertambah. Sekadar mengingatkan kembali, konfirmasi terlebih dahulu sebelum Anda retweet, forward, shared, atau broadcast! Jangan bangga menjadi terdepan mengabarkan berita sensasional yang isinya belum tentu benar.

Pasalnya, pesan berantai di internet sulit sekali pengendalian penyebarannya dan justru sangat membahayakan jika hanya merupakan hoaks. Anda pun juga berpotensi dijerat pasal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016.

Pewarta: uryanto, S.Sos., M.Si.

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017