Jakarta (Antara Babel) - Suatu siang, ANTARA News datang ke eks Kampung
Akuarium di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Bangunan-bangunan di lokasi itu pada April 2016 dibongkar paksa oleh
Pemerintah DKI Jakarta karena berada di tanah negara.
Di lokasi kami bertemu dengan Muhammad Akbar (37) salah satu warga yang masih bertahan di lokasi tersebut.
Abel, panggilan Muhammad Akbar, mengaku sudah 28 tahun tinggal di kampung itu dan kini dia bersama keluarga tinggal di bedeng, titik yang sebelum pembongkaran adalah rumah mereka.
"Saya nelayan, sekarang saya lagi nganggur, soalnya kalau melaut bisa 2-3 bulan ninggalin keluarga, jadi saya engga tega," katanya.
Dia mengaku punya delapan anak, si bungsu baru beberapa waktu lalu lahir. "Saya kasih nama Asan, singkatan dari Anies-Sandi, soalnya saya berharap banget dari mereka," kata Abel.
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, pada 16 Oktober 2017 dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Pada masa kampanye pemilihan gubernur, Anies-Sandi mengunjungi Kampung Akuarium, 7 Januari 2017, bersama Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, salah satu partai yang mengusung pasangan itu.
Mereka berbicara dengan warga yang ada di tenda pengungsian.
"Kalau kami sudah menjabat, maka akan mereview semua rencana. Dan harus tahu mana yang untuk kepentingan publik dan mana yang bukan kepentingan publik, semua harus dibangun sesuai dengan prinsip keadilan," kata Anies ketika itu.
Sandiaga ketika itu matanya tampak berkaca-kaca. "Saya sudah keempat kalinya ke sini dan saya tidak mengira setelah digusur dibiarkan seperti ini. Ini adalah suatu tragedi kemanusiaan," kata Sandiaga saat itu.
Kembali ke obrolan dengan Abel.
Dia keberatan dengan penyelesaian yang ditawarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seiring pembongkaran yaitu pindah ke rumah susun.
"Rumah susun bukan dikasih, tapi ngontrak dan bayar perbulan Rp300 ribu untuk rumah susun 1 kamar doang, belum sama listrik sama air , kalau kayak saya sekarang ini ga ada penghasilan gimana mau bayar bulannnya?," kata Abel.
Bukankah banyak warga yang memilih pindah ke rusun? "Banyak juga, tapi itu bukan pilihan terbaik, saya yakin kalau dikasih lagi tinggal di sini mereka juga pada balik."
Abel mengingat kembali saat rumah tinggalnya dibongkar paksa. "Tidak ada musyawarah, main bongkar-bongkar saja, terus kita dibikinin kandang baru (rusun red.), dan disuruh bayar (kontrak). Ga ada pantas-pantasnya. Kalau digusur, seharusnya dikasih ganti yang layak," katanya.
Dia mengaku saat menempati rumah di Kampung Akuarium, dia membeli tempat itu. "Surat2 kami di sini ada, bukan sembarang nempatin." Sayangnya, Abel tidak menjelaskan atau menunjukkan surat-surat yang dia maksud.
Sekolah
Mengenai anak-anaknya, Abel mengatakan para buah hatinya itu sekolah hanya ketika dia bisa memberi uang saku.
"Kadang terpaksa tidak sekolah kalau tidak ada uang saku mereka, kasihan sekolahnya dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang, kasihan kalau tidak ada uang saku untuk makan siang."
Bagaimana dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP) ? "Ada sih dari KJP tapi ga bisa kita harapkan, yang bisa diharapkan ya dari penghasilan sendiri."
Soal kesehatan, dia mengatakan dokter dari Puskesmas setempat sering datang memeriksa kesehatan warga, pelayanan itu gratis termasuk obat.
"Dari mahasiswa dan relawan juga biasa bagiin sembako, alat sekolah dan bikin acara supaya anak-anak tidak stres."
Bagaimana dengan bantuan dari partai politik? "Banyak, tapi sebelum pilkada, kalau sekarang jarang."
Ketika ditanya mengenai harapannya terhadap Gubernur Anies, Abel mengatakan agar dia ingin hidup warga eks-Kampung Akuarium yang bertahan tidak lagi mengambang seperti saat ini.
"Kalau mengambang seperti sekarang, kami ini nelayan tapi tidak mungkin melaut dengan meninggalkan keluarga di tempat begini. Kami diambangin begini, akibatnya kemana-mana, termasuk ekonomi kami, dan jadinya kerja serabutan," kata Abel.
"Kami cuma perlu satu hal, perlu pekerjaan. Warga di sini masi produktif, kami malu kalau harus dibantu terus , kami mau kerja, itu yang kami butuhkan," katanya.
"Saya berharap Pak Anies bisa gerak cepet dalam masalah kami ini," kata Abel.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Di lokasi kami bertemu dengan Muhammad Akbar (37) salah satu warga yang masih bertahan di lokasi tersebut.
Abel, panggilan Muhammad Akbar, mengaku sudah 28 tahun tinggal di kampung itu dan kini dia bersama keluarga tinggal di bedeng, titik yang sebelum pembongkaran adalah rumah mereka.
"Saya nelayan, sekarang saya lagi nganggur, soalnya kalau melaut bisa 2-3 bulan ninggalin keluarga, jadi saya engga tega," katanya.
Dia mengaku punya delapan anak, si bungsu baru beberapa waktu lalu lahir. "Saya kasih nama Asan, singkatan dari Anies-Sandi, soalnya saya berharap banget dari mereka," kata Abel.
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, pada 16 Oktober 2017 dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Pada masa kampanye pemilihan gubernur, Anies-Sandi mengunjungi Kampung Akuarium, 7 Januari 2017, bersama Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, salah satu partai yang mengusung pasangan itu.
Mereka berbicara dengan warga yang ada di tenda pengungsian.
"Kalau kami sudah menjabat, maka akan mereview semua rencana. Dan harus tahu mana yang untuk kepentingan publik dan mana yang bukan kepentingan publik, semua harus dibangun sesuai dengan prinsip keadilan," kata Anies ketika itu.
Sandiaga ketika itu matanya tampak berkaca-kaca. "Saya sudah keempat kalinya ke sini dan saya tidak mengira setelah digusur dibiarkan seperti ini. Ini adalah suatu tragedi kemanusiaan," kata Sandiaga saat itu.
Kembali ke obrolan dengan Abel.
Dia keberatan dengan penyelesaian yang ditawarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seiring pembongkaran yaitu pindah ke rumah susun.
"Rumah susun bukan dikasih, tapi ngontrak dan bayar perbulan Rp300 ribu untuk rumah susun 1 kamar doang, belum sama listrik sama air , kalau kayak saya sekarang ini ga ada penghasilan gimana mau bayar bulannnya?," kata Abel.
Bukankah banyak warga yang memilih pindah ke rusun? "Banyak juga, tapi itu bukan pilihan terbaik, saya yakin kalau dikasih lagi tinggal di sini mereka juga pada balik."
Abel mengingat kembali saat rumah tinggalnya dibongkar paksa. "Tidak ada musyawarah, main bongkar-bongkar saja, terus kita dibikinin kandang baru (rusun red.), dan disuruh bayar (kontrak). Ga ada pantas-pantasnya. Kalau digusur, seharusnya dikasih ganti yang layak," katanya.
Dia mengaku saat menempati rumah di Kampung Akuarium, dia membeli tempat itu. "Surat2 kami di sini ada, bukan sembarang nempatin." Sayangnya, Abel tidak menjelaskan atau menunjukkan surat-surat yang dia maksud.
Sekolah
Mengenai anak-anaknya, Abel mengatakan para buah hatinya itu sekolah hanya ketika dia bisa memberi uang saku.
"Kadang terpaksa tidak sekolah kalau tidak ada uang saku mereka, kasihan sekolahnya dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang, kasihan kalau tidak ada uang saku untuk makan siang."
Bagaimana dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP) ? "Ada sih dari KJP tapi ga bisa kita harapkan, yang bisa diharapkan ya dari penghasilan sendiri."
Soal kesehatan, dia mengatakan dokter dari Puskesmas setempat sering datang memeriksa kesehatan warga, pelayanan itu gratis termasuk obat.
"Dari mahasiswa dan relawan juga biasa bagiin sembako, alat sekolah dan bikin acara supaya anak-anak tidak stres."
Bagaimana dengan bantuan dari partai politik? "Banyak, tapi sebelum pilkada, kalau sekarang jarang."
Ketika ditanya mengenai harapannya terhadap Gubernur Anies, Abel mengatakan agar dia ingin hidup warga eks-Kampung Akuarium yang bertahan tidak lagi mengambang seperti saat ini.
"Kalau mengambang seperti sekarang, kami ini nelayan tapi tidak mungkin melaut dengan meninggalkan keluarga di tempat begini. Kami diambangin begini, akibatnya kemana-mana, termasuk ekonomi kami, dan jadinya kerja serabutan," kata Abel.
"Kami cuma perlu satu hal, perlu pekerjaan. Warga di sini masi produktif, kami malu kalau harus dibantu terus , kami mau kerja, itu yang kami butuhkan," katanya.
"Saya berharap Pak Anies bisa gerak cepet dalam masalah kami ini," kata Abel.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017